LIPUTAN KHUSUS:

Terus Menggerus Habitat Badak


Penulis : Aryo Bhawono

Rumah badak sumatera di Kalimantan Timur terus digerus. Kini satu-satunya badak sumatera subspesies kalimantan di alam liar terancam tergusur oleh RTRWP Kalimantan Timur.

LIPUTAN KHUSUS

Minggu, 20 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Habitat badak sumatera subspesies kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrisoni) membujur di wilayah Kalimantan Timur dari Kabupaten Kutai Barat hingga Mahakam Ulu, tepat di perbatasan Kalimantan Tengah. Terdapat tiga kantong habitat, dua di Kutai Barat yang biasa disebut dengan kantong dua dan tiga, sisanya di Mahakam Ulu.

Keberadaan badak ini pernah dinyatakan punah pada 1990. Namun survei World Wildlife Foundation (WWF) pada 2013 menemukan jejak badak pada bentang Mahakam Ulu. Tiga dari 16 kamera jebak merekam badak.

Rekaman ini menjadi kabar gembira. Survei pun lantas digencarkan untuk mendapatkan jumlah populasi. Populasi badak diperkirakan berkisar 3 sampai 12 individu di tiap kantong habitat yang telah diketahui, kendatipun baru 4 individu diketahui yaitu Najaq, Tenaik, Pahu dan Pari.

Pada 2014 penangkapan dengan pit trap berhasil dilakukan terhadap badak betina, Najaq. Namun ia mati karena luka kena jerat pemburu. Satu ekor badak lagi, Tenaik, tak ditemukan jejaknya dan diperkirakan sudah mati.

Hutan Lindung dekat Desa Nyaribungan Kecamatan Lahan Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur. (Dokumentasi Yayasan Auriga)

Kantong habitat badak kondisinya mengenaskan karena terfragmentasi karena pembukaan lahan secara masif, untuk kebun dan tambang. Pelestarian badak pun turut terancam.

Pada 2018, upaya pemindahan badak, Pahu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Keputusan Dirjen KSDAE Nomor SK. 93/KSDAE/SET/KSA.2/2/2018 Jo SK.321/KSDAE/SET/KSA.2/2/2018 untuk membentuk tim translokasi.

Pahu sendiri merupakan badak di kantong 3, Daerah Aliran Sungai Kedang Pahu, kawasan Desa Besiq, Kecamatan Damai, Kutai Barat. Bagian hilir sungai itu sudah terbebani izin tambang batu bara. Keberadaan Pahu terekam sejak 2016, upaya monitoring dilakukan pasca itu.

Fidelis Nyongka, warga Desa Lambing, Muara Lawa, Kutai Barat, mengaku menjadi bagian warga yang menolak translokasi Pahu. Ia bukannya tak peduli dengan keselamatan satwa itu melainkan khawatir jika Pahu dipindah maka perusahaan akan menambang di habitat itu. Padahal kampungnya merupakan bagian dari Sungai Kedang Pahu dan akan ikut terimbas jika hulu sungai itu rusak.

Apalagi badak telah menjadi bagian dari budaya Dayak Bahau. Merek biasa menyebut badak sebagai Tamdoh.

“Badak bukan hanya binatang, tapi dalam mitologi dayak benuaq tonyoy, badak itu selalu disebutkan dalam ritual,” ujar Nyongka. (Baca juga: Di Balik Senyap RTRWP Kalimantan Timur)

Kekhawatiran ini terbukti, informasi yang dihimpun menyebutkan suara ledakan terdengar jelas oleh tim translokasi badak sepanjang beraktivitas mencari Pahu. Bahkan tak menunggu lama pasca Pahu berhasil dipindahkan ke Suaka Badak Kelian di Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL), habitat badak sudah dirambah oleh tambang. Sampai-sampai upaya monitoring rutin habitat pasca translokasi sampai kebingungan karena jalur-jalur yang mereka lalui seringkali berubah karena terbuka oleh tambang.

Sejurus dengan Nyongka, peneliti satwa Yayasan Auriga Nusantara, Riszky Is Hardiyanto, mengungkap kelestarian habitat badak seharusnya tak boleh dirusak karena tetap penting bagi masa depan badak maupun masyarakat. Meski begitu translokasi tetap harus dilakukan.

Badak dipindahkan ke Suaka Badak Kelian di Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) untuk pengembangbiakan. Selama ini peneliti berupaya menyelamatkan badak dengan opsi teknologi reproduksi buatan (artificial reproductive technologies/ART).

“Habitat penting ketika sanctuari berhasil. Jika ART berhasil maka habitat untuk keturunan badak itu harus punya rumah, pilihan terbaik adalah habitat aslinya karena mencukupi kebutuhan badak itu, seperti soal ketersediaan pakan,” ucap dia.

Riszky menekankan Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Badak Sumatera 2018-2021 telah menyebutkan upaya pengembangbiakan dan survei menyeluruh badak sumatera di Mahakam Ulu serta Kutai Barat. Namun masa berlaku RAD ini sudah habis, dan persoalan penyelamatan habitat belum diatur. (Baca juga: Ironi Berkah Tetangga Tambang)

Riszky juga memendam kekhawatiran atas kerusakan kantong badak lainnya, yakni kantong 1 yang berada di Hutan Lindung Kelompok Hutan (HL KH) Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa. Artinya, Sungai Lawa dan Sungai Nyuatan. Pada hutan itu hiduplah satu-satunya badak di alam liar yang termonitor, Pari. Proses RTRW Provinsi Kaltim mengusulkan penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas.

Padahal di atas hutan itu sudah terdapat kosnesi izin tambang batu bara. Buku Lokasi Usulan Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Rangka RTRWP Kaltim menyebutkan dua lokasi penurunan status kawasan hutan lindung menjadi HPT dengan kode MU.15 seluas 80.774,33 ha dan MU.16 seluas 19.542,07 ha. Keduanya berada dalam kantong 1 habitat badak di Mahakam Ulu.

Lahan konsesi milik lima perusahaan di atas hutan lindung itu termasuk dalam penurunan status ini. Sisanya seluas 44.021 ha belum dibebani izin, namun siap untuk dimiliki dan dieksploitasi sebab statusnya sudah diturunkan.

Analisis Yayasan Auriga Nusantara mencatat hutan lindung itu telah dibebani lima izin usaha pertambangan seluas 56.396 hektare (ha). Lima perusahaan itu diantaranya PT Pari Coal yang mengantongi izin seluas 23.287 ha, PT Ratah Coal seluas 21.465 ha, PT Maruwai Coal seluas 10.223 ha, PT Lahai Coal seluas 1.354 ha, dan Energy Persada Khatulistiwa seluas 65,7 ha.

PT Pari Coal, PT Ratah Coal, PT Maruwai Coal, dan PT Lahai Coal merupakan grup Adaro.

Ambrolnya RUmah Satwa di Timur Borneo. Infografer: Robby

Penurunan status ini akan berimbas pada perizinan untuk melakukan penambangan terbuka (open pit). Jika ini diperbolehkan, kata Riszky, maka hutan akan habis. Artinya hulu dari DAS yang menjadi kantong badak akan rusak, hilirnya sudah pasti menyusul rusak. Tak hanya itu jika yang ada dalam kode MU.16 seluas 19.542,07 ha saja diturunkan dampaknya kerusakannya bakal besar bagi habitat badak.

“Ini sama saja menghabisi habitat badak kalimantan dan dalam kondisi saat ini, yang terancam bukan hanya spesiesnya tapi sampai ke genusnya,” ucap dia.

Ia mengingatkan habitat dan populasi badak terus menurun. Ancaman terbesar dari satwa ini adalah perburuan liar, proses fragmentasi/isolasi, serta sifat reproduksinya yang lambat.

Direktur Program Tropical Forest Tropical Act (TFCA) Kalimantan-Yayasan KEHATI, Puspa Dewi Liman, mengungkapkan paling tidak dua permasalahan kebijakan yang dihadapi badak sumatera subspesies kalimantan. Pertama, ketidakterbukaan KLHK soal pelibatan pendanaan. TFCA Kalimantan sempat terlibat dalam translokasi Pahu ke Kelian.

Namun tahap berikutnya terjadi polemik, dan tanpa alasan KLHK emoh menerima bantuan pasca mereka putus kerjasama dengan WWF. Sedangkan kondisi pelestarian badak masih belum tuntas.

“Secara umum spesies kita ada tantangan. Tapi kalau di Sumatera ada lembaga yang dukung konservasi itu. Di Mahakam Ulu itu kan badak betina dan di Kelian juga betina. Jadi kalau pun dipindahkan ke sana tidak akan bisa reproduksi,” jelasnya.

Kedua, terkait RTRWP Kaltim, pelibatan stakeholder lingkungan sangat minim.