LIPUTAN KHUSUS:
Aliansi Gerak Tutup TPL Pertanyakan Transparansi Audit PT TPL
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL meminta agar ada transparansi terkait audit yang dilakukan KLHK terhadap PT TPL itu.
Hutan
Jumat, 27 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini mengklaim sudah memberikan sanksi administratif kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL), terkait pencemaran limbah industri di kawasan Danau Toba. Audit yang dilakukan KLHK terhadap PT TPL, konon menghasilkan 58 item temuan.
Sayangnya belum ada kejelasan, apa saja 58 item temuan yang dihasilkan itu. Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL meminta agar ada transparansi terkait audit yang dilakukan KLHK terhadap PT TPL itu. Aliansi Gerak Tutup TPL sendiri merupakan gabungan sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk KSPPM, AMAN Tano Batak, Bakumsu dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
"Kita menghargai upaya pemerintah dalam hal ini KLHK dalam melakukan audit PT TPL oleh Tim Gakum. Tapi bukankah harusnya Gakum juga melakukan audit ini dengan transparan. Hak masyarakt di Tano Batak juga mendapatkan informasi terkait proses audit ini," ujar Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Kamis (26/8/2021).
Delima melanjutkan, proses audit yang dilakukan KLHK itu dilakukan untuk menjawab tuntutan gerakan masyarakat sipil di Tapanuli atas dugaan kerusakan lingkungan dan ketidaktaatan PT TPL terhadap Undang-Undang Lingkungan Hidup. Sudah seharusnya temuan, bahkan respon PT TPL disampaikan kepada publik.
"Kalau protes ini tidak ada, apakah Gakkum akan melakukan audit rutin? Nah, bagaimana kita mempercayai audit Gakkum yang terkesan tertutup ini? Setidaknya semua proses audit, temuan dan respon TPL dibuka kepada publik di Tapanuli secara umum, atau paling tidak kepada masyarakat sipil yang menuntut."
Delima mengaku sama sekali tidak mengetahui bagaimana proses audit PT TPL berjalan, pihaknya baru tahu audit yang dilakukan KLHK sudah selesai, khususnya terkait pencemaran limbah, justru dari pemberitaan media. Delima bilang, pihaknya pernah diajak diskusi oleh Tim Penyelesaian Konflik yang dibentuk KLHK, namun hal diskusi dimaksud hanya terkait Hutan Adat.
"Oleh karena itu, supaya tidak terkesan ada yang ditutupi, maka Gerakan Rakyat Tutup TPL mendesak dilakukannya audit independen secara menyeluruh kepada PT TPL."
Terpisah, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak, Roganda Simanjuntak, juga mengaku sama sekali tidak mengetahui soal pelaksanaan proses audit yang dilakukan KLHK itu berlangsung. Roganda juga berpendapat proses audit itu haruslah dilakukan secara transparan.
"Publik tidak diberitahu apa saja 58 item tersebut. Oleh karena itu pihak KLHK harus membuka data tersebut kepada publik," kata Roganda, Kamis (26/8/2021).
Ada beragam persoalan terkait PT TPL, yang menurut Roganda, juga harus dilakukan audit. Di antaranya, soal Hutan adat, klaim hutan negara di wilayah adat, limbah pabrik PT TPL, limbah yang dihasilkan PT TPL di areal konsesinya, kerusakan sungai dan anak sungai akibat aktivitas PT TPL, dan kerusakan jalan akibat truk-truk pengangkut kayu lebihi tonase.
"Kalau Presiden Jokowi memang serius merespon data aduan yang disampaikan Togu Simorangkir, seharusnya dilakukan audit total. Presiden yang komandoi karena libatkan lintas kementerian," imbuh Roganda.
Koordinator Studi Advokasi KSPPM, Rocky Pasaribu menambahkan, permasalahan areal izin PT TPL yang ilegal juga harus diaudit. Dari hasil investigasi yang pihaknya lakukan, setidaknya ada 52.668,66 hektare areal izin PT TPL yang berada di kawasan hutan dengan fungsi Hutan Lindung, Hutan Konversi dan bahkan ada yang di Areal Penggunaan Lain (APL).
Selanjutnya, kerusakan ruang ekologi dan fungsi hidrologis di daerah hulu tangkapan air Danau Toba akibat aktivitas PT TPL serta penebangan hutan alam yang masih terus dilakukan PT TPL juga layak untuk diaudit. Termasuk dampak sosial PT TPL, yang menyebabkan masyarakat mengalami krimininalisasi, kekerasan, konflik horizontal dan perampasan wilayah masyarakat adat.
"Proses ini justru menunjukan bahwa KLHK tidak Transparan. Karena sampai saat ini justru lembaga pendamping dan masyarakat yang terdampak tidak tahu apa yang sedang dilakukan KLHK," kata Rocky, Kamis (26/8/2021).
Tak hanya permasalahan lingkungan hidup dan sosial. Beberapa waktu lalu, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Sumatera Utara juga menerbitkan laporan hasil investigasinya terkait isu ketenagakerjaan di PT TPL. Yang ternyata selama ini PT TPL masih menerapkan sistem buruh harian lepas (BHL) terhadap 7 ribu orang dalam menjalankan usahanya. Perlakuan BHL di PT TPL bahkan disebut-sebut sebagai perbudakan moderen.
Selain itu, PT TPL juga diduga melakukan manipulasi pajak dan diduga melakukan pengalihan keuntungan. Dugaan tersebut terurai dalam dokumen laporan berjudul Indorayon-Toba Pulp Lestari (TPL) Sumber Bencana bagi Masyarakat Kitaran Kaldera Toba, yang dibuat Aliansi Gerak Tutup TPL yang juga disampaikan kepada Presiden Joko Widodo oleh perwakilan TIM 11 Ajak Tutup TPL beberapa waktu lalu, dan laporan Mesin Uang Makau yang diterbitkan Forum Pajak Berkelanjutan.
KLHK Beri Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah pada PT TPL
Sebelumnya, dalam Rapat Pimpinan KLHK, yang digelar Selasa (24/8/2021) terungkap bahwa pada 3 Agustus 2021 lalu KLHK telah menerbitkan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah kepada PT TPL, berdasarkan Keputusan Nomor SK.5087/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2021. Dalam Sanksi Administrasi tersebut dimuat 58 item temuan audit Tim Gakkum.
Atas penerbitan sanksi tersebut, PT TPL telah menyampaikan Laporan Kemajuan Pemenuhan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah, sebagaimana dimuat dalam surat yang disampaikan PT TPL Nomor 501/TPL-P/VIII/21 tertanggal 10 Agustus 2021 dan Nomor 520/TPL-P/VIII/21 tertanggal 16 Agustus 2021.
Kementerian LHK melalui Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan telah melakukan penelaahan terhadap 58 item yang dimuat dalam laporan kemajuan PT TPL. Hasil telaahan menyimpulkan, sebanyak 16 item temuan sanksi administratif paksaan pemerintah telah ditindak-lanjuti, sebanyak 18 item temuan sanksi administratif paksaan pemerintah belum selesai ditindak-lanjuti dan PT TPL memohon perpanjangan waktu, serta sebanyak 24 item sanksi administratif paksaan pemerintah belum ditindak lanjuti.
Selain itu juga saat ini tengah dipelajari dengan cermat status areal kerja PT TPL, baik yang berada dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan Rencana Kerja Umum (RKU) PT TPL.
"Saya minta agar 42 dari 58 item temuan sanksi administratif yang belum ditindaklanjuti oleh PT TPL agar terus dimonitor dan diupayakan percepatan penyelesaiannya. Terhadap pemenuhan sanksi menurut laporan dan catatan perusahaan agar betul-betul diteliti, dan Tim Kerja serta Tim Gakkum KLHK harus tetap rigid dan tidak ada kompromi," kata Menteri Siti, dalam siaran persnya yang dipublikasikan pada Rabu (25/8/2021) kemarin..
Lebih lanjut, Menteri Siti juga meminta agar sanksi untuk audit lingkungan harus segera dilaksanakan. Siti meminta agar Sekretaris Jenderal KLHK dan Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan, serta Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan sebagai pengendali audit lingkungan, segera memanggil pimpinan perusahaan untuk menegaskan harus dimulainya pelaksanaan audit lingkungan PT TPL.
Selain itu Menteri Siti juga mengatakan, agar komunikasi dan sosialisasi penyelesaian masalah hutan adat dan pencemaran limbah industri di Danau Toba harus mulai intens/sering dilakukan kepada para pihak di Provinsi Sumatera Utara dan kabupaten sekitar Danau Toba, khususnya warga masyarakat. Siti bilang, akan mengutus beberapa jajaran Eselon 1 kementeriannya untuk mengawal dan terlibat dalam kegiatan sosialisasi ini.