LIPUTAN KHUSUS:

Kalimantan Selatan: Tumbal Ambisi Kebun Energi untuk PLN


Penulis : Aryo Bhawono

Target PLN mencapai co-firing memendam bahaya ledakan emisi karena deforestasi. Kalsel paling terancam.

SOROT

Rabu, 28 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  PLN memiliki peta jalan co-firing ambisius, yakni memberlakukan co-firing hingga 10% di 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan co-firing 30% di seluruh PLTU baru. Selain target ini mustahil tercapai, co-firing juga memendam emisi karena deforestasi.

Target PLN itu berbanding terbalik dengan kenyataan, karena rata-rata implementasi di 44 co-firing hanya mencapai angka 1,17%. Data ESDM di akhir 2023 menunjukkan PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan hanya mampu melakukan co-firing 0,47%. Implementasi yang jauh dari target ambisius tersebut disokong oleh justifikasi klaim netral karbon.

Kajian Trend Asia membantah klaim netral karbon dari program co-firing, karena 52 PLTU yang membutuhkan 10,2 juta ton biomassa, diperkirakan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton karbon dari proses produksi biomassa. 

Emisi karbon produksi biomassa yang dihasilkan deforestasi akibat pembukaan Hutan Tanaman Energi (HTE) tidak akan terbayar dari proses penanaman tanaman energi. Pembakaran co-firing sendiri tetap menghasilkan emisi, 17,8 juta ton emisi karbon. 

Pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan di area sekitar Sungaihantu. Tampak batang pohon yang merupakan jejak terakhir hutan tropis pada 2009. Foto: Daniel Beltrá/Greenpeace

Artinya klaim netral karbon digunakan oleh PLTU untuk greenwashing, tampil hijau dan mendongkrak bauran energi terbarukan serta menunda pemensiunan.

Co-firing adalah teknik substitusi bahan bakar batu bara dengan bahan biomassa pada rasio tertentu. Teknik ini dilakukan dengan membakar kedua bahan tersebut secara bersamaan.

Peta biomassa dan lumbung deforestasi baru Indonesia. Dok: FWI

Selain itu terdapat ancaman deforestasi akibat pembukaan hutan untuk HTE. Kajian Trend Asia menyebutkan kebutuhan lahan seluas 2,33 juta hektare atau 35 kali luas Jakarta untuk disulap menjadi HTE demi menyuplai PLTU co-firing. Hal ini akan memicu ancaman deforestasi dan konflik lahan. 

Manajer Program Biomassa Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani menyebutkan saat ini sudah ada 31 konsesi PBPH-HT dengan luas 1,3 juta ha yang berkomitmen mengalokasikan 220 ribu hektare lahannya ditanami tanaman energi. Demi memenuhi 2,33 juta ha, masih dibutuhkan 2,1 juta ha lagi, yang mungkin datang dari izin-izin baru. 

“Transisi energi melalui biomassa kayu sebagai sumber energi yang dianggap terbarukan, adalah aksi greenwashing, yang justru hanya akan menguntungkan korporasi batubara dan korporasi kehutanan. Emisi yang dihasilkan dari produksi dan pembakaran biomassa menjadi bukti bahwa biomassa bukan pilihan untuk transisi menuju energi bersih. Bagi korporasi, ini merupakan kesempatan untuk melakukan ekspansi yang akan memperbesar ketimpangan penguasaan lahan. Transisi energi harusnya mengeksklusi jenis energi yang merupakan solusi palsu mengatasi krisis iklim, dan mendorong solusi energi terbarukan dari komunitas, supaya terwujud transisi energi berkeadilan.” kata dia.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan saat ini saja terdapat 420 ribu ha hutan alam direncanakan dirusak (planned deforestation) untuk pembangunan HTE di 31 konsesi tersebut.

Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang ditargetkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penerbitan izin baru berupa hutan tanaman seluas 76.567 ha, sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi. Bahkan dokumen FoLU Net Sink 2030 memiliki target lebih besar lagi, yakni seluas 397.511 ha hutan alam di Kalimantan Selatan terancam terdeforestasi jika tanpa ada aksi mitigasi. 

Manajer Manager Kampanye Advokasi dan Media FWI, Anggi Putra Prayoga, Pengembangan hutan tanaman termasuk HTE pun justru akan cenderung menjadi driver deforestasi. Hutan seharusnya dijaga karena berperan vital dalam penyerapan karbon untuk mencapai net sink di tahun 2030.

“Strategi pengurangan emisi melalui pengembangan Hutan Tanaman Energi untuk memenuhi kebutuhan produksi biomassa kayu justru akan mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara besar-besaran. Untuk mencapai target net sink 2030 dari sektor FoLU (hutan dan penggunaan lahan) seharusnya membangun strategi mitigasi perlindungan hutan alam yang dapat diakui oleh para pihak. Salah satunya dengan menghentikan pengembangan hutan tanaman termasuk HTE yang justru menjadi driver deforestasi baru di Indonesia,” kata dia. 

KLHK justru memberikan kemudahan perizinan berupa eksklusivitas bagi perusahaan dengan memberikan 9 “karpet merah” pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan lahan, yang berasal dari penurunan fungsi dan perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta dari pemanfaatan hutan. Kebutuhan kayu untuk bioenergi akan semakin mendorong deforestasi dari ekspansi usaha perusahaan-perusahaan kehutanan dengan adanya kemudahan tersebut.

Peta situasi spasial PT Inhutani II Sub Unit Senakin Kalimantan Selatan. Dok: FWI

Di Kalimantan Selatan, sudah ada 3 perusahaan yang mendapatkan eksklusivitas untuk pembangunan HTE, yakni PBPH-HT PT Jhonlin Agro Mandiri di Tanah Bumbu, PBPH-HT PT Inhutani II Senakin di Kota Baru, dan PBPH-HT PT Inhutani III Unit Pelaihari di Tanah Laut. FWI (2024) mencatat hutan alam yang terancam dirusak di 3 konsesi tersebut mencapai 9.319 hektare.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo, menyebutkan pemerintah harus segera melakukan review dan audit perizinan industri ekstraktif di Kalimantan Selatan, termasuk 3 perusahaan PBPH Hutan Tanaman Energi, sebagai upaya untuk melindungi hutan Kalimantan Selatan yang sudah tidak mampu menampung izin baru, 

“Pemerintah harusnya fokus merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan serta mewujudkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan, bukan malah menambah kerusakan hutan dan lahan dan mengancam keselamatan rakyat yang sudah hidup didalam dan diluar kawasan hutan.” ucap dia. 

Peta situasi spasial PT Jhonlin Agro Mandiri Kalimantan Selatan. Dok: FWI

Selain hadirnya HTE di Kalimantan Selatan, terdapat juga PLTU co-firing, yaitu PLTU Asam-asam dengan kapasitas 4 x 65 MW dan rencana pembangunan PLTBio Mantuil, yaitu pembangkit bioenergi di Mantuil berkapasitas 10 MW. Keberadaan PLTU co-firing dan pembangkit bioenergi akan mendorong kebutuhan biomassa. 

Saat ini, PT Inhutani III Unit Pelaihari diduga menjadi pemasok PLTU Asam-asam, karena berada pada lokasi yang paling dekat dengan PLTU tersebut.

Meski diklaim sebagai energi bersih, pemanfaatan bioenergi kayu justru akan semakin mengancam hutan alam yang berperan vital sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di dunia. Pengembangan HTE selama ini juga berdampak buruk pada masyarakat adat, seperti masyarakat Marind di Merauke dan masyarakat adat Mentawai.

Peta Situasi Spasial PT Inhutani III Pelaihari, Kalimantan Selatan. Dok: FWI

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan, menyebutkan masyarakat adat Dayak di Kalimantan Selatan, yang sudah lama terpojok di tanah mereka sendiri, juga akan berada di bawah ancaman.

“Dengan fokus pada pemberian izin baru kepada korporasi-korporasi untuk membangun hutan tanaman energi menyebabkan mandeknya pengakuan masyarakat hukum adat di Kalsel. Padahal masyarakat adat lebih awal hidup dan berkehidupan di dalam hutan. Keberpihakan terhadap masyarakat adat menjadi penting demi mewujudkan cita-cita masyarakat adat yang berdaulat mandiri dan bermartabat.” dan Anggota LPMA, Baderie.

Ralat: Judul semula artikel ini, "Kalimantan Selatan: Tumbal Ambisi Kebun Energi PLN" telah diubah menjadi "Kalimantan Selatan: Tumbal Ambisi Kebun Energi untuk PLN" untuk menghindarkan kesalahan pengertian. Terima kasih.