LIPUTAN KHUSUS:
Pengajuan PK Jokowi Atas Karhutla 2015 Dikritik
Penulis : Aryo Bhawono
Putusan kasasi karhutla 2015 sebenarnya meneguhkan kewajiban pemerintah yang tak kunjung dilakukan, kok pemerintah malah ajukan PK?
Hukum
Senin, 07 November 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tindakan Presiden Joko Widodo mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasus kasasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah pada 2015 menuai kritik. Putusan kasasi tersebut sebenarnya sekedar menegaskan kembali kewajiban pemerintah untuk memberikan hak berupa lingkungan hidup layak dan jaminan bagi masyarakat terdampak karhutla.
Situs Mahkamah Agung (MA) mencatat pendaftaran PK terdaftar dengan nomor perkara: 980 PK/PDT/2022 tertanggal 3 Agustus 2022. Pemohon PK terdiri dari Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Dalam Negeri/Mendagri RI cq Gubernur Kalimantan Tengah (Pemohon I); Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK (Pemohon II); Negara RI cq Presiden RI (pemohon III).
Pantau Gambut menyebutkan pengajuan PK karhutla mengindikasikan langkah mundur perlindungan lingkungan dan komitmen iklim. Padahal putusan kasasi gugatan Karhutla sebelumnya secara singkat berisi perintah pengadilan kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan penanggulangan dan menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Termasuk juga menunaikan kewajiban (termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan) dalam melindungi warga negara dalam menghentikan karhutla.
“Ketika dilakukan upaya hukum luar biasa, justru menjadi tanda tanya terhadap komitmen pemerintah pada perlindungan lingkungan, komitmen iklim, termasuk di dalamnya upaya perlindungan terhadap ekosistem gambut,” ucap Pengkampanye Pantau Gambut, Wahyu A Perdana.
Wahyu memandang hal tersebut dilatarbelakangi tiga argumentasi, pertama upaya PK ini menjadi contoh buruk bagi deretan korporasi yang diputus bersalah dalam karhutla, dan banyak diantaranya yang belum dieksekusi hingga sekarang.
Kedua, meresikokan ekosistem gambut yang berdampak signifikan pada perubahan iklim. Pantau Gambut mencatat hasil rerata terhadap data kebakaran gambut milik KLHK tahun 2015 dan 2019, sebesar 14 persen area terbakar berada di Provinsi Riau, sebesar 36 persen di Provinsi Kalimantan Tengah, dan sisanya tersebar pada provinsi gambut lainnya.
Ketiga, upaya PK justru menunjukkan lemahnya komitmen iklim dan perlindungan ekosistem gambut yang terdampak Karhutla dan berdampak signifikan pada pemanasan global, terlebih pasca disahkan Omnibus Law, dan hilangnya kewenangan supervisi konsesi pada BRGM. Diajukannya PK ini jelang COP 27.
Gambar area rentan terbakar berdasarkan tutupan lahan dan luas area terbakar berdasar provinsi. Sumb
Salah satu penggugat karhutla 2015, Afandi, menyebutkan gugatan yang dimenangkan oleh para penggugat sebenarnya berisi kewajiban pemerintah yang seharusnya sudah dipenuhi pemerintah sejak lama. Putusan itu mewajibkan pemerintah menerbitkan sejumlah aturan pelaksana untuk UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, membentuk tim gabungan peninjauan pengelolaan hutan, dan mendirikan rumah sakit khusus paru serta penyakit akibat polusi di Kalimantan Tengah.
“Artinya ini merupakan kewajiban pemerintah dan menjadi hak masyarakat, idealnya memang seperti itu. Jika ini saja dilakukan PK, artinya pemerintah menggugat sendiri kewajiban, mereka emoh memenuhi hak masyarakat yang menjadi kewajibannya,” ucap dia.