Penyalahgunaan Kekuasaan di Balik Peraturan Presiden tentang SDA

Penulis : Ibrahim Fahmy Badoh, Direktur Tambang Auriga Nusantara

Opini

Rabu, 10 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

PENERBITAN berbagai produk kebijakan berupa Peraturan Presiden (Perpres) di berbagai sektor, terutama sektor tata kelola sumber daya alam (SDA), dinilai tanpa dasar kebijakan yang memadai. Hal ini bertentangan dengan definisi dan kedudukan Peraturan Presiden di dalam Undang-Undang Pembentukan Aturan Perundangan dan dapat mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan.

Dari hasil kajian yang dilakukan terhadap beberapa produk Perpres yang berkaitan dengan tata kelola sumber daya alam ditemukan beberapa kejanggalan. Di antaranya tidak memadainya konsideran atau dasar pertimbangan aturan yang menjadi dasar dari pembentukan Perpres dan ketidakjelasan norma yang diatur dengan aktor kebijakan dan juga proses kebijakan di tingkat sektor. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan di dalam menafsirkan Perpres dan menyulitkan pelaksanaannya. Di sisi yang lain, aturan Perpres yang dikeluarkan seringkali menyebutkan kata koordinasi dan rencana pembentukan tim satuan tugas yang dimaksudkan untuk mempercepat pelaksanaan Perpres, akan tetapi tanpa diikuti oleh kejelasan siapa saja aktor kebijakan dan tim yang melaksanakan Perpres tersebut.

Mengkaji lebih dalam Perpres di era akhir pemerintahan Joko Widodo terkesan bahwa produk Perpres cenderung menjadi ajang “setor komitmen saja”, terutama untuk agenda pembangunan yang pro-investasi akan tetapi tanpa kepastian hukum yang jelas. Selain masalah kepastian hukum untuk investor, Perpres-perpres ini juga dinilai dapat melangkahi ranah kebijakan sektoral yang sudah diatur oleh berbagai produk kebijakan yang posisinya lebih tinggi dari Perpres, misalkan Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Jika berbagai Perpres ini dipaksakan sebagai pedoman bagi instansi sektoral, hal ini sama saja dengan melangkahi kewenangan Presiden sebagai institusi yang diberikan mandat oleh konstitusi dan jika terdapat tindakan melanggar Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai akibat dari pelaksanaannya, maka pembentukan Perpres dapat dinilai sebagai perbuatan Penyalahgunaan Wewenang (abuses of power).

Beberapa kejanggalan di ranah tata kelola sumber daya alam dapat terpotret dari Perpres 70 tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi dan Perpres no. 78 tahun 2023 tentang Perubahan atas Pepres 62 tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Dalam kedua Perpres ini, konsideran atau dasar hukumnya hanya mengacu pada satu dasar,  yaitu Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, tanpa menyertakan konsideran hukum yang lain yang berlaku secara sektoral. Padahal wilayah cakupan dari Perpres ini nantinya akan mengatur ranah kebijakan di sektor pengelolaan Sumber Daya Alam yang mencakup Undang-undang dan Peraturan Pemerintah terkait kehutanan, Perkebunan, Mineral dan Pertambangan, dan juga sektor Pertanahan.

Tiga orang bocah melihat aktivitas tambang nikel di Morowali. Sumber Foto: Green Justice Indonesia

Pasal 1 ayat 6 UU 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa definisi “Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Dalam konteks ini, pembentukan Kepres di periode akhir Jokowi banyak yang tidak didasarkan pada pelaksanaan perintah perundang-undangan yang lebih tinggi, akan tetapi lebih didasarkan sebagai “penyelenggaraan kekuasaan”. Pasal 13 UU 11/2012 memang mengatur bahwa terdapat 3 kategori dari muatan sebuah Perpres, yaitumateri yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, dan materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Nampaknya semua ahli hukum dalam semua kajian melihat pengaturan terkait materi ketiga ini cukup bermasalah karena memberikan ruang bagi kekuasaan Presiden dalam membuat aturan secara otonom yang hanya didasarkan pada atribusi dari pengaturan Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.

Berdasarkan kajian terhadap beberapa Perpres yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Joko Widodo, terutama yang sempat menimbulkan reaksi keras di public, adalah jenis Perpres yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan, yang salah satu cirinya adanya ketiadaan konsideran aturan di atasnya, baik dalam bentuk Undang-undang atau Peraturan Pemerintah, sebagai berikut:

Peraturan Presiden

Pengaturan

Keterangan

Perpres no. 70 tahun 2023

Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi

Kosideran hanya menggunakan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945

Perpres no. 78 tahun 2023

Perubahan atas Pepres 62 tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional

Kosideran hanya menggunakan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Perpres 62/2018.

Perpres no. 62 tahun 2018

Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional

Kosideran hanya menggunakan Pasal 4 ayat (1) UUD

Perpres no. 62 tahun 2023

Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria

Kosideran hanya menggunakan Pasal 4 ayat (1) UUD

Munculnya protes keras dari berbagai kalangan terkait dengan beberapa Perpres yang dikeluarkan di akhir era Jokowi sangatlah beralasan. Jikapun misalnya Perpres tersebut dikeluarkan berdasarkan pada muatan pelaksanaan kekuasaan pemerintah, hal tersebut belum dapat langsung diterima begitu saja karena di dalam muatan substansi Perpres yang ada terdapat banyak hal yang secara subtantif, konsep, dan aturan pelaksanaannya sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah atau bahkan Undang-undang terkait. Hal ini tentu dapat bertentangan dengan prinsip hierarki perundangan di atasnya (Lex superiori derogat legi inferiori) seperti terkait pengalokasian lahan di sektor Hutan, Kebun, dan Tambang yang akan ditetapkan oleh Satuan Tugas yang dibentuk seperti di dalam Pengaturan Pasal  2 ayat 1 Perpres 70 tahun 2023.

Hal ini secara substansi bertentangan dengan aturan yang berlaku di sektor pengelolaan SDA tersebut. Demikian juga dengan ketentuan Pasal 4 ayat 5 Perpres yang sama yang memberikan ruangan penguasaan lahan untuk badan usaha milik organisasi kemasyarakatan yang dinilai bertentangan dengan aturan lain yang lebih khusus (Lex specialis derogat legi generali) dan aturan setingkat Perpres  yang sudah mengatur, salah satunya terkait Perhutanan Sosial atau terkait percepatan reforma agraria.

Potensi abuses of power

Terkait pelaksanaan muatan substansi atribusi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, banyak kajian yang mengkhawatirkan hal ini akan menjadi ruang terbuka bagi pelaksanaan kekuasaan presiden yang dapat berlaku otonom, dan bersifat luas, yang dapat mengarah pada penyalahgunaan wewenang. Hal ini terutama terbaca dalam konteks kemanfaatan kebijakan, yang secara teori analisis kebijakan dapat dilihat dalam konteks penegakan hukum (commands and rule) ataupun dalam hal ekonomi (insentif dan disinsentif).

Sejarah telah memberikan banyak pelajaran bagaimana setiap penguasa dapat dengan leluasa menggunakan kebijakan seperti Perpres yang berfungsi mengatur (regeling) dan sebagai alat diskresi untuk memuluskan jalan penguasaan sumber daya publik (negara) untuk kepentingan segelintir kroni baik politik, bisnis ataupun birokrasi. Dengan alat yang sama, diskresi dapat digunakan untuk menghambat atau bahkan menyingkirkan “saingan” politik. Di zaman Soeharto hal ini digunakan untuk memuluskan ijin pengelolaan hutan, konsesi migas, energi, dan juga jalan tol. Di zaman Presiden Megawati ini digunakan untuk mengampuni dosa para debitor kakap BLBI. Nah, di zaman Jokowi ini potensial digunakan untuk kepentingan penguasaan tanah dan pengusiran warga untuk kawasan bisnis, juga bagi-bagi konsesi sumber daya alam kepada para pendukung politik.*** 

SHARE