Riau Vs Sawit dan HTI: Musim Hujan Banjir, Musim Kemarau Karhutla

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Senin, 15 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Inilah Provinsi Riau: Banjir pada musim hujan, kebakaran hutan dan asap di musim kemarau. Simpulan ini disampaikan Jikalahari dalam Catatan Akhir Tahun 2023 pada Selasa, 9 Januari 2023. 

Menurut Nurul Fitria, Staf Riset dan Informasi Jikalahari, sudah jadi pengetahuan umum untuk Provinsi Riau jika pada musim kemarau rentan kebakaran hutan dan lahan dan asap. “Begitu pula dengan musim hujan yang rentan akan banjir, terutama dalam beberapa tahun belakangan ini,” katanya pada Selasa, 9 Januari 2024. 

Menurut lembaga pegiat lingkungan ini, pada awal 2023, seluruh kabupaten dan kota di Riau terdampak banjir. Kala itu, lebih dari 5 ribu rumah terendam. Akses jalan terputus, yang terparah adalah Jalan Lintas Timur Sumatera di daerah Pelalawan, Pangkalan Kerinci,  dan Sorek. 

Awal tahun ini Riau mengulang tahun 2023. Sebenarnya, "Sejak akhir Oktober 2023, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) sudah mengingatkan Pemprov Riau bahwa potensi banjir meningkat pasca El Nino berakhir dan akan disusul musim hujan dengan intensitas tinggi,” ungkap Nurul. 

Banjir di Jalan Nasional Lintas Timur. Foto: Istimewa

Menurut Gubernur Riau, Brigjen TNI (Purn) Edy Natar Nasution dalam keterangan resminya, saat ini 10 dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau terdampak banjir, mencakup 43 kecamatan, 192 desa, dan berdampak terhadap 24.268 Kepala Keluarga (KK) dengan 99.812 jiwa. Penyebabnya, menurutnya, curah hujan di wilayah Riau yang belakangan ini cukup tinggi. 

Daerah terdampak banjir saat ini, kata Nurul, merupakan daerah yang dekat dengan sungai dan berada di areal yang masif aktivitas perkebunan sawit dan industri hutan tanaman industri. Terlepas dari tingginya debit air hujan yang membuat hulu Sungai Kampar meluap dan dibukanya pintu air PLTA Koto Panjang, ujarnya, kerusakan lingkungan juga berkontribusi terhadap banjir yang terus terjadi.

Berdasarkan penelusuran Jikalahari, saat ini tingkat serapan air hujan rendah akibat hilangnya tutupan hutan alam dalam skala besar. 

“Sawit dan tanaman monokultur HTI seperti akasia dan eukaliptus, areal sempadan sungai yang dulunya ditumbuhi pohon besar ataupun tanaman hutan yang ditebang dan diganti sawit, dan kualitas resapan tanah yang terus menurun akibat rusaknya lingkungan berkontribusi besar terhadap banjir yang tak juga segera surut,” ungkap Nurul. 

Analisis Jikalahari, pada 2023 terjadi peningkatan deforestasi di Riau hingga 65 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Deforestasi pada 2023 seluas 20.698 hektare. “Dan, daerah dengan deforestasi tertinggi, terbukti mengalami banjir terparah pada akhir 2023 dan awal 2024,” kata Nurul.

Catatan Akhir Tahun 2023 Jikalahari. Dok: Jikalahari

Pakar lingkungan Riau, Dr Elvriadi menilai, ada beberapa penyebab banjir di Riau. Pertama, perubahan dan alih fungsi lahan. Dulu, sepanjang sungai ada pohon dan tumbuhan resapan air. Lahan itu ada hutan, kemudian jadi industri, kebun sawit dan perumahan sesuai perkembangan kota. “Dulunya, daerah resapan kemudian kita bangun, tentu air hujan di daerah resapan air ini akan meluncur kemana-mana,” katanya.

Elviriadi berharap, ke depannya, baik perusahaan, perumahan, maupun pembukaan lahan baru menyiapkan sistem resapan air drainase supaya tidak menimbulkan dampak lingkungan seperti banjir. 

Kedua, kurangnya kesadaran masyarakat mengelola dan membuang sampah. “Begitu juga kesadaran masyarakat yang  menutup drainase, seperti ditutup untuk membangun jalan masuk ke rumahnya. Tidak apa-apa buat jalan masuk, tapi jangan semua ditutup, harus tetap dibuka agar air drainase tetap mengalir,” ungkapnya.

Ketiga, pemerintah harus tegas dalam memberi sanksi kepada perusahaan, perkebunan, maupun korporasi nakal.

SHARE