LIPUTAN KHUSUS:

Perubahan Iklim dan Migrasi Satwa Liar Hasilkan Pandemi Baru


Penulis : Tim Betahita

Perubahan iklim memicu perpindahan habitat hewan liar yang kemungkinan ke daerah dengan populasi manusia yang besar yang berisiko menyebarkan virus.

Satwa

Kamis, 05 Mei 2022

Editor :

BETAHITA.ID -  Pandemi berikutnya diprediksi bisa terjadi akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Pasalnya, hal itu memicu perpindahan habitat hewan liar yang kemungkinan ke daerah dengan populasi manusia yang besar yang berisiko menyebarkan virus.

Dikutip dari Science Daily, studi internasional yang dipimpin ilmuwan dari Georgetown University, AS, dan diterbitkan di Nature, 28 April, meneliti perjalanan mamalia saat mereka pindah ke habitat baru.

Saat bertemu mamalia lain untuk pertama kalinya, studi memproyeksikan mereka akan berbagi ribuan virus. Perjalanan ini, menurut studi itu, bahkan berpeluang lebih besar memunculkan virus seperti Ebola atau virus corona di daerah baru serta membuatnya lebih sulit dilacak.

Selain itu, virus bisa masuk ke hewan baru dan menjadikannya "batu loncatan" untuk kemudian menulari manusia.

Karena mampu melakukan perjalanan jarak jauh, kelelawar akan menyumbang mayoritas penyebaran penyakit zoonotik di masa mendatang. Para peneliti memperkirakan bahwa saat ini terdapat sekitar 3.200 jenis virus corona yang sudah berpindah di antara populasi kelelawar. Foto: Science.org

"Analogi terdekat sebenarnya adalah risiko yang kita lihat dalam perdagangan satwa liar," kata penulis utama studi tersebut Colin Carlson, asisten profesor peneliti di Pusat Ilmu dan Keamanan Kesehatan Global di Georgetown University Medical Center seperti dikutip CNNIndonesia.

"Kami khawatir tentang pasar [hewan] karena menyatukan hewan yang tidak sehat dalam kombinasi yang tidak alami serta menciptakan peluang untuk proses kemunculan [pandemi] bertahap ini. Sebagaimana [kasus penyebaran] SARS yang melompat dari kelelawar ke musang, dari musang ke manusia," lanjut dia.

Namun demikian, kata Carlson, kasus pasar ini tak lagi istimewa bila dibandingkan perubahan iklim. "Dalam iklim yang berubah, proses semacam itu akan menjadi kenyataan di alam di mana-mana."

Dia menuturkan fenomena ini membuat hewan akan bergerak secara tidak proporsional di tempat yang sama dengan permukiman manusia serta menciptakan hotspot baru.

Tim peneliti mengatakan sebagian besar dari proses ini mungkin sudah berlangsung di dunia dengan suhu yang sudah lebih menghangat 1,2 derajat saat ini. Menurutnya pula, upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mungkin tidak menghentikan peristiwa ini.

Selain itu, virus bisa masuk ke hewan baru dan menjadikannya "batu loncatan" untuk kemudian menulari manusia.

"Analogi terdekat sebenarnya adalah risiko yang kita lihat dalam perdagangan satwa liar," kata penulis utama studi tersebut Colin Carlson, asisten profesor peneliti di Pusat Ilmu dan Keamanan Kesehatan Global di Georgetown University Medical Center.

"Kami khawatir tentang pasar [hewan] karena menyatukan hewan yang tidak sehat dalam kombinasi yang tidak alami serta menciptakan peluang untuk proses kemunculan [pandemi] bertahap ini. Sebagaimana [kasus penyebaran] SARS yang melompat dari kelelawar ke musang, dari musang ke manusia," lanjut dia.

Namun demikian, kata Carlson, kasus pasar ini tak lagi istimewa bila dibandingkan perubahan iklim. "Dalam iklim yang berubah, proses semacam itu akan menjadi kenyataan di alam di mana-mana."

Dia menuturkan fenomena ini membuat hewan akan bergerak secara tidak proporsional di tempat yang sama dengan permukiman manusia serta menciptakan hotspot baru.

Tim peneliti mengatakan sebagian besar dari proses ini mungkin sudah berlangsung di dunia dengan suhu yang sudah lebih menghangat 1,2 derajat saat ini. Menurutnya pula, upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mungkin tidak menghentikan peristiwa ini.

Peran Kelelawar si Penyebar

Studi ini juga menemukan kenaikan suhu global berpengaruh terhadap kelelawar, yang diketahui menjadi penyebar berbagai virus baru. Kemampuan satwa ini untuk terbang akan memungkinkan mereka melakukan perjalanan jarak jauh, dan menyebarkan virus paling banyak.

Peneliti pun memprediksi dampak terbesarnya terjadi di Asia Tenggara, yang menjadi rumah aneka ragam kelelawar.

"Simulasi mengejutkan kami. Kami telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memeriksa ulang hasil tersebut, dengan data yang berbeda dan asumsi yang berbeda, tetapi model selalu membawa kami pada kesimpulan ini," aku Carlson.

Ketika virus mulai berpindah antar-spesies inang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, para penulis penelitian mengatakan dampaknya terhadap konservasi dan kesehatan manusia bisa tak terduga.

"Mekanisme ini menambah lapisan [dampak] lain tentang bagaimana perubahan iklim akan mengancam kesehatan manusia dan hewan," kata penulis utama studi tersebut Gregory Albery, seorang peneliti pascadoktoral di Departemen Biologi di Fakultas Seni dan Sains Georgetown University.

"Tidak jelas persis bagaimana virus baru ini dapat mempengaruhi spesies yang terlibat, tetapi kemungkinan banyak dari mereka akan menyebabkan risiko konservasi baru dan memicu munculnya wabah baru pada manusia," lanjutnya.

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan iklim menjadi faktor risiko hulu terbesar terhadap munculnya penyakit, melebihi efek deforestasi, perdagangan satwa liar, dan pertanian industri.

Para penulis studi mengatakan solusi atas masalah ini adalah menerapkan pengawasan terhadap penyakit satwa liar.

"Mencoba menemukan lompatan tuan rumah ini secara real-time adalah satu-satunya cara kami dapat mencegah proses ini mengarah ke lebih banyak tumpahan dan lebih banyak pandemi," ungkap Carlson.

"Pandemi Covid-19, penyebaran SARS, Ebola, dan Zika sebelumnya menunjukkan bagaimana virus yang melompat dari hewan ke manusia dapat memiliki efek yang sangat besar. Untuk memprediksi loncatannya ke manusia, kita perlu mengetahui penyebarannya di antara hewan lain," kata Sam Scheiner, direktur program di National Science Foundation (NSF) AS, yang mendanai penelitian tersebut.