LIPUTAN KHUSUS:

Aturan Baru PLTS Atap Lagi-lagi Batasi Partisipasi Publik


Penulis : Kennial Laia

Aturan terbaru terkait PTLS atap dinilai mengurangi keekonomian pembangkit tersebut, dan berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk mengadopsinya.

Energi

Senin, 26 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aturan terbaru mengenai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dinilai membatasi partisipasi publik dalam mendukung transisi energi. Sejumlah beleid di dalamnya menyebabkan pemasangan pembangkit surya lebih mahal sehingga berpotensi membuat pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil menunda adopsi PLTS atap. 

Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum pada Selasa, 20 Februari 2024 lalu. Aturan ini merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

Peraturan terbaru tersebut menghapus skema net-metering sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik. Aturan ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) untuk lima tahun. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun yang sama. Dampak dari peniadaan skema ini adalah menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari. 

PLTS atap di gedung perkantoran di Jakarta. Dok Dirjen EBTKE

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listriknya terjadi pada malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari. Tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage). 

Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 - 3 kWp untuk konsumen kategori R1,” kata Fabby, Jumat, 23 Februari 2024. 

“Tanpa net-metering dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Ini lah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” ujarnya. 

Untuk PLTS atap kapasitas di atas 3 megawatt (MW), peraturan ini mewajibkan pengguna untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition atau smart grid distribusi milik pemegang IUPTLU.

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Marlistya Citraningrum mengatakan, aturan tersebut juga menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri – setara 5 jam per bulan. Penghapusan biaya paralel ini menambah daya tarik bagi pelanggan industri, namun kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga akan menambah komponen biaya pemasangan. 

Melalui peraturan ini, pemerintah juga menetapkan periode pendaftaran setahun dua kali (Januari dan Juli) dan kompensasi yang diberikan oleh negara pada PLN jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap. 

“Pengaturan ini serta penetapan kuota per sistem jaringan memunculkan pertanyaan terkait transparansi penetapan dan persetujuan kuota, terutama untuk pelanggan industri yang ingin memasang PLTS atap dalam skala besar, sementara mekanisme IUPTLU untuk menambah kuota ketika kuota sistem sudah habis tidak diatur jelas dalam peraturan ini,” kata Marlistya.

Peraturan ini memberikan jaminan bagi para pelanggan yang sudah memanfaatkan sistem PLTS atap sebelum peraturan ini diundangkan, tetap terikat pada peraturan sebelumnya, hingga 10 tahun berikutnya. Termasuk masih mendapat manfaat dari sistem ekspor listrik PLTS atap.

“Sebagai pengguna PLTS atap on-grid, sebenarnya saya justru memiliki pertanyaan tentang aturan peralihan ini - mengingat selama pemasangan, ekspor PLTS atap masih dihitung setara 0,65 tarif tenaga listrik berdasar Permen ESDM No. 49/2018, tidak 1:1 seperti Permen ESDM No. 26/2021. Aturan peralihan ini perlu diinformasikan secara jelas pada pengguna PLTS atap saat ini,” kata Marlistya.

IESR menyayangkan aturan ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang dapat berdampak pada terhambatnya partisipasi konsumen listrik mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia, upaya penurunan emisi GRK yang berbiaya rendah dan tidak membebani negara karena investasi energi terbarukan dilakukan oleh konsumen listrik tanpa perlu subsidi negara.

Fabby berharap agar aturan baru ini dapat diimplementasikan dengan memperhatikan manfaat yang didapatkan negara jika PLTS atap dibiarkan tumbuh pesat, yaitu peningkatan investasi energi terbarukan, tumbuhnya industri PLTS, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan emisi GRK. 

IESR mendesak agar dilakukan evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan Permen ESDM No. 2/2024 untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah juga perlu secara terbuka merevisinya pada tahun 2025 seiring dengan menurunnya ancaman overcapacity listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali.