LIPUTAN KHUSUS:
Problem Ekonomi Biru dalam Visi Misi Capres - Cawapres 2024
Penulis : PARID RIDWANUDDIN, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI
Indonesia membutuhkan sosok capres dan cawapres yang memiliki keberanian untuk mengoreksi ekonomi biru dan kembali kepada ekonomi sesuai konstitusi.
OPINI
Selasa, 02 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
Masyarakat Indonesia telah menyaksikan debat publik tiga calon wakil presiden (cawapres) pada 22 Desember 2023 lalu. Tema yang menjadi perdebatan adalah mengenai ekonomi, keuangan, pajak dan tata kelola APBN-APBD, soal investasi, perdagangan, infrastruktur, dan perkotaan.
Soal tema ekonomi, terdapat satu isu penting yang hilang dalam perdebatan, yaitu ekonomi biru. Hilangnya isu ini penting dipertanyakan oleh publik luas, mengingat di dalam dokumen visi dan misi ketiga pasangan capres dan cawapres ekonomi biru disebut secara eksplisit dan elaboratif.
Di dalam dokumen visi, misi, dan program kerja Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar yang berjudul Indonesia Adil Makmur untuk Semua, istilah “ekonomi Biru” disebut sebanyak tiga kali. Secara umum, dokumen tersebut menempatkan ekonomi biru di dalam kerangka ekonomi kelautan.
Sedangkan di dalam dokumen visi, misi, dan program Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang berjudul Bersama Indonesia Maju, ekonomi biru disebut sebanyak 7 kali dan sebagian besar ditempatkan di dalam ekonomi kelautan. Bahkan, isu kelautan serta isu nelayan ditempatkan sebagai sub bab ekonomi biru. Lebih jauh, dokumen tersebut menyebutkan lima belas program kerja yang terkait langsung dengan ekonomi biru.
Sementara itu, dokumen Visi dan Misi Ganjar Pranowo & Mahfud MD yang berjudul Menuju Indonesia Unggul: Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari, menyebut istilah ekonomi biru sebanyak tiga kali dan menetapkan delapan program kerja untuk mewujudkannya.
Namun anehnya, di dalam perdebatan publik terakhir, isu ini tidak muncul sama sekali dalam penjelasan ketiga cawapres yang berkontestasi. Hilangnya perdebatan mengenai ekonomi biru juga menghilangkan catatan sekaligus perdebatan kritis dari publik terhadap isu yang kini menghegemoni dunia dan diperbincangkan dalam sejumlah kebijakan di Indonesia, khususnya di sektor kelautan dan perikanan.
Kritik terhadap Ekonomi Biru
Secara ideologis, ekonomi biru memiliki hubungan yang sangat dekat dengan aliran Neo-Austrian yang berpaham liberalisme klasik. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Gunter Pauli, ekonomi biru tidak menolak atau mengkritik globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Ia hanya ingin menciptakan suatu keseimbangan baru dalam ekonomi global. Dengan kata lain, ekonomi biru merupakan salah satu varian kapitalisme neoliberal yang mengusung teori pertumbuhan biru atau blue growth (Karim dan Ridwanuddin, 2023).
Karena merupakan varian dari kapitalisme neoliberal, ekonomi biru secara otomatis menafikan aspek keadilan (justice) dalam prinsipnya, meski diklaim menekankan aspek keberlanjutan (sustainability). Ekonomi biru sering disebut perwujudan pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan di mana lingkungan hidup “dieksploitasi” buat kepentingan manusia sekaligus dilindungi. Jadi, konsep dalam pendekatan ekonomi biru mirip “ekonomi hijau” yang menekankan instrumen “berbasis pasar” untuk mengatasi ancaman lingkungan.
Dalam pengarusutamaan diskursus ekonomi biru termutakhir, Bank Dunia merupakan aktor yang sangat signifikan. Lembaga keuangan internasional ini telah mendampingi strategi pengembangan ekonomi biru negara-negara di dunia. Per Maret 2020, Bank Dunia sudah membiayai proyek senilai 5,6 miliar dolar AS serta mendukung dana bantuan internasional yang pro-ekonomi biru untuk pengembangan sektor kelautan dan sumber daya kelautan yang lestari. Bank Dunia juga memberikan dukungan teknis untuk peningkatan produktivitas perikanan, pengembangan kapasitas pemerintah untuk mengelola sumber daya kelautan. (Kompas, 25 Maret 2021).
Di Indonesia, artikulasi ekonomi biru dapat ditemukan dalam sejumlah kebijakan publik, khususnya di sektor kelautan dan perikanan yang didorong oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya adalah penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, perluasan kawasan konservasi laut yang ditargetkan mencapai 32,5 juta hektar pada tahun 2030, pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pembersihan sampah plastik di laut.
Dalam dokumen Visi dan Misi Ganjar Pranowo & Mahfud MD disebutkan, di antara program ekonomi biru yang akan didorong adalah penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zonasi, serta akselerasi sebelas potensi maritim, yang menyebutkan pertambangan dan konservasi laut sebagai.
Menelisik Nasib Nelayan
Hilangnya perdebatan mengenai ekonomi biru dalam debat publik Cawapres pada 22 Desember 2023 lalu menjadikan publik Indonesia lupa mengenai nasib nelayan tradisional yang sebenarnya di Indonesia. Dengan jumlah sebanyak 2.359.064 orang (BPS, 2022), nelayan tradisional adalah kelompok yang paling rentan terdampak krisis iklim dari masa ke masa. Pada tahun 2020, WALHI mencatat lebih dari 250 orang nelayan meninggal di laut akibat cuaca ekstrem. Angka ini naik signifikan dibandingkan tahun 2010, dengan 87 nelayan meninggal.
Dalam pada itu, setelah merdeka lebih dari 75 tahun, tidak ada satu pun undang-undang yang secara khusus mengakui dan melindungi wilayah tangkap nelayan tradisional. Akibatnya, nelayan tradisional di Indonesia dipaksa harus berkompetisi dengan para pelaku skala besar di lautan. Tak sedikit pula nelayan harus tersingkir dari lautan yang selama ini mereka jaga dengan jiwa dan raganya.
Dalam konteks tata ruang laut, khususnya di dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di 28 provinsi, pemerintah hanya mengalokasikan ruang permukiman nelayan seluas 53,712,81 hektare. Alokasi ini sangat tidak adil jika dibandingkan dengan peruntukkan bagi proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut yang luasnya mencapai 3,590,883,22 hektare (Ridwanuddin dan Saragih, 2023).
Tak adanya undang-undang yang mengakui dan melindungi kawasan tangkap nelayan tradisional serta ketidakadilan ruang permukiman nelayan di wilayah pesisir akan memperburuk dampak krisis iklim dan menghilangkan kemampuan adaptasi nelayan dalam menghadapi krisis iklim pada masa yang akan datang. Tidak berlebihan jika jumlah nelayan, selain petani, diprediksi akan menurun jumlahnya sebanyak 926.492 orang pada tahun 2030. (Kompas, 30 November 2023)
Dalam situasi inilah, Indonesia membutuhkan sosok capres dan cawapres yang memiliki keberanian untuk mengoreksi ekonomi biru dan kembali kepada ekonomi sebagaimana yang dimandatkan oleh Konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana terdapat di dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan 4.
Tak hanya itu, Indonesia membutuhkan capres dan cawapres yang serius untuk melindungi nelayan tradisional yang terancam punah oleh krisis iklim dan ekspansi pembangunan yang merampas ruang hidup serta kawasan tangkap mereka. Keberadaan nelayan tradisional merupakan penanda penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.