LIPUTAN KHUSUS:
Kelindan Permasalahan Minyak Goreng dalam Tata Niaga Sawit
Penulis : Ramada Febrian - Plt. Direktur Perkebunan Yayasan Auriga Nusantara
Kelangkaan minyak goreng setidaknya juga dipengaruhi oleh perilaku pemain CPO yang lebih memilih mengekspor bahan baku minyak goreng
Kolom
Kamis, 17 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Beberapa waktu lalu Indonesia sempat dihantui oleh kelebihan stok produksi minyak sawit. Bahkan di tingkat petani harga per kg tandan buah segar (TBS) sawit jadi sangat rendah, hanya di kisaran Rp700 hingga Rp900. Kelebihan stok inilah yang konon justru jadi awal mula kisruh kelangkaan minyak goreng saat ini.
Kala itu, harga CPO adalah yang terendah dalam 10 tahun terakhir. Itu terjadi pada pertengahan November 2018. Saat itu harga berada di kisaran Rp6.009.690 per ton. Hal ini disebabkan oleh tingginya stok minyak nabati global, seperti sawit, kedelai, biji bunga matahari, dan rapeseed. Sehingga harga minyak nabati secara global pun turun. Seakan memperparah, permintaan minyak nabati di pasar global pun rendah.
Pemerintah Indonesia saat itu menyiapkan 2 strategi untuk menahan laju penurunan harga, yakni pengendalian dari sisi penawaran dan permintaan:
- Dari sisi penawaran, pemerintah mengendalikan volume dan kualitas dari pasokan sawit dengan kebijakan seperti moratorium sawit, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan (PPTKH), kebijakan satu peta, penguatan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dan penyesuaian pungutan ekspor;
- Dari sisi permintaan, pemerintah mencoba mengendalikan harga lewat hilirisasi produk sawit dan optimalisasi B20.
Pada 2019, harga tidak menunjukkan perbaikan, bahkan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, year-on-year. Kondisi berubah sejak pandemi COVID 19 merebak, di saat itu permintaan minyak sawit menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
Sawit di Tengah Covid-19: Ya Berkah, Ya Masalah
Cuaca tidak menentu, disrupsi terhadap rantai pasok karena Covid-19, kekurangan tenaga kerja di Malaysia, menurunnya penggunaan pupuk karena harga meningkat, serta bangkitnya ekonomi negara-negara konsumen utama minyak sawit menjadi katalis melambungnya harga minyak sawit saat ini. Bahkan harga CPO mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah. Tepatnya pada akhir Januari lalu.
Meskipun pada awal-awal pandemi sempat mengalami kontraksi, menyebabkan volume ekspor berkurang, tetapi minyak sawit bisa bertahan. Harga CPO pada 2020 mulai membaik, di dalam negeri, ini didorong oleh peningkatan konsumsi biodiesel karena peningkatan blending mandatori biodiesel menjadi B30 dari B20 dan juga peningkatan konsumsi produk kebersihan dan antiseptik.
Permintaan minyak sawit pada tahun-tahun pandemi pun lebih stabil, bahkan cenderung meningkat seiring dengan membaiknya ekonomi di beberapa negara, seperti China, Pakistan, India, dan Amerika. Yang menjadi perhatian banyak pihak adalah ketersediaan minyak sawit.
Beberapa pakar menyebutkan, produksi puncak yang biasa terjadi pada kuartal ketiga setiap tahunnya, tidak terjadi pada 2021, sehingga ada kemungkinan permintaan tidak dapat dipenuhi. Salah satunya permintaan bahan baku untuk produksi minyak goreng.
Jika melihat harga bulanan minyak goreng (Gambar 2), sebetulnya pada 2019 dan 2020, harganya cukup stabil. Ada fluktuasi di masing-masing tahun tersebut tapi tidak besar. Paling hanya sekitar 1-3 persen kenaikan harganya. Itupun kadang terjadi penurunan harga meskipun kecil, sekitar 0,4-0,8 persen.
Anomali mulai terjadi pada tahun 2021, khususnya pada kuartal empat tahun 2021. Sebabnya karena stok bahan baku minyak goreng mulai menipis. Produksi yang diperkirakan memuncak pada kuartal tiga 2021 ternyata tidak terealisasi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan baku minyak goreng. Sehingga harga minyak goreng pun mulai meroket.
Terlihat pada gambar 2, harga mulai meroket sejak Oktober 2021. Yang sebelumnya hanya Rp16.050 per liter pada September 2021, pada Oktober 2021 naik 3,7 persen menjadi Rp16.650 per liter. Pada bulan November 2021 bahkan lebih gila lagi, naik 9 persen. Yang awalnya Rp16.650 per liter pada Oktober, naik menjadi Rp18.150 per liter pada November. Desember harga naik lagi 6,9 persen. Puncak tertinggi terjadi pada Januari 2022 lalu yang mencapai Rp 20.150 per liter atau naik sebesar 3,9 persen.
Meroketnya harga minyak goreng memicu pemerintah untuk melakukan intervensi. Awalnya pemerintah memberlakukan kebijakan minyak goreng satu harga dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000 per liter. Harga tersebut diback up oleh subsidi dari anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kebijakan yang semula direncanakan akan berlaku hingga enam bulan tersebut diubah pada akhir Januari 2022 lalu dengan skema dan instrumen baru. Karena perubahan kebijakan yang cepat, para produsen, distributor, maupun peritel membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan kebijakan yang ada. Dampaknya, stok minyak goreng menjadi langka di pasaran.
Solusi Berisiko Minyak Goreng ala Pemerintah
Setelah sebelumnya menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga. Akhir Januari 2022 lalu pemerintah keluarkan kebijakan teranyar, yakni kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), menetapkan harga penjualan di dalam negeri (Domestic Price Obligation/DPO), memberlakukan persetujuan ekspor, dan menentukan HET berdasarkan kemasan minyak goreng. Kebijakan baru tersebut adalah hasil evaluasi dari kebijakan minyak goreng satu harga. Kementerian Perdagangan mengklaim langkah ini sebagai langkah yang paling efektif menjaga harga minyak goreng di pasaran.
Pemerintah menyiasati masalah minyak goreng ini dengan mengondisikan hulu dan hilirnya. Pertama, dengan mewajibkan pemenuhan kebutuhan pasar domestik (DMO) sebesar 20 persen dari volume ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan RBD Palm Olein serta menetapkan harga penjualan dalam negeri (DPO) untuk CPO sebesar Rp9.300 per kg dan Rp10.300 per liter untuk RBD Palm Olein, itu dari sisi hulunya untuk memastikan kebutuhan bahan baku minyak goreng di dalam negeri terpenuhi. Langkah selanjutnya adalah dengan Persetujuan Ekspor. Persetujuan ekspor akan diberikan kepada eksportir yang telah merealisasikan DMO dan DPO, dengan bukti realisasi distribusi dalam negeri berupa purchase order, delivery order, dan lain-lain.
Kebijakan DMO, DPO, dan Persetujuan Ekspor ini juga secara resmi memperkenalkan diskresi yang kuat dalam sistem perdagangan minyak sawit kita, khususnya dalam hal pengaturan alokasi ekspor. Kebijakan tersebut juga mungkin menimbulkan atau bahkan memperkuat kartel ekspor minyak sawit serta aktivitas rent-seeking secara umum.
Dari sisi hilir, pemerintah menetapkan HET berdasarkan kemasan minyak goreng--tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 6 Tahun 2022. Untuk minyak goreng curah harga eceran tertingginya ditetapkan sebesar Rp11.500, minyak goreng sederhana Rp13.500, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000. Kebijakan ini untuk menghindari terjadinya penjualan minyak goreng dengan harga yang terlampau tinggi. Karena bahan baku minyak goreng sudah dibuat terjangkau.
Tujuan utama pemerintah menerapkan serangkaian kebijakan ini adalah memastikan agar ketersediaan bahan baku minyak goreng di dalam negeri terjaga dari fluktuasi harga internasional. Selain itu harga jualnya juga tidak bisa tinggi lagi lantaran pemerintah sudah menjamin volume dan harganya.
Ekspor Bahan Baku Minyak Goreng 2021 Naik, Siapa Pemainya?
Refined Palm Oil (RPO) atau yang biasa dikenal juga sebagai Refined Bleached Deodorised Palm Oil (RBDPO) adalah bahan baku produk-produk turunan minyak sawit, seperti minyak goreng, margarin, dan mentega. Umumnya, setelah melalui proses fraksinasi, 80 persen dari RPO akan menjadi palm olein dan 20 persen lainnya akan menjadi palm stearin. Bahan baku utama minyak goreng adalah palm olein, sementara palm stearin adalah bahan baku utama margarin dan mentega.
Dua tahun belakangan, 2020 dan 2021, ekspor RPO meningkat, masing-masing 27 persen dan 34 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sepanjang 2021, Indonesia telah mengekspor RPO dengan volume mencapai 7,5 juta ton. Dari total ekspor tersebut, 75 persennya di ekspor ke 10 negara, terbanyak ke Pakistan.
Berdasarkan data Trase 2015, eksportir RPO paling besar adalah Wilmar. Berikut 10 grup teratas eksportir RPO sepanjang tahun 2015.
Karena keterbatasan data eksportir, maka penulis menggunakan data yang tersedia di publik, yakni data yang tersedia pada platform trase.earth tahun 2015. Dengan gambaran data di atas, kemungkinan grup-grup yang melakukan eksportir pada 2021 adalah grup-grup tersebut juga. Perubahan mungkin akan terjadi pada peringkat, tapi tidak pada grup-grup eksportir tersebut.
Grup-grup eksportir di atas adalah pemain besar dengan jaringan perdagangan dan fondasi yang kuat serta memiliki pengaruh besar dalam rantai nilai minyak sawit secara global. Dan pemain kunci di dalam industri sawit secara keseluruhan, tidak lain dan tidak bukan, adalah grup-grup tersebut.
Terkunci Minyak Sawit oleh Pemain Kunci
Trase memperlihatkan, jauh lebih banyak perusahaan yang beroperasi pada tahap perkebunan dan pabrik pengolahan, dibandingkan tahap kilang dan ekspor. Konsentrasi kepemilikan di tahap kilang dapat disebabkan oleh besarnya modal yang dibutuhkan.
Dominasi sejumlah kecil pedagang di tingkat ekspor pada rantai pasok juga dapat menjadi konsekuensi langsung dari terbatasnya jumlah kelompok yang mengendalikan aset fasilitas kilang dan bulking.
Kepemilikan (konsentrasi horizontal) di rantai tingkat perkebunan, pengolahan, pengilangan, dan ekspor (CPO + RPO).
Dengan mengetahui tingkat kepemilikan kelompok korporasi yang mendominasi perkebunan, pabrik, kapasitas pengilangan dan mengendalikan ekspor, maka dapat dinilai tingkatan integrasi vertikal dalam rantai pasok minyak kelapa sawit di Indonesia.
Karena keterbatasan data eksportir, maka penulis menggunakan data yang tersedia di publik, yakni data yang tersedia pada platform trase.earth. Dengan gambaran data di atas, kemungkinan grup-grup yang melakukan eksportir pada 2021 adalah grup-grup tersebut juga. Perubahan mungkin akan terjadi pada peringkat, tapi tidak pada grup-grup eksportir tersebut.
Grup-grup eksportir di atas adalah pemain besar dengan jaringan perdagangan dan fondasi yang kuat serta memiliki pengaruh besar dalam rantai nilai minyak sawit secara global. Dan pemain kunci di dalam industri sawit secara keseluruhan, tidak lain dan tidak bukan, adalah grup-grup tersebut.
Rekomendasi untuk Pembatasan Ekspor: Sesuaikan Tarif Pungutan Ekspor Sawit ketika Harga CPO di atas USD1000 per Ton
Tarif ekspor adalah instrumen perdagangan internasional yang dapat menjadi pilihan di antara kebijakan lainnya untuk membatasi ekspor. Kebijakan pungutan ekspor adalah salah satu bentuk dari tarif ekspor. Dengan aturan tersebut, setiap produk minyak sawit yang diekspor akan dikenakan tarif tertentu ketika harga CPO mencapai harga tertentu. Saat ini Indonesia menganut tarif ekspor yang progresif, namun hanya sampai harga CPO USD1000 per ton. Di atas harga itu tarif menjadi tetap. Ketika harga CPO di bawah atau sama dengan USD750 per ton maka setiap ton ekspor RBDPO akan dikenakan pungutan ekspor sebesar USD25. Sementara ketika harga CPO di atas USD1000 per ton, maka setiap ton RBDPO akan dikenakan pungutan sebesar USD121 per ton. Ini seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76 Tahun 2021.
Sesuai dengan harga referensi yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 5 Tahun 2022. Harga referensi CPO yang mulai berlaku pada 1 Februari 2022 adalah USD1.314,78 per ton. Artinya saat ini, tarif pungutan ekspor adalah USD121 per ton.
Untuk menjaga stok kebutuhan minyak sawit dalam negeri, pemerintah dapat membatasi ekspor minyak sawit dengan menyesuaikan tarif pungutan ekspor ketika harga di atas USD1000 per ton dan seterusnya. Atau dengan kata lain, menghapus tarif tetap pungutan ekspor ketika harga di atas USD1000 per ton. Maka tarif pungutan ekspor dapat menjadi seperti gambar berikut:
Dengan menambah klasifikasi harga pada tarif pungutan ekspor, pemerintah juga mengharmoniskan ketentuan tarif pungutan ekspor dengan kebijakan tarif pada bea keluar. Saat ini patokan bea keluar klasifikasi harganya mencapai lebih dari USD1250 per ton atau kolom 12 sebutannya dalam tarif bea keluar.
Berdasarkan data yang terhimpun. Persoalan kelangkaan bahan baku minyak goreng yang berimbas pada meningkatnya harga kemudian stok minyak goreng itu sendiri, setidaknya juga dipengaruhi oleh perilaku bisnis pemain CPO yang lebih memilih mengekspor RPO, ketimbang memastikan bahan baku minyak goreng itu di dalam negeri cukup. Dalam hal ini kontrol pemerintah dalam memastikan bahan baku minyak goreng dalam negeri tercukupi juga lemah.
Agar di kemudian hari persoalan serupa tidak terulang, maka menetapkan tarif progresif pada pungutan ekspor untuk harga CPO di atas USD1000 per ton adalah pilihan bijak. Langkah tersebut akan menekan harga domestik dan meningkatkan harga internasional, serta menurunkan volume ekspor. Secara teoritis, masyarakat Indonesia akan menerima keuntungan karena memiliki “kemampuan” membeli minyak sawit yang lebih baik daripada konsumen di luar negeri.