LIPUTAN KHUSUS:
Pandemi Berikutnya Diperkirakan Datang dari Gletser yang Mencair
Penulis : Kennial Laia
Mencairnya gletser dan lapisan es di wilayah kutub dikhawatirkan membangunkan kembali virus, yang dapat menginfeksi satwa hingga manusia.
Perubahan Iklim
Jumat, 21 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Data terbaru menunjukkan bahwa pandemi berikutnya kemungkinan tidak berasal dari kelelawar atau burung. Tetapi dari materi dalam es yang mencair akibat perubahan iklim.
Para peneliti menganalisis genetik sedimen tanah dan danau dari Danau Hazen, danau air tawar terbesar dunia di dataran tinggi Arktik. Hasilnya menunjukkan adanya risiko limpahan virus – di mana virus menginfeksi inang baru untuk pertama kalinya – yang berpotensi lebih tinggi terjadi di dekat gletser yang mencair.
Temuan ini menyiratkan bahwa ketika suhu global meningkat karena perubahan iklim, kemungkinan besar virus dan bakteri yang terperangkap di gletser dan lapisan es akan bangun kembali dan menginfeksi satwa liar setempat, terutama karena jangkauan mereka juga bergeser lebih dekat ke kutub.
Hal serupa pernah terjadi sebelumnya. Pada 2016 terjadi wabah antraks di Siberia utara yang menewaskan seorang anak dan menginfeksi setidaknya tujuh orang, yang dikaitkan dengan gelombang panas yang mencairkan lapisan es dan mengekspos bangkai rusa yang terinfeksi. Sebelum peristiwa tersebut, wabah terakhir di wilayah itu terjadi pada 1941.
Untuk lebih memahami risiko yang ditimbulkan oleh virus beku ini, Stéphane Aris-Brosou dan rekannya di Universitas Ottawa, Kanada, mengumpulkan sampel tanah dan sedimen dari Danau Hazen, dekat dengan aliran air lelehan es dalam jumlah kecil, sedang, dan besar dari gletser lokal.
Mereka kemudian mengurutkan asam ribonukleat (RNA) dan asam deoksiribonukleat (DNA) dalam sampel ini untuk mengidentifikasi ciri khas yang paling cocok dengan virus yang diketahui, serta hewan, tumbuhan, atau inang jamur yang potensial. Selanjutnya mereka menjalankan algoritma yang menilai kemungkinan virus ini menginfeksi kelompok organisme yang tidak terkait.
Penelitian tersebut, yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the Royal Society B, menunjukkan bahwa risiko virus menyebar ke inang baru lebih tinggi di lokasi yang dekat dengan aliran air lelehan glasial dalam jumlah besar. Situasi ini menjadi lebih mungkin saat iklim menghangat.
Tim peneliti itu tidak menghitung berapa banyak virus yang mereka identifikasi sebelumnya tidak diketahui – ini akan dilakukan sebagai tindak lanjut dalam beberapa bulan mendatang. Mereka juga tidak menilai apakah virus ini mampu memicu infeksi.
Namun, penelitian terbaru lainnya menunjukkan bahwa virus yang tidak diketahui dapat, dan memang, berkeliaran di es gletser. Tahun lalu, misalnya, para peneliti di Ohio State University di Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka telah menemukan materi genetik dari 33 virus dalam sampel es yang diambil dari dataran tinggi Tibet di China. Sebanyak 28 diantaranya merupakan virus baru. Berdasarkan lokasi, virus tersebut diperkirakan berusia sekitar 15.000 tahun.
Pada 2014, para ilmuwan di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis di Aix-Marseille menemukan virus raksasa yang mereka isolasi dari permafrost Siberia yang mencair. Di laboratorium virus tersebut kembali menular untuk pertama kalinya dalam 30.000 tahun. Jean-Michel Claverie, penulis studi tersebut, mengatakan kepada BCC pada saat itu bahwa mengekspos lapisan es seperti bisa menjadi “resep bencana”.
Meski begitu, tim Aris-Brosou mengingatkan bahwa memprediksi risiko limpahan yang tinggi tidak sama dengan memprediksi limpahan atau pandemi yang sebenarnya. “Selama virus dan ‘jembatan vektor’-nya tidak hadir secara bersamaan di lingkungan, kemungkinan peristiwa dramatis mungkin tetap rendah,” tulisnya.
Di sisi lain, perubahan iklim diprediksi akan mengubah kisaran spesies yang ada, dan berpotensi membawa inang baru ke dalam kontak dengan virus atau bakteri purba.
“Satu-satunya hal yang dapat kami bawa pulang dengan percaya diri adalah bahwa ketika suhu meningkat, risiko tumpahan di lingkungan khusus ini meningkat,” kata Aris-Brosou. “Apakah ini akan akan menyebabkan pandemi? Kami sama sekali tidak tahu.”
Hal yang masih samar lainnya adalah apakah potensi perpindahan inang yang diidentifikasi di Danau Hazen merupakan sesuatu yang unik di dalam sedimen danau. “Sejauh yang kami tahu, itu bisa sama dengan kemungkinan perpindahan inang yang ditimbulkan oleh virus dari lumpur di kolam Anda,” kata Arwyn Edwards, direktur di Interdisciplinary Centre for Environmental Microbiology di Aberystwyth University, Wales.
Akan tetapi Edwards mengatakan bahwa peradaban manusia sangat perlu menjelajahi dunia mikroba di seluruh planet kita untuk memahami risiko sesuai konteksnya.
“Dua hal menjadi sangat jelas sekarang. Pertama, bahwa Arktik memanas dengan cepat dan risiko utama bagi umat manusia berasal dari pengaruhnya terhadap iklim kita. Kedua, bahwa penyakit dari tempat lain menemukan jalannya ke komunitas dan ekosistem Kutub Utara yang rentan,” pungkasnya.