LIPUTAN KHUSUS:
SPV dan Pajak Kelapa Sawit
Penulis : Redaksi Betahita
Ancaman pelebaran defisit anggaran ada di depan mata karena seretnya penerimaan pajak.
Analisis
Kamis, 13 April 2017
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Ancaman pelebaran defisit anggaran ada di depan mata karena seretnya penerimaan pajak. Sampai awal Oktober 2016, realisasi penerimaan pajak baru Rp 791 triliun atau 60% dari target Rp 1.318 triliun. Penerimaan ini sudah termasuk uang tebusan program amnesti pajak yang mencapai Rp 97,2 triliun. Kemungkinan defisit anggaran bisa mencapai 2,7% terhadap produk domestik bruto (PDB), naik dari target 2,5%.
Harus ada upaya lebih optimal dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menggali potensi penerimaan pajak dari sektor produktif seperti perkebunan sawit. Perkebunan sawit merupakan sektor produktif dengan rata-rata tingkat perputaran uang mencapai Rp 1,2 triliun per hari. Ini baru dihitung dari transaksi perdagangan tandan buah segar (TBS) dan CPO, belum termasuk komponen lain dan faktor efek pengganda ekonominya. Jika dihitung dengan perhitungan sederhana, potensi penerimaan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa mencapai Rp 45 triliun-Rp 50 triliun per tahun.
Tapi sangat disayangkan. Berdasarkan data DJP (2015) realisasi penerimaan pajak dari perkebunan sawit hanya Rp 22,2 triliun. Kontribusinya terhadap total penerimaan pajak hanya 2,1%. Rendahnya realisasi penerimaan pajak di sektor ini disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak (WP).
Dari 70.918 WP (badan dan perorangan) hanya 9,6% yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak. Menyedihkan, sebanyak 87,8% melaporkan SPT pajak nihil. Banyak juga perusahaan yang beroperasi tapi tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) seperti ditemukan di Provinsi Riau. Sebanyak 127 perusahaan tidak memiliki NPWP.
Tak bisa dipungkiri, rendahnya tingkat kepatuhan pajak di perkebunan sawit disebabkan banyak perusahaan dan pemiliknya melakukan penghindaran pajak dan pengelakan pajak. Banyak modus yang dilakukan WP, salah satunya dengan membuat perusahaan cangkang atau special purpose vehicle (SPV) di negara suaka pajak. SPV digunakan untuk menyembunyikan aset WP dan menggelapkan transaksi perdagangan.
Ada beberapa modus yang dilakukan oleh WP. Pertama, WP badan yang mengekspor CPO dan produk turunannya menggunakan SPV untuk melakukan praktik transfer pricing. Caranya, catatan transaksi ekspor yang ada di dalam dokumen ekspor (laporan surveyor dan nota pemberitahuan ekspor) dibuat dengan perusahaan SPV di Singapura. Padahal, negara tujuan ekspornya adalah India. WP badan membuat transaksi bayangan (shadow trading). Dan, tentu harga ekspor di dalam nota transaksi diturunkan (downgrade) dari harga riil.
Kedua, uang dari devisa hasil ekspor tidak langsung dimasukkan ke dalam negeri tapi disimpan di negara suaka pajak dengan menggunakan rekening SPV. Sehingga, otoritas perpajakan kesulitan melacak dana tersebut. Ketiga, banyak pemilik perusahaan menyimpan harta dan aset mereka di negara suaka pajak dengan menggunakan SPV. Mereka menikmati berbagai fasilitas perpajakan yang minim dan fasilitas kerahasiaan simpanan dari otoritas setempat.
Integrasi data pajak
Praktik di atas jelas menimbulkan kerugian negara akibat hilangnya potensi penerimaan pajak. Sampai saat ini, DJP belum mempunyai instrumen efektif mengejar praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit dan pemiliknya kecuali program amnesti pajak. Apa yang menjadi kesulitan DJP untuk mengejar hal tersebut?
Pertama, tidak ada sistem integrasi data yang bisa digunakan otoritas perpajakan untuk memverifikasi laporan pajak WP. Untuk melakukan verifikasi laporan pajak, DJP membutuhkan informasi seperti; data izin usaha perkebunan (IUP), data hak guna usaha (HGU), data geo-spasial perkebunan, laporan penilaian usaha perkebunan (PUP), data standar harga TBS, CPO dan palm kernel, laporan perkembangan usaha perkebunan, laporan realisasi penyaluran benih, laporan audit sertifikasi ISPO, data kepemilikan kebun rakyat (STDB) dan data standar biaya pembangunan kebun. Ironisnya, data itu tidak terkelola baik dan tidak diintegrasikan ke data perpajakan.
Kedua, untuk membuktikan adanya praktik transfer pricing dalam transaksi ekspor, otoritas perpajakan membutuhkan dokumen ekspor seperti laporan surveyor dan nota pemberitahuan ekspor. Dokumen ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, tapi belum terintegrasi dengan basis data di DJP. Dengan permasalahan di atas, DJP kesulitan memverifikasi laporan pajak WP.
Apalagi dengan sistem self assessment, WP melakukan perhitungan sendiri laporan pajaknya, keberadaan data yang lengkap menjadi kunci utama melakukan verifikasi laporan pajak. Mustahil, DJP melakukan survei ke semua perusahaan perkebunan sawit dan mengukur luasan lahan, produksi dan melakukan verifikasi semua transaksi perdagangan di setiap WP perkebunan sawit. Apalagi praktiknya sudah terorganisir dengan menggunakan SPV di negara suaka pajak.
Lalu bagaimana langkah optimalisasi penerimaan pajak sawit? Melakukan integrasi dan konsolidasi semua data. Perlu dioptimalkan penggunaan satu peta sebagai basis geo-spasial dari semua IUP dan HGU perkebunan sawit. Data geo-spasial juga harus memberikan informasi kondisi tutupan lahan (vegetasi) seperti umur tanaman, sehingga memudahkan mengestimasi data produksi. Data geo-spasial itu perlu di update dengan data laporan PUP yang secara priodik dilakukan. Sehingga, perkembangan luasan lahan, umur tanaman dan produksi dapat tervalidasi dengan baik setiap tahun.
Data ekspor yang dikelola Direktorat Jenderal Bea Cukai dan data perdagangan antar pulau yang dikelola oleh Kementerian Perdagangan juga harus diintegrasikan dengan data DJP. Sehingga, semua data perdagangan terintegrasi dalam satu sistem. Semua data yang sudah terintegrasi harus dikoneksikan ke database perpajakan.
Jika semua data sudah diintegrasikan, maka DJP bisa mengoptimalkan untuk mengejar WP yang melakukan penghindaran pajak. Karena, basis data untuk verifikasi laporan pajak WP perkebunan sawit sudah ada dalam database DJP dengan tingkat validasi data sangat tinggi.
Selain itu, pemerintah harus memperkuat kerjasama pertukaran data dan informasi terutama dengan negara-negara suaka pajak. Peluangnya terbuka lebar karena 2018 sudah masuk era pertukaran data dan informasi perpajakan global melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Tinggal bagaimana pemerintah menyiapkan perangkat sistem menghadapi AEoI, terutama perbaikan sistem administrasi perpajakan dan keterbukaan informasi keuangan.
Wiko Saputra, Peniliti Kebijakan Ekonomi Yasasan Auriga Nusantara