LIPUTAN KHUSUS:

Oxfam: Pendanaan Bencana Iklim Naik 800% dalam 20 Tahun Terakhir


Penulis : Kennial Laia

PBB memperkirakan bantuan kemanusiaan yang berhubungan dengan bencana iklim akan naik 40% pada 2030.

Perubahan Iklim

Kamis, 09 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Laporan terbaru mengungkap pendanaan bencana yang dibutuhkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melonjak lebih dari 800% dalam 20 tahun terakhir akibat pemanasan global. Namun hanya sekitar setengahnya dipenuhi oleh negara kaya.

Menurut Oxfam, yang menyusun laporan tersebut, tahun 2021 adalah yang termahal ketiga dalam catatan peristiwa cuaca ekstrem seperti kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan. Totak kerugian ekonomi diperkirakan mencapai $329 miliar, hampir dua kali lipat dari total bantuan yang diberikan negara donor.

Sementara itu negara miskin yang meminta bantuan kemanusiaan darurat senilai $63 - $75 juta selama lima tahun terakhir hanya menerima $35 - $42 juta. Oxfam menyebut gap yang ada sebagai “sedikit demi sedikit dan sangat tidak memadai.”

Danny Sriskandarajah, kepala eksekutif Oxfam GB, mengatakan kesenjangan keuangan tersebut tidak dapat diterima. Menurutnya, negara kaya tidak hanya gagal memberikan bantuan kemanusiaan yang memadai ketika bencana terkait cuaca melanda. Namun juga gagal memenuhi janji untuk menyediakan $100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang beradaptasi dengan perubahan iklim.

Seorang bocak kecil mengambil air dari genangan di Somalia. Negara tersebut telah menderita kekeringan parah selama lima tahun terakhir. Foto: UNICEF/Sebastian Rich

 “Negara kaya seperti Inggris harus bertanggung jawab penuh atas kerugian yang ditimbulkan oleh emisi mereka dan menyediakan dana baru untuk kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim di negara-negara termiskin,” kata Sriskandarajah dalam pertemuan iklim di Bonn, Jerman, Selasa lalu.

Ketua Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, Patricia Espinosa, mengatakan pada hari Senin bahwa waktunya telah tiba untuk mengatasi masalah kerugian dan kerusakan “secara terbuka, konstruktif dan hormat”.

Pada 2017, cuaca ekstrem disebut sebagai faktor "utama" dalam sebagian besar seruan kemanusiaan PBB untuk pertama kalinya, tulis Oxfam dalam laporannya. Pada 2021, cuaca ekstrem menjadi faktor "utama" atau "berkontribusi" dalam 78% dari semua permohonan tersebut, naik dari 35,7% pada tahun 2000.

PBB memperkirakan peningkatan 40% lebih lanjut dalam bencana iklim pada tahun 2030. Di satu sisi biaya manusia dan keuangan dari bencana iklim ekstrem cuaca telah menggunung.

Lebih dari setengah juta orang telah meninggalkan rumah mereka di kekeringan terburuk Somalia selama 40 tahun, kata Save the Children, Senin (6/6). Seperempat juta orang meninggal selama kelaparan terakhir di negara itu pada tahun 2011 – setengah dari mereka adalah anak-anak di bawah lima tahun. Kekeringan parah terkait iklim juga terus menyebar di Etiopia, Kenya, dan Somalia, sementara Sudan Selatan mengalami tahun kelima banjir ekstrem.

Ironisnya empat negara tersebut berkontribusi hanya 0,1% dari emisi global saat ini, dibandingkan dengan 37% yang dikeluarkan oleh negara kaya dan industri, kata Oxfam.

“Temuan laporan ini sangat mencolok,” kata Madeleine Diouf Sarr, ketua blok negara tertinggal pada pembicaraan iklim PBB. “Kami hampir tidak mengeluarkan apa pun, tetapi di kelompok negara kami ada pulau-pulau yang tenggelam, tanah longsor yang mengubur rumah, rumah sakit yang hanyut oleh peristiwa bencana.”

“Negara kaya memiliki tanggung jawab historis atas krisis ini, mengapa mereka tidak berkontribusi untuk membersihkan kekacauan ini?” kata Sarr.