LIPUTAN KHUSUS:
34 Pulau Kecil Dibancak 218 Izin Tambang
Penulis : Gilang Helindro
Praktik penambangan di pulau kecil itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan.
Kelautan
Kamis, 18 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut dalam laporan terbarunya berjudul Nestapa Pulau Kecil di Indonesia: Alam Dijarah, Penduduknya Dimiskinkan dan Dikriminalisasi, bahwa hingga Desember 2023 terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengapling 34 pulau kecil di Indonesia.
“Total luas konsesi dari 218 izin usaha pertambangan (IUP) di 34 pulau kecil itu mencapai lebih dari 274.000 hektare,” kata Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional mengatakan, pada Selasa, 17 Januari 2024.
Beberapa pulau kecil yang sedang terancam kegiatan pertambangan itu di antaranya Pulau Sangihe (Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara), Pulau Bunyu (Bulungan, Kalimantan Utara), Pulau Wawonii (Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara), dan Pulau Gag (Raja Ampat, Papua Barat Daya).
Adapun sejumlah pulau kecil lainnya yang akan terancam kegiatan pertambangan meliputi Pulau Gee (Halmahera Timur, Maluku Utara), Pulau Pakal (Halmahera Selatan, Maluku Utara), Pulau Doi (Halmahera Utara, Maluku Utara), dan Pulau Romang (Maluku Barat Daya, Maluku).
Sektor industri pertambangan, hingga Desember 2023, terdapat 218 izin usaha pertambangan di pulau kecil. Dok: Jatam
Operasi pertambangan, kata Jamil, juga berdampak pada hilangnya ruang produksi pangan warga. Ini karena perampasan dan alih fungsi lahan terjadi secara masif. Dalam konteks pertanian, misalnya, sebagian warga kehilangan lahan pertanian cengkih, pala, jambu mete, dan sagu, sebagaimana terjadi di pulau Wawonii, pulau Gebe, hingga di pulau Mabuli. “Demikian juga dengan sumber pangan dan ekosistem laut yang tercemar limbah material tambang,” ungkap Jamil.
Jamil mengatakan, dampak lingkungan dan sosial ekspansi pertambangan dirasakan di pulau-pulau kecil. Bahkan, banyak warga yang mendiami pulau itu terpaksa pindah atau mengungsi karena pertambangan mencemari area sekitar tempat tinggalnya.
”Pulau kecil itu memiliki daratan terbatas sehingga warga bingung harus pindah ke mana. Padahal, di beberapa tempat, seperti di Wawonii, pulau itu merupakan identitas karena jadi tempat tinggal suku Wawonii,” ungkap Jamil.
Pani Arpandi salah satu warga Wawonii mengungkapkan, operasi penambangan juga telah memicu terjadinya bencana banjir bandang dan tanah longsor akibat terganggunya keseimbangan lingkungan, salah satunya perusakan dan alih fungsi kawasan hutan menjadi konsesi pertambangan.
Menurut Pani, eksploitasi alam di pulau kecil melalui privatisasi juga mengancam flora dan fauna. “Di pulau Wawonii, misalnya, tidak kurang dari 1.000 jenis tumbuhan dan ratusan hewan, antara lain penyu, kura-kura batok, dan burung maleo, makin terancam habitatnya oleh aktivitas pertambangan nikel,” kata Pani.
Praktik penambangan di pulau-pulau kecil itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan, mengingat kondisi ekologis yang rentan dan daya pulih yang rendah. Ketika terjadi kerusakan di salah satu bagian pulau, maka dampaknya akan meluas secara cepat ke seluruh pulau.
Pani mencontohkan hilangnya kebun kelapa akibat alih fungsi hutan mengakibatkan hilangnya salah satu budaya, di mana sebelumnya kelapa dijadikan mahar dalam upacara pernikahan,” ungkap Pani.
Muhammad Karim, Akademisi Perikanan dan Kelautan dari Universitas Trilogi Jakarta menilai, hak masyarakat pesisir dan pulau kecil telah berubah menjadi privatisasi untuk korporasi dan oknum tertentu.
“Saat ini terjadi alokasi pemanfaatan, contoh kecilnya seperti dari kebun kelapa menjadi tambang nikel. Tak hanya itu, sumber air pun rusak akibat pertambangan,” ungkap Karim.
Ironisnya, kata Karim, perlindungan atas pulau-pulau kecil cenderung diabaikan, eksploitasi pertambangan justru melenyapkan kekayaan biodiversitas, terutama spesies endemik yang banyak ditemukan di pulau-pulau kecil.
Karim mengungkapkan, regulasi spesifik terkait pulau-pulau kecil tercantum jelas dalam UU No 27 Tahun 2007 yang telah diubah menjadi UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008. Secara garis besar, seluruh regulasi itu mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil sebagai wilayah konservasi, pendidikan, penelitian, dan pariwisata.
Karim menambahkan, praktik pertambangan di pulau-pulau kecil jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan. Dalam Pasal 23 Ayat 2 UU No 1 Tahun 2014, misalnya, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara. Dalam pasal Pasal 35 di UU yang sama, juga secara jelas melarang penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral.
Karim menegaskan pertambangan di pulau kecil harus dihentikan. “Pulau kecil ini sangat rentan, biarlah pulau kecil ini alami tanpa mengubah pemanfaatan dan budaya masyarakat setempat,” ujarnya.