LIPUTAN KHUSUS:
Bank di Asia Masih Buka Pendanaan Bagi Energi Kotor PLTU
Penulis : Aryo Bhawono
Sederet bank di Indonesia juga masih memberikan pendanaan untuk PLTU Captive, yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, Permata, dan BTPN.
Energi
Selasa, 30 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bank-bank di Asia masih membuka pendanaan untuk energi kotor, terutama PLTU captive. Bank di Indonesia diantaranya merupakan BUMN seperti Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Selebihnya merupakan bank swasta seperti BCA, Permata, dan BTPN.
BankTrack, sebuah lembaga swadaya internasional untuk kampanye dan pelacakan kegiatan perbankan, mengeluarkan laporan mengenai bank-bank besar yang masih membuka kebijakan pendanaan batu bara.
Laporan berjudul Coal Havens yang disusun lembaga itu mensurvei kebijakan batubara 30 bank besar di India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Thailand. Bank-bank tersebut memiliki aset yang dikelola secara kolektif senilai lebih dari USD 8 triliun.
Mereka menelusuri kebijakan melalui kriteria Pelacak Kebijakan Batubara Reclaim Finance.
Penelusuran ini mencakup kebijakan keuangan bank pada proyek batubara, rencana ekspansi perusahaan, penerapan batasan pada perusahaan pertambangan batu bara dan pembangkit listrik tenaga batu bara, strategi penghapusan pembiayaan batu bara, serta pengecualian batu bara metalurgi.
Beberapa bank tersebut antara lain Mizuho, SMBC dan MUFG di Jepang; Bank Mandiri dan BRI di Indonesia; dan State Bank of India, Axis Bank dan Bank of Baroda di India.
Bank tersebut adalah separuh dari 30 bank di Asia yang dianalisis dan masih tidak memiliki batasan terhadap pembiayaan batubara, sisanya pun hanya memiliki batasan yang lemah.
Para penulis laporan ini menyebutkan tabiat bank-bank tersebut membuka potensi pembiayaan PLTU Captive. Pembangkit ini tidak terhubung ke infrastruktur jaringan listrik publik melainkan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas industri tertentu seperti pabrik peleburan logam.
Juru kampanye iklim BankTrack, Will O’Sullivan mengatakan industri batu bara yang kian menyusut ternyata menyisakan aliran dana dari beberapa bank terbesar di Asia.
Bank-bank besar di Jepang seperti Mizuho, MUFG dan SMBC; ‘empat besar’ di Indonesia, Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BCA, serta ‘tiga besar’ di Singapura, DBS, OCBC dan UOB, memiliki kebijakan batubara yang memadai sementara mereka secara aktif membiayai kerusakan iklim.
“Semua bank ini harus segera dan secara permanen mengadopsi kebijakan pengecualian batubara yang kuat, dan melakukan transisi dengan cepat ke investasi energi terbarukan,” ucapnya dalam rilis laporan itu.
Pembangunan PLTU captive merupakan langkah mundur mitigasi iklim dan menjadi ironi penanganan krisis iklim. Meski negara-negara Asia mesin pertumbuhan industri batu bara namun negara di dunia sepakat untuk beralih dari bahan bakar fosil pada COP 28 pada bulan Desember 2023.
Sayangnya sebagian besar bank-bank besar di Asia memiliki pengecualian yang sangat lemah atau tidak ada sama sekali terhadap batu bara dari investasi mereka.
Di Indonesia sendiri PLTU captive semakin berkembang sehingga dapat menarik pendanaan yang kian besar dan melemahkan mitigasi iklim. Uang bank dialihkan dari proyek-proyek tertentu ke perusahaan-perusahaan yang mendukung proyek tersebut, dengan pinjaman korporasi dan penjaminan emisi menggantikan pembiayaan proyek, dan pemodal domestik dan regional, serta ekuitas swasta, memainkan peran yang semakin besar dalam sektor batubara.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS-Indonesia mengatakan bank-bank di kawasan Asia dipandang sebagai lembaga pembiayaan yang paling lambat mengadopsi berbagai kebijakan internal untuk menghindari pembiayaan pertambangan batubara dan pembangkit listrik tenaga batubara.
Pada laporan ‘Dampak PLTU di Kawasan Industri Hijau (KIHI) 2023’, yang disusun lembaganya menyebutkan temuan pembangunan PLTU captive yang dibiayai oleh bank-bank domestik. Ia menyayangkan temuan ini karena pemberian pinjaman selayaknya berdasar pada track record yang baik dan konsistensi mewujudkan komitmen hijau tiap calon debitur
Ketua tim keuangan nasional Centre for Financial Accountability di India, Anirban Bhattacharya, mengungkapkan lembaga keuangan nasional menyumbang 93 persen dari pinjaman yang diberikan kepada pembangkit listrik berbasis batu bara di India. Bank-bank milik pemerintah, termasuk State Bank of India, masih menjadi pemberi pinjaman utama bagi pembangkit listrik tenaga batu bara milik swasta.
Menurut Moody's Analytic, sekitar 25-35% pinjaman Bank India terekspos pada sektor padat karbon, termasuk batu bara. Bahkan survei terbaru yang dilakukan oleh Reserve Bank of India menunjukkan sebagian besar bank belum menghubungkan pengungkapan keuangan terkait perubahan iklim dengan kerangka kerja yang diterima secara internasional.
Secara keseluruhan, laporan ini menemukan tren mengenai pendanaan untuk batu bara. Pendanaan untuk PLTu captive meningkat, pendanaan proyek khusus tidak lagi diberikan dan digantikan dengan pinjaman dan penjaminan korporasi, dan pengembang proyek batubara semakin banyak yang mencari bank domestik dan regional serta investor ekuitas swasta untuk membiayai operasi mereka.
Laporan ini juga menyoroti bahwa pemodal besar dari Amerika Serikat dan Eropa masih berinvestasi pada batu bara. Pemodal itu diantaranya adalah Barclays, Citi, Standard Chartered, Deutsche Bank, dan lainnya. Mereka mengeksploitasi jalur pendanaan yang relatif tidak jelas dan tidak diteliti dalam pinjaman korporasi dan penjaminan emisi.
Analis kebijakan di Reclaim Finance, Danielle Koh, berkata laporan ini menggarisbawahi perlunya tekanan peraturan di tingkat nasional dan internasional untuk membendung aliran pendanaan seluruh industri batubara, termasuk pertambangan.
“Kabar baiknya adalah penurunan biaya energi terbarukan di Asia Tenggara menawarkan insentif pasar bagi investor. Peralihan ke investasi energi terbarukan harus dilakukan sekarang juga untuk memenuhi tujuan iklim di kawasan ini."