LIPUTAN KHUSUS:

Debat Pilpres 2024 Dinilai Menunjukkan Watak Ekonomi Ekstraktif


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Aktivis lingkungan mencatat beberapa persoalan yang luput dibahas dalam debat cawapres, Minggu (21/1/2024) kemarin.

Lingkungan

Senin, 29 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Debat calon wakil presiden (cawapres) Pemilu 2024, Minggu (21/4/2024) lalu terus menarik perhatian kalangan aktivis lingkungan. Sebab banyak permasalahan yang luput dibahas oleh para cawapres, termasuk akar masalah krisis iklim.

Greenpeace Indonesia misalnya, menganggap tidak ada komitmen yang komprehensif, jelas, dan terukur untuk mengatasi krisis iklim, yang muncul dalam debat tersebut. Kelompok masyarakat sipil ini menilai para cawapres gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim, yaitu alih fungsi lahan dan sektor energi dengan masifnya penggunaan batu bara.

"Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden," kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia,

Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka, imbuh Loe, menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud Md. juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama.

Spanduk Food Estate Feeding Climate Crisis! dibentangkan di atas lahan food estate di Kalteng. Foto: Greenpeace Indonesia

Leo mengatakan, watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah, mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria, seperti perampasan hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir. Kemudian juga mengakibatkan perusakan hutan dan lahan gambut, pencemaran lingkungan, membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara, sekaligus memperparah krisis iklim.

Dalam isu reforma agraria, para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN). Cawapres 02 dan 03 misalnya, kata Leo, hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah. Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.

Leo menyebut ketiga cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika.

"Tanpa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan menghentikan PSN yang merampas wilayah masyarakat adat, janji itu cuma akan jadi omong kosong saja," ujar Leo.

Ruang hidup masyarakat adat, kata Leo, terus tergerus akibat pembukaan lahan dan deforestasi. Pernyataan cawapres 01 tentang reforestasi untuk mengatasi deforestasi jelas tak menjawab persoalan.

Kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali. Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi.

Leo bilang, merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2015-2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022). Sepanjang 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua yang dibuat Menteri Kehutanan.

Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut juga masih terjadi saban tahunnya.

"Pada 2023 saja, angka kebakaran lahan dan hutan mencapai 1,16 juta hektare, tapi sayangnya luput dari pembahasan debat cawapres," sebut Leo.

Para cawapres juga tidak menyinggung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut. Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, mengatakan, perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat.

Meski ada yang menyinggung tentang masyarakat pesisir dan nelayan, tapi para cawapres tidak menjabarkan bagaimana agenda mitigasi dan adaptasi iklim bersama warga yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil, yang makin terjepit dampak krisis iklim.

"Fakta lainnya, keanekaragaman hayati laut Indonesia juga terancam dengan praktik ekonomi ekstraktif dan tekanan pembangunan berbasis darat. Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi 30 persen kawasan dan keanekaragaman hayati laut kita pada 2030,” kata Khalisah Khalid.

Sementara itu, pernyataan cawapres 02 yang mengglorifikasi industri nikel dan ambisi hilirisasinya--seperti yang dijalankan pemerintahan Presiden Joko Widodo--mengabaikan banyaknya persoalan yang terjadi selama ini. Pertambangan nikel telah memicu kerusakan lingkungan, pencemaran akut, dan penggusuran masyarakat adat.

Greenpeace mengungkapkan, nikel di Indonesia beroperasi dengan skema perizinan berbasis lahan. Per September 2023, ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare, sebagian besar berada di timur Indonesia yang kaya biodiversitas.

Di beberapa lokasi telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 hektare, masing-masing terjadi di Pulau Sulawesi 91.129 hektare atau 20 persen dari total deforestasi Pulau Sulawesi, dan di Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku Utara dan Maluku) seluas 23.648 hektare atau 8 persen dari deforestasi Kepulauan Maluku.

Eksploitasi nikel yang ugal-ugalan, menurut Greenpeace Indonesia, juga telah mencemari laut dan udara. Rencana pembangunan 53 PLTU captive batu bara yang akan menambah beban daya sebesar 14,4 GW--sebagian besar di antaranya untuk smelter nikel--jelas akan meningkatkan emisi dan pencemaran udara. Akibat penambangan dan pengolahan nikel, sebanyak 882 ribu ton limbah berbahaya mencemari Pulau Obi. Cadangan nikel Indonesia pun bakal habis dalam 6-15 tahun saja, imbas dari masifnya pengembangan smelter.

Greenpeace Indonesia mengamati, pada isu energi, tiga cawapres tidak menyinggung secara detail rencana percepatan transisi ke energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi batu bara. Padahal, transisi energi sangat krusial untuk memangkas emisi karbon dan menekan kenaikan suhu Bumi. Demokratisasi energi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses transisi energi juga luput dari pembahasan.

Potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.643 GW, menurut data Dewan Energi Nasional. Namun pemanfaatannya baru 0,3 persen. Dalam bauran energi nasional, porsi energi terbarukan baru mencapai angka 13,1 persen dari target 23 persen di tahun 2025. Para kandidat juga tak membahas rencana pensiun dini PLTU batu bara, meski program itu tertuang dalam dokumen visi-misi paslon 01 dan 02.

“Absennya isu batu bara ini patut kita pertanyakan. Apa memang dihindari karena masing-masing paslon juga didukung oligarki batu bara?” kata Leo.

Di sisi lain, solusi palsu transisi energi malah banyak diumbar dalam debat cawapres malam itu. Misalnya rencana melanjutkan bioenergi, seperti biodiesel, yang disampaikan cawapres 02. Pemenuhan biodiesel berpotensi memicu ekspansi industri sawit melalui deforestasi yang mengancam hutan dan lanskap gambut alami yang tersisa.

Indonesia sudah harus segera beralih dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau yang bebas dari solusi-solusi palsu. Riset Greenpeace dan CELIOS menemukan bahwa peralihan ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau akan menambah Rp4.376 triliun ke output ekonomi nasional.

Transisi untuk meninggalkan sektor ekstraktif juga mampu membuka lapangan kerja yang lebih luas dan mampu menyerap 19,4 juta orang. Salah satu sektor penyerapan tenaga kerja terbesar adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang mencapai 3,9 juta tenaga kerja lewat pengembangan kemandirian ekonomi di level desa.

Sedangkan pada isu perkotaan, cawapres 02 sempat mempertanyakan penggunaan air mineral dalam kemasan plastik kepada cawapres 01, lalu membandingkan dengan pihaknya yang memilih air mineral dalam kemasan botol kaca.

Praktik menggunakan wadah yang bisa dipakai berulang kali (seperti botol kaca untuk air minum) memang merupakan salah satu solusi dan tindakan yang fokus pada pengurangan sampah dan plastik sekali pakai. Akan tetapi, pernyataan ini hanya menjadi gimmick dan tak ada penjelasan lebih lanjut dari ketiga kandidat tentang program mereka untuk mengurangi plastik sekali pakai.

Greenpeace Indonesia juga melihat cawapres 03 sempat menyinggung tentang daur ulang. Meski bagian dari ekonomi sirkular, tapi bukan prioritas dalam hierarki pengelolaan sampah. Saat ini, tingkat daur ulang di Indonesia hanya 10 persen. Daur ulang tanpa pengurangan produksi kemasan plastik di hulu tak akan menyelesaikan persoalan polusi plastik.

Juga ketika isu ibu kota negara (IKN) Nusantara muncul dalam perdebatan, para cawapres tidak mengelaborasi lebih lanjut penyelesaian masalah Jakarta pasca-pemindahan ibu kota. Seperti bagaimana pengendalian pencemaran udara, integrasi transportasi publik, serta pengurangan emisi di perkotaan.

“Kita telah menyaksikan debat cawapres yang mengangkat isu lingkungan dan krisis iklim. Terlepas dari keputusan untuk memakai atau tidak memakai hak pilih di Pemilu 2024 ini, kami mengajak para pemilih untuk menimbang dengan rasional dan hati-hati. Sebab jika kita salah memilih, masa depan Bumi dan generasi hari ini dan yang akan datang akan terancam. Itulah kenapa kami menggaungkan kampanye #SalahPilihSusahPulih,” kata Khalisah Khalid.

Sementara itu, Satya Bumi menganggap sejumlah program yang ditawarkan kandidat tertentu juga menyimpan potensi masalah namun luput dielaborasi lebih jauh oleh kandidat lain. Bahan bakar nabati seperti biodiesel dengan turunan B35 dan B40, misalnya, luput dielaborasi mengenai potensi masalah perebutan CPO untuk energi vs pangan.

Selama 2020-2022 rerata serapan pabrik biodiesel mencapai 41,5 persen, meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya 34,5 persen. Kemudian diserap oleh industri oleokimia sekitar 10 persen, dan sisanya industri pangan. Sehingga kekhawatiran kelangkaan dan tingginya minyak goreng (CPO untuk pangan) dapat muncul kembali.

“Selama ini harga CPO lebih stabil untuk keperluan energi ketimbang pangan. Maka jangan heran ketika harga minyak goreng menjadi melambung tinggi,” ujar Andi dalam sebuah rilis, Senin (22/1/2024).

Permasalahan biodiesel, menurut Satya Bumi, harus dilihat lebih jauh dari sekadar target bauran energi. Penelitian yang dilakukan Satya Bumi bersama Sawit Watch memperlihatkan bahwa tata kelola minyak sawit di hilir masih lemah.

Satya Bumi mengatakan, jika pemerintah terus berambisi dengan bauran biodiesel tanpa menyelesaikan konglomerasi industri sawit yang bermain hingga lebih dari 60% membuat pengawasan menjadi sulit dilakukan. Tanpa memperbaiki tata kelola hilir termasuk membenahi kebijakan dua harga untuk DMO dan ekspor, bukan tidak mungkin ambisi biodiesel justru menewaskan lebih banyak lagi anggota rumah tangga di Indonesia.

Belum lagi ambisi peningkatan campuran biodiesel hingga B50 akan berpotensi secara tidak langsung menimbulkan deforestasi melalui pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit yang lebih luas untuk memenuhi permintaan komoditas. Hal ini pernah terjadi dalam kurun waktu 2014 hingga 2020 dimana terdapat peningkatan seluas 4,25 juta hektare lahan sawit dimana tahun 2016 terjadi peningkatan terbesar pasca kebijakan insentif sawit melalui BPDPKS.

Hingga 2021, Satya Bumi mencatat, luas perkebunan kelapa sawit telah menempati sekitar 84,34% lahan perkebunan di Indonesia. Sementara, luas hutan menyusut dengan rata-rata 0,3% per tahun sejak 2001. Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia banyak dikritisi oleh pemerhati lingkungan karena menjadi salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penyumbang emisi.