LIPUTAN KHUSUS:
Krisis Iklim: 1 Juta Lebih Warga Madagaskar Butuh Pangan
Penulis : Sandy Indra Pratama
Akibat krisis iklim, Madagaskar telah dilanda kekeringan selama empat tahun.
Perubahan Iklim
Minggu, 14 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Lebih dari 1,1 juta orang di Madagaskar selatan sangat membutuhkan bantuan makanan dalam krisis yang memburuk dengan cepat. Seperti dilaporkan AP, Madagaskar telah dilanda kekeringan selama empat tahun akibat dari adanya krisis iklim.
Sekitar 700.000 orang sudah menerima bantuan makanan dan peningkatan bantuan darurat diperlukan, menurut Program Pangan Dunia (WFP) yang bekerja sama dengan pemerintah Malagasi dan lembaga kemanusiaan lainnya.
“Panen gagal terus-menerus, jadi orang tidak punya apa-apa untuk dipanen dan apa pun untuk memperbarui stok makanan mereka,” ujar Alice Rahmoun, petugas komunikasi WFP di Madagaskar.
Menurut Amnesty International, lebih dari 90% populasi di wilayah "Deep South" Madagaskar hidup di bawah garis kemiskinan, membuat keluarga sangat rentan.
“Semua lembaga bantuan bekerja sama untuk mencoba mencegah krisis ini berubah menjadi kelaparan,” kata Jean-Benoît Manhes, wakil perwakilan UNICEF di Madagaskar, kepada The Associated Press melalui kantor beritasatu.
"Tapi kita menyaksikan kemerosotan yang membutuhkan peningkatan sumber daya. Sebagai gambaran, pada bulan Juli dan Agustus, 14.000 anak dirawat karena kekurangan gizi akut yang parah. Itu biasanya jumlah yang kami tangani sepanjang tahun,” paparnya.
Kekeringan selama empat tahun berturut-turut telah memusnahkan tanaman dan menghabiskan cadangan makanan komunitas pertanian "Grand Sud" atau Great South Madagaskar.
“Madagaskar Selatan terbiasa dengan musim kemarau, biasanya dari Mei hingga Oktober, yang dikenal sebagai kere dalam bahasa Malagasi ketika ladang kering dan kekurangan makanan, tetapi tahun ini jauh lebih buruk,” kata petani setempat.
Kondisi tanah sangat keras sehingga sulit untuk menanam tanaman jagung, padi, dan singkong yang secara tradisional dimulai pada bulan November.
“Tidak mungkin berkultivasi di sini saat ini,” kata Nathier Ramanavotse, 68 tahun, wali kota Maroalomainty, di ujung selatan Madagaskar.
“Pekan lalu, hujan sedikit tetapi tidak cukup untuk bercocok tanam. Kami dulu menanam banyak jagung di sini, tetapi selama empat tahun panen gagal. Kondisinya semakin parah. Tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukan di sini untuk menghasilkan uang,” tutur Ramanavotse.
Baru-baru ini daerah tersebut telah diganggu oleh angin pasir yang kuat, yang disebut “tiomena” dalam bahasa Malagasi yang berarti angin merah. Menurut para petani, badai pasir telah melanda dan merusak tanaman awal yang ditanam.
“Semua pohon telah ditebang di daerah itu dan tidak ada yang tersisa untuk menahan angin,” keluh Ramanavotse.
Di bagian negara yang terkurung daratan, banyak petani beralih ke penebangan pohon dan penambangan batu bara untuk bertahan hidup. Dalam kondisi putus asa, banyak keluarga telah beralih ke strategi upaya terakhir untuk bertahan hidup.
“Kalau uang habis, kami makan daun kaktus atau umbi-umbian. Saat periode kere ini, kami makan sesuatu yang bahkan kami tidak tahu namanya. Untuk mendapatkan air, orang harus menggali di Sungai Mandrare yang saat ini sangat kering dan membutuhkan banyak jerih payah,” papar Liafara yang hanya punya satu nama.
Lain lagi kisah, ibu dari lima anak, Liafara, 37 tahun. Dia mengaku sulit menghemat makanan yang ada untuk memberi makan keluarganya.
“Kalau punya sedikit uang, kami beli nasi untuk makan malam. Kami memasaknya dengan banyak air untuk dibagikan kepada kami semua. Tapi sering malam, kami tidak bisa tidur. Kami hanya berguling-guling di tempat tidur karena kami lapar,” keluhnya.