LIPUTAN KHUSUS:
Aktivis Somasi Pemerintah Pasca Korupsi dan Kelangkaan Migor
Penulis : Kennial Laia
Aktivis menggugat Presiden Jokowi dan tiga menteri untuk mengevaluasi seluruh perizinan sawit. Menyusul kasus korupsi ekspor CPO dan langkanya minyak goreng.
Sawit
Sabtu, 23 April 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat lainnya mendatangi Kementerian Perdagangan untuk menyampaikan somasi, Jumat, 22 April 2022. Hal itu terkait dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di Indonesia.
Desakan tersebut menyusul terbongkarnya korupsi fasilitasi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kejaksaan Agung telah menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana.
Kongkalikong itu diduga dilakukan bersama tiga individu dari perusahaan: PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas, dan Permata Hijau Group.
Organisasi masyarakat sipil yang menyampaikan gugatan terbuka secara langsung itu adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Nasional), Sawit Watch, Public Interest Lawyers Network (Pilnet), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan Greenpeace Indonesia. Mereka telah menyerahkan somasi di Kementerian Perdagangan.
Para aktivis mendesak agar pemerintah segera menuntaskan masalah kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Pemerintah juga diminta mencegah hal yang sama terulang di masa mendatang.
"Kami meminta untuk segera memenuhi permintaan kami paling lama 14 hari sejak surat ini kami sampaikan," kata Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo kepada media di Jakarta, 22 April 2022.
Somasi tersebut ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Sementara itu Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengatakan, kelangkaan minyak goreng dan korupsi fasilitasi izin ekspor di Kementerian Perdagangan merupakan secuil potret buram industri sawit di Indonesia.
“Persoalan lain yang luput diskursus ini adalah kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, konflik agraria, perampasan tanah-tanah masyarakat, kebakaran hutan dan lahan, banjir serta longsor sebagai kausalitas dari masifnya ekspansi sawit di Indonesia,” kata Uli.
Saat ini luas perkebunan sawit di tanah air mencapai 14,9 juta hektare. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, sebanyak 60% atau 9 juta hektare dimiliki perkebunan swasta besar yang dikuasai 25 grup perusahaan sawit. Sementara itu, 5 juta hektare dikelola oleh 2,74 kepala keluarga petani di Indonesia.
Hampir 80% dari hasil sawit Indonesia diekspor untuk memenuhi konsumsi global. Selain menjadi minyak goreng dan produk konsumsi serta kecantikan, proporsi terbesar CPO diolah menjadi bahan bakar biodiesel untuk luar maupun dalam negeri.
Menurut Uli, perubahan bentang hutan (deforestasi) menjadi perkebunan monokultur sawit dalam skala besar telah menghilangkan fungsi hutan sebagai penata air. Akibatnya, banjir dan longsor semakin sering terjadi kala intensitas hujan meninggi.
Saat musim kemarau, kebakaran hutan dan lahan dan krisis air bersih. Ekspansi izin sawit yang masif juga meningkatkan konflik di kampung-kampung. Di antaranya, perampasan tanah, kriminalisasi, kekerasan, dan intimidasi.
WALHI mencatat, setidaknya terdapat 58 kasus kriminalisasi sepanjang 2021. Sebanyak 34% diantaranya bersumber dari sektor perkebunan dan kehutanan.
Uli mengatakan, pemerintah terus memberikan fasilitas bagi korporasi sawit terlepas dari berbagai masalah tersebut. Hasil investigasi Tempo menyebutkan bahwa 80% dana sawit dari ekspor CPO dinikmati oleh grup-grup besar. Salah satunya adalah Wilmar Group untuk program biodisel. Sedangkan petani kecil sangat sulit mengakses dana ini.
Kemudahan lainnya meliputi izin ekspor, dana sawit, serta perizinan untuk memperluas perkebunan. Sejak 1980, luasnya melejit dari 200.000 hektare menjadi 14,9 juta hektare.
Ekspansi perkebunan sawit dikhawatirkan terus terjadi usai Undang-Undang Cipta Kerja selesai direvisi. Aturan ini dinilai menjamin kemudahan perizinan bagi pengusaha.
Uli mendesak agar pemerintah segera melakukan evaluasi seluruh perizinan sawit di Indonesia. “Melihat persoalan-persolan yang dihasilkan industri sawit hari ini, sudah seharusnya pengurus negara mengambil tindakan untuk mengevaluasi seluruh perizinan sawit di Indonesia.”
“Perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat, tanahnya harus kembali kepada rakyat. Sementara itu yang terbukti melanggar aturan hukum harus dicabut dan ditagih tanggungjawab pemulihannya,” kata Uli.