LIPUTAN KHUSUS:
Kekeringan Sebabkan 43.000 Kematian Tambahan di Somalia Pada 2022
Penulis : Kennial Laia
Kekeringan berkepanjangan di Somalia berujung pada bencana kelaparan. Puluhan ribu nyawa hilang pada 2022, mayoritas adalah anak-anak di bawah usia lima tahun.
Perubahan Iklim
Kamis, 23 Maret 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Laporan terbaru dari pemerintah Somalia mengungkap, bencana kekeringan di Somalia menyebabkan 43.000 kematian berlebih pada 2022. Mayoritas korban adalah anak kecil.
Hal tersebut didorong oleh kekeringan parah dan berkepanjangan. Situasi saat ini pun dinilai lebih buruk dari kekeringan pada 2017 dan 2018.
Setengah dari kematian kemungkinan adalah anak-anak di bawah lima tahun. Jumlah ini diperkirakan bertambah, dengan estimasi hingga 34.000 selama enam bulan pertama tahun ini.
Laporan tersebut dirilis pada Senin oleh kementerian kesehatan federal Somalia bersama dengan Unicef dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Disusun oleh peneliti di London School of Hygiene and Tropical Medicine dan Imperial College London, studi ini melihat perkiraan retrospektif kematian di seluruh Somalia dari Januari hingga Desember 2022.
Statistik yang akurat sulit dikumpulkan dari populasi yang tersebar di daerah terpencil, dan dengan sekitar tiga juta orang mengungsi dari rumah mereka. Tingkat kematian tertinggi diperkirakan berada di wilayah selatan-tengah Somalia, termasuk Bay, Bakool dan Banadir, yang paling parah dilanda kekeringan.
Namun Menteri Kesehatan Somalia, Dr Ali Hadji Adam Abubakar, mengatakan bahwa pihaknya masih optimis. Menurutnya saat ini kelaparan di negara tersebut sejauh ini dapat dihindari.
“Kami terus mengkhawatirkan tingkat dan skala dampak kesehatan masyarakat dari krisis pangan yang semakin dalam dan berlarut-larut di Somalia ini,” katanya.
“Pada saat yang bersamaan, kami optimistis bahwa risiko kelaparan ini dapat ditekan untuk selama-lamanya. Ini jika kami dapat mempertahankan serta meningkatkan tindakan kesehatan dan nutrisi yang berlangsung saat ini, dan respons kemanusiaan untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi kesehatan yang rentan itu,” kata Abubakar.
Sebaliknya, jika tindakan itu tidak dilaksanakan, maka orang-orang yang rentan dan terpinggirkan akan membayar harga krisis ini dengan nyawa mereka, tambah Abubakar.
“Oleh karena itu kami mendesak semua mitra dan donor kami untuk terus mendukung sektor kesehatan dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh yang bekerja untuk semua orang dan bukan untuk segelintir orang,” kata Abubakar.
Untuk pertama kalinya, model prediksi dikembangkan dari penelitian tersebut. Estimasi dari Januari hingga Juni 2023 memperkirakan bahwa 135 orang per hari mungkin juga meninggal karena krisis, dengan total kematian diproyeksikan antara 18.100 dan 34.200 selama periode ini.
Perkiraan menunjukkan krisis di Somalia masih jauh dari selesai dan sudah lebih parah dari kekeringan 2017-2018.
Wafaa Saeed, perwakilan Unicef di Somalia, mengatakan dia sedih dengan gambaran suram dampak kekeringan pada keluarga, tetapi menambahkan: “Kami tahu akan ada lebih banyak kematian jika bantuan kemanusiaan tidak ditingkatkan untuk menjangkau masyarakat yang terkena dampak.
“Kita harus terus menyelamatkan nyawa dengan mencegah dan mengobati malnutrisi, menyediakan air yang aman dan bersih, meningkatkan akses ke layanan kesehatan yang menyelamatkan jiwa, mengimunisasi anak-anak terhadap penyakit mematikan seperti campak, dan menyediakan layanan perlindungan kritis,” tambahnya.
Saat ini Somalia telah mengalami musim hujan yang gagal berturut-turut dalam kekeringan yang disebabkan oleh krisis iklim. Bencana itu seiring dengan naiknya harga pangan global, meningkatnya ketidakamanan di beberapa daerah, dan pandemi.