LIPUTAN KHUSUS:
Respon Konservasionis Gajah Soal Surat Edaran Arahan Strategis
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Surat Edaran Arahan Strategis Dirjen KSDAE itu ada kelemahan, sehingga masa berlakunya diharapkan janganlah lama dan agar SRAK Gajah bisa segera diterbitkan.
Biodiversitas
Selasa, 12 Oktober 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Surat Edaran Nomor 7/KSDAE/KKH/KSA.2/10/2021 tentang Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Gajah Sumatera terbit berselang dua bulan sejak Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) mengeluarkan Keputusan Nomor: SK.400/KSDAE/KKH/KSA.2/8/2021 tentang Pembatalan Keputusan Dirjen KSDAE Nomor: SK.39/KSDAE/SET/KSA.2/1/2020 tentang Rencana Tindakan Mendesak (RTM) Penyelamatan Populasi Satwa Gajah Sumatera Periode 2019-2022.
Surat Edaran itu seolah dibuat untuk mengakomodir kebijakan baru konservasi gajah sumatera (Elephas Maximus sumatranus) pascapembatalan RTM. Apalagi sampai saat ini dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Gajah Indonesia terbaru belum juga diterbitkan.
Bagi para pegiat konservasi gajah, Surat Edaran Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Gajah Sumatera ini adalah dokumen yang cukup penting. Namun sayangnya, dokumen ini ada kelemahannya. Karena berbeda dengan RTM, arahan strategi yang ada di dalam Surat Edaran Dirjen KSDAE itu tidak disertai penjelasan secara rinci.
Wishnu Sukamtoro dari Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa mengatakan, keempat arahan strategi dalam Surat Edaran Dirjen KSDAE itu sebenarnya merupakan saduran dari RTM Penyelamatan Populasi Satwa Gajah Sumatera (2019-2022) yang telah dibatalkan. Hanya saja, Surat Edaran tersebut memang memiliki kelemahan dibandingkan dengan RTM.
"Keempat arahan strategis itu sebenarnya disadur dari RTM. Jadi dari sisi prolog dan lain-lain dihilangkan dan poin strategisnya yang diambil. Memang kelemahan dokumen itu tidak ada penjelasan rinci, tetapi dalam konteks kami yang menyusun RTM, ya arahnya ke RTM," kata Wishnu, Sabtu (9/10/2021).
Wishnu memandang, baik RTM maupun arahan strategis, memiliki fungsi yang cukup penting bagi pemerintah, kalangan pengusaha, organisasi masyarakat sipil dan lembaga yang konsen dengan konservasi gajah lainnya. Karena dengan adanya RTM ataupun arahan strategis, para konservasionis gajah memiliki panduan yang lebih spesifik.
"Terutama untuk 3 tahun ini yang menjadi target minimal stabilitas populasi gajah di alam."
Meski begitu, lanjut Wishnu, tanpa panduan pun upaya penyelamatan populasi gajah oleh tiap organisasi tetaplah berjalan. Hanya saja ruang lingkupnya bisa jadi akan melebar, karena visi dan misi tiap organisasi berbeda, termasuk dalam isu konservasi gajah.
"RTM yang dibatalkan kemarin pun kita tetap jalan saja, karena isi dokumen tersebut telah melalui tahap partisipatif termasuk dengan UPT (unit pelaksana teknis)."
Dalam Arahan Strategis Dirjen KSDAE disebutkan adanya 12 kantong habitat gajah yang menjadi prioritas perlindungan alami dari perburuan dan pencegahan kematian akibat konflik. Menurut Wishnu, 12 kantong habitat tersebut adalah kantong habitat yang berada di Provinsi Aceh (Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Subussalam), Riau (Tesso Nilo dan Balai Raja-Giam Siak Kecil), Jambi (Sumai dan Hutan Harapan-PT Reki Harapan), Lampung (Bukit Barisan Selatan dan Way Kambas), Sumatera Selatan (Sugihan-Simpang Heran) dan Bengkulu (Seblat).
Potensi konflik gajah-manusia di alam masi besar. Karena, dari total sekitar 4,8 juta hektare habitat gajah sumatera, 70 persen di antaranya berada di luar kawasan konservasi. Artinya sebagian besar habitat gajah itu tidaklah aman. Apalagi dari 70 persen itu, 56 persennya berada di kawasan hutan produksi dan areal penggunaan lain (APL). Mengenai hal itu, Wishnu bilang, sudah ada strategi khusus untuk memitigasi konflik gajah-manusia di habitat.
"Untuk habitat, kami sudah ada strateginya, yaitu pengelolaan ruang gajah-manusia dalam strategi zona untuk habitat gajah. Zona transisi di mana gajah dan masyarakat bisa hidup bersama dan zona untuk masyarakat. Memang monitoring intensif di semua kantong populasi gajah itu diperlukan. Apakah itu di dalam kawasan konservasi dan di luar kawasanm" kata Wishu.
Wishnu menjelaskan, walaupun strategi ini nantinya akan membagi ruang hidup manusia dan gajah, tetapi penggunaan fencing (kawat listrik) tetap akan diminimalisasikan. Kalaupun digunakan, penggunaan fencing akan difokuskan pada area pemukiman, dan perkebunan milik masyarakat.
"Atau bisa di zona di mana masyarakat masih bisa menanam jenis tanaman yang masih disukai gajah, fencing bisa digunakan, tapi fokus fencing sebaiknya di wilayah pemukiman."
Konservasi Gajah dan Habitatnya Vs Investasi
Sementara itu, mengenai banyaknya habitat gajah yang tumpang tindih atau bersinggungan dengan areal kerja perusahaan. Wishnu menuturkan, alih fungsi kawasan hutan tentu saja memicu konflik dan meningkatkan potensi perburuan gajah. Seperti yang terjadi di Aceh Timur baru-baru ini. Seekor gajah ditemukan mati tanpa kepala di perkebunan sawit, yang mana areal tersebut sebelumnya merupakan kawasan hutan yang kemudian dilepaskan.
"Akhirnya saat kemudian dialihfungsikan untuk kebun, konflik dan perburuan terjadi. Di tempat lain posisi kantong gajah di wilayah yang telah terkonversi atau diberi izin. Jadi konteksnya adalah pengelolaan konflik," katanya.
Pengelolaan konflik dimaksud, perusahaan sebagai pemegang izin usaha harus dapat menerima keberadaan gajah di dalam areal kerjanya. Karena bagaimanapun, areal kerja perusahaan itu sebelumnya merupakan habitat gajah. Sehingga dari yang sebelumnya areal tersebut merupakan zona konflik berubah menjadi zona saling menerima. Akan tetapi sejauh ini hal itu baru bisa dilakukan di areal hutan tanaman industri saja.
"Di Riau kami bekerja juga di kawasan APL. Jadi mendorong juga di masyarakat dalam lingkup desa untuk pengembangan pola ruang gajah dan masyarakat, salah satunya ke arah agroforestri."
Wishnu menambahkan, perusahaan biasanya menjalin kerjasa sama dengan lembaga-lembaga konservasi gajah, terutama dalam merespon konflik. Akan tetapi yang perlu diperhatikan lebih dalam adalah aspek preventif atau early warning sistem. Karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), maupun perusahaan, tidak hanya fokus terhadap gajah saja, tetapi pada semua biodiversitas.
"Sehingga patroli yang dilakukan tidak spesifik terhadap gajah. Hal ini sebenarnya bisa dibantu oleh NGO (Non Government Organization) atau lembaga yang fokus untuk konservasi gajah. Di sisi lain, perusahaan masih seperti kebanyakan promosi atau seremoni, tapi minim implementasi. Tapi dibanding 10 tahun lampau, konsesi saat ini sudah banyak progres."
Mengenai perlindungan habitat, Wishnu mengatakan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor:SK.666/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/2/2021 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha (PIPPIB), Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB) Tahun 2021 Periode I, yang digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Edaran, boleh jadi cukup, untuk di tataran legalitas. Tapi KLHK juga menghadapi aktivitas ilegal perambahan, dan hal itu sulit diatasi.
"Bagi perlindungan gajah adalah tidak cukup. Pembangunan pola ruang di tataran tapak dan implementasi pola ruang gajah-manusia itu yang bisa memberi dampak signifikan bagi penurunan konflik dan aspek perburuan," ujar Wishnu.
Wishnu menyadari, kepentingan konservasi satwa, termasuk gajah, masih kalah dibandingkan kepentingan investasi dan pembangunan. Wishnu menganggap, perusahaan sebenarnya dapat berkontribusi dengan menyisihkan sebagian keuntungan usahanya untuk konservasi gajah. Seperti yang sudah dilakukan oleh sejumlah perusahaan. Hanya saja saat ini hal semacam itu masih bersifat voluntary atau atas dasar kesukarealaan saja.
"Atau menggunakan skema karbon, di mana restorasi ekosistem yang menjadi kontribusi konsesi dihitung di dalam aspek perdagangan karbon atau kredit karbon, perusahaan juga dapat benefit untuk konservasi gajah juga."
Wishnu menuturkan, pihaknya berkeinginan untuk melakukan sebuah inovasi, yang mana konteks konservasi gajah dapat dilihat bukan sebagai beban biaya bagi pemerintah atau perusahaan dan masyarakat. Dalam penerapan agroforestri yang ramah gajah misalnya, masyarakat bisa mendapat keuntungan lebih, yaitu biaya rendah dalam pengelolaan kebun karena konflik dengan gajah turun.
"Karna konflik turun, otomatis benefit bertambah. Komoditas yg yang dipilih bisa sama jika dibandingkan keuntungan dari sawit misalnya, bahkan lebih."
Harap SRAK Gajah Segera Terbit
Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Donny Gunaryadi juga memberikan penilaian terhadap Surat Edaran Dirjen KSDAE itu. Donny bilang, secara substansial arahan strategi dalam Surat Edaran Dirjen KSDAE itu tidak ada beda dengan RTM. Yang berbeda adalah posisi pemerintah dalam memberikan arahan. Surat edaran cenderung minim pelibatan peran aktif pihak terkait.
"Secara isi sama persis. Namun karena sifatnya surat edaran, ada beda posisi pemerintah dalam memberikan arahan. Kalau dulu suatu rencana secara komunikasi di kolaborasi bersama dengan pemerintah daerah. Namun saat ini karena sifatnya edaran, seperti tidak ada ajakan untuk berperan aktif. Namun, semuanya tergantung dari pendekatan aktif," kata Donny, Sabtu (9/10/2021).
Donny melanjutkan, pihaknya sebagai pengurus Forum Konservasi Gajah Indonesia berpendapat, agar masa berlaku Surat Edaran Dirjen KSDAE itu tidaklah terlalu lama. Sehingga dokumen resmi pengganti, berupa Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Gajah Indonesia 2020-2030, bisa segera terbit.
"Alasan utamanya adalah adanya skema monev (monitoring dan evaluasi) di dalam SRAK yang bisa sebagai acuan kita bersama."
Mengenai anggapan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha (PIPPIB), sudah sejalan dengan upaya perlindungan habitat gajah.
Donny berpendapat, walaupun dikatakan ada 19 kantong habitat gajah masuk dalam PIPPIB, namun pengawasan dan pengelolaan aktif pada wilayah habitat gajah tetap perlu dilakukan. Karena jika tidak dilakukan maka kantong-kantong habitat gajah yang beririsan dengan PIPPIB itu tidak akan ada bedanya dengan kantong habitat yang berada di luar PIPPIB, yang tidak ada pengawasan atau upaya perlindungan.
"Ini yang juga tidak ada dalam SE (surat edaran). Itulah kenapa kita berharap SRAK gajah yang baru bisa segera keluar sehingga akan membantu semua pihak dalam kolaborasi seperti upaya pemindahan gajah tersebut."
Mengenai strategi penyelamatan gajah dari populasi alami kritis (doomed population) dan pemindahan ke habitat yang aman dan layak yang tertuan dalam dalam Surat Edaran Dirjen KSDAE. Donny menjelaskan, hal itu merupakan bagian dari manajemen aktif pengelolaan Gajah. Karena Beberapa kantong mulai mengalami situasi kritis yang semakin besar, karena kantong gajah tersebut terisolasi.
"Mekanisme pemindahan menjadi satu opsi yang baik asal dilakukan secara cermat dan prosedural. Maksudnya ke habitat lainnya. Jika habitat baru, tidak semudah itu. Karena lebih ke pengayaan genetika menurut saya," kata Donny.
Sementara itu, hingga liputan ini selesai ditulis, Dirjen KSDAE Wiratno, tidak memberikan respon apapun atas upaya konfirmasi dan wawancara yang telah coba dilakukan. Sejumlah pertanyaan yang disampaikan kepada yang bersangkutan melalui pesan What's App tidak mendapatkan balasan, meskipun yang bersangkutan diketahui menerima dan telah membaca pesan tersebut.