LIPUTAN KHUSUS:
Buruh Harian Lepas Buntung, PT TPL Dulang Untung
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
PT TPL, perusahaan penghasil bubur kertas (pulp) di Sumatera Utara itu dituding mendulang untung yang besar dari sistem kerja buruh harian lepas yang diterapkan.
Hutan
Sabtu, 21 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali mendulang tudingan miring. Setelah isu kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat, serta perusakan lingkungan yang belakangan memicu munculnya gerakan Tutup TPL, isu lain mengemuka. Kali ini giliran isu ketenagakerjaan. Perusahaan penghasil bubur kertas (pulp) di Sumatera Utara itu dituding mendulang untung yang besar dari sistem kerja buruh harian lepas (BHL) yang diterapkan.
Hal tersebut seperti diuraikan Ketua DPD Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Sumatera Utara Admadsyah, saat membacakan laporan hasil investigasi tentang sistem kerja BHL yang diterapkan di PT TPL, yang terindikasi mengarah pada perbudakan. Hal itu disampaikan Eben, panggilan akrab Admadsyah, dalam sebuah konfrensi pers yang gelar secara virtual oleh KSPPM, Aman Tano Batak, BAKUMSU, Walhi Sumut dan Aliansi Gerak Tutup TPL, pada Kamis lalu.
Eben mengatakan, melalui izin yang diperoleh dari pemerintah untuk menguasai lahan seluas 167.912 hektare, PT TPL melakukan eksploitasi alam kawasan Danau Toba, dengan menerapkan praktek kerja perbudakan dan berwatak eksploitatif terhadap 7 ribu tenaga manusia yang disebut sebagai BHL. Istilah ini, menurutnya, bukan sekedar penyebutan belaka, namun lebih semacam pengkastaan (pembeda) status sosial dan stigma golongan buruh rendahan.
"Yang seolah pantas mendapatkan beban kerja yang berat dengan cara kerja dan alat kerja yang tradisional, sehingga pantas pula diperlakukan tanpa jaminan kesejahteraan dengan menerima upah murah, tanpa perlindungan kerja dan fasilitas penunjang hidup yang rendah," kata Eben.
Korelasi dari praktek sistem kerja yang buruk ini, lanjut Eben, menjadi sumber (laba) keuntungan bagi PT TPL, sebagaimana tercatat dalam Annual Report PT TPL Tahun 2020, bahwa hasil penjualan bersih mencapai USD126.023 juta atau sebesar Rp1,8 trilliun (nilai tukar rupiah Rp14.529 per dollar rerata di 2020). Skema eksploitatif dari sistem kerja perbudakan yang dipraktekkan PT TPL di era masyarakat modern ini, di antaranya :
Eben bilang, pekerja yang berstatus BHL menerima beban kerja melalui sub kontraktor, yang berjumlah sekitar 46 sampai 49 unit badan usaha, yang menjadi mitra PT TPL dalam melakukan pekerjaan borongan di area produksi seluas 70.074 hektare. Luasan area produksi ini dikerjakan oleh 7.000 BHL. Sehingga kalau dirata-rata, tiap BHL menerima tanggung jawab beban pekerjaan seluas 10 hektare.
Proyek penanaman dan perawatan ini digarap secara simultan seluas 14.000 hektare per tahunnya atau sekitar 23.338.000 pohon. Sehingga dapat memproyeksi hasil panen kayu log sekitar 1.937.054 sampai 1.960.000 ton dalam setahun. Dengan nilai panen berkisar Rp1,2 trilliun, bila disesuaikan dengan harga kayu Log eukaliptus sebesar Rp650 ribu per ton yang telah dicatatkan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
"Upah yang dibayarkan oleh TPL dalam setahun, tidak sebanding dengan total nilai hasil panen kayu log tersebut. Di bawah intervensi sistem kerja target, 7.000 orang BHL ini hanya menerima upah murah dan jauh di bawah ketentuan UMK, bahkan lebih jauh dari nilai hasil kerjanya."
Eben mengungkapkan, upah harian BHL yang dibayar melalui sub kontraktor hanya sebesar Rp80 ribu sampai Rp85 ribu. Namum yang diterima masing-masing BHL tidak lebih dari Rp2juta per bulan, dengan 25 hari kerja, atau sekitar Rp24 juta dalam setahun.
"Bila dikalikan dengan jumlah seluruh BHL, maka total pembayaran upah dalam setahun berkisar Rp168 miliar. Namun mereka sangat sulit mendapatkan upah segitu, disebabkan oleh hujan atau sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Situasi sulit tersebut, menyebabkan mereka hanya menerima upah rerata berkisar Rp1,8 juta per bulan."
Hal terparah dialami oleh BHL yang bekerja di proyek pemanenan atau penebangan. Tiap ton kayu log hasil tebang hanya dibayarkan sebesar Rp10 ribu (data pada 2017). Dalam sehari para BHL itu mampu memanen sebanyak 25 ton, dengan upah sebesar Rp250 ribu. Jam kerja para BHL itu rerata berkisar 12 hingga 14 jam sehari. Tak jarang para BHL baru berhenti kerja pada pukul 03.00 Wib, dan esok paginya harus kembali lagi bekerja.
"Sebagian BHL pemanen ini, menghabiskan kehidupannya di bawah tenda. Tinggal dan tidur berminggu-minggu di bawah tenda plastik yang mereka buat dengan ala kadarnya, dengan cara nomaden seiring semakin jauhnya jangkauan area penebangan, dan di antara mereka ada yang membawa istri dan anak-anaknya sekaligus," ungkap Eben, yang sempat emosional sewaktu menyampaikan hal tersebut.
Rendahnya upah yang diterima para BHL, masih kata Eben, tidak sebanding dengan biaya pemenuhan kebutuhan hidup. Rata-rata anggota rumah tangga BHL sebanyak 4 orang dengan total pengeluaran kebutuhan hidup yang teramat rendah yang berkisar Rp2.768.500, tidak termasuk tanggungan biaya sekolah anak tingkat SMP dan SMA.
Kenyataan ini membuat BHL tidak meletakkan arti penting pemenuhan kalori dan gizi, mereka senantiasa mengkonsumsi daun singkong yang dipungut dari pekarangan rumah dan dengan lauk yang teramat rutin seperti ikan asin, bahkan mie instan pun mereka jadikan lauk makan. Mereka telah memaksakan diri untuk berhemat, pun begitu mereka tetap mengalami defisit.
Bahkan, lanjut Eben, untuk kebutuhan beras pun, mereka adakalanya mengutang kepada sub kontraktor. Situasi ini, mengharuskan BHL mesti bekerja suami dan istri di perkebunan kayu tersebut, serta memperpanjang jam kerjanya dengan menggunakan hari libur menjadi buruh upahan di lahan pertanian masyarakat asli.
Di samping itu, para BHL tidak menerima hak-hak lainnya, selain upah murah. Mereka tidak mendapatkan Tunjungan Hari Raya (THR), bonus dari capaian target produksi atau insentif maupun tunjungan-tunjungan lainnya.
Para BHL ini bahkan juga tidak terlindungi dalam kepesertaan BPJS Kesehatan dan sebagian BHL cukup didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Eben berkata, para BHL itu juga tidak pernah mendapatkan hak cuti tahunan, cuti mengkhitankan atau membaptiskan anak, cuti lebaran, cuti karena ada keluarga meninggal dunia, serta cuti-cuti lainnya.
"Bahkan BHL perempuan pun tidak mendapatkan cuti haid, cuti hamil dan melahirkan serta cuti keguguran. Hari libur nasional mereka diperintahkan tidak bekerja, tetapi upah tidak dibayar."
Tak hanya itu saja, anak-anak BHL pun tidak mendapatkan fasilitas bantuan sekolah dari PT TPL. Itu sebabnya rerata anak-anak BHL putus sekolah setelah tamat di bangku sekolah dasar. PT TPL juga tidak menyediakan sarana tempat penitipan anak dan bermain, sehingga anak-anak mesti ditinggalkan di rumah (di barak) ketika ayah dan ibunya bekerja.
Para BHL dan keluarganya diberi tempat tinggal, namun tidak pantas disebut rumah dan layaknya disebut barak. Kondisinya sangat-sangat jauh dari kata sederhana. Barak ini berdinding papan kusam, lantai semen, atap seng berkarat, tanpa kamar dan tempat tidur serta tanpa dapur dan kamar kakus (WC).
Ukuran barak berkisar 4x5 meter dan berbatas sebelah dinding papan antar tetangga. Bila ingin memiliki kamar dan tempat tidur, dapur dan kamar kakus, buruh harus menabung untuk membangunnya dan tak mungkin didapatkan secara gratis.
Kamar mandi berdinding seng karat, terbuka tanpa atap dan berada sekitar 15 meter dari barak. Persisnya di samping bawah badan jalan, yang selalu dilalui orang. Bila orang lewat menoleh kesamping, maka terlihatlah orang didalam kamar mandi tersebut.
Air mandi dialiri melalui pipa yang terhubung ke seberang jalan, bukan bersumber dari air sungai atau mata air, tetapi kolam ukuran 20x20 meter yang dibuat oleh sub kontraktor menjadi genangan air. Meteran listrik dipasang 1 untuk 4 unit barak, dibayar buruh secara patungan sebesar Rp50 ribu per bulan per unit.
"Di barak, BHL tidak memiliki televisi, musik, radio atau sepeda motor. Peralatan memasaknya pun biasa, jarang dari mereka yang memiliki rice cooker dan kompor gas. Kuali, piring dan cangkir sekedarnya dan ada yang menggunakan periuk serta kayu sebagai bahan bakar memasak."
Rendahnya upah yang diterima BHL itu, tak luput pula dari pemotongan serta denda, perampasan upah buruh ini terjadi. Di antaranya dalam hal pembayaran premi BPJS ketenagakerjaan bagi BHL yang menjadi peserta maupun tidak. Bila ada pohon eukaliptus yang mati terpapar racun hama, upah dipotong sebesar Rp50 ribu per pohon.
Selanjutnya, bila mangkir atau tidak masuk kerja selain upah tidak dibayar, upah yang ada pun dipotong. Upah juga dipotong untuk pembelian perlengkapan kerja, baju kaos lengan panjang, topi, sarung tangan dan sepatu bot.
Belum lagi potongan untuk helm dan kaca mata kerja yang menjadi kebutuhan BHL, tidak disediakan perusahaan. Belum lagi pengeluaran biaya listrik dan fasilitas rumah, seperti pembuatan kamar dan tempat tidur serta kamar kakus.
Eben mengatakan, segala tersebut membuktikan bahwa PT TPL tidak memberikan manfaat nyata dalam meningkatkan perekonomian buruh serta menguatkan nilai peredaran uang dimasyarakat sekitar area konsesi. Di balik stigma penyebutan BHL ini, menjadi semacam legitimasi bagi PT TPL untuk memisahkan status sosial antar pekerja, mana yang pantas mendapatkan perlindungan hak dan mana yang tidak pantas dilindungi haknya.
Sehingga dengan sistem BHL ini, PT TPL terus mendulang laba yang super dan para BHL direndahkan harga dirinya dan kehilangan kepercayaan diri untuk berinteraksi sosial dimasyarakat sekitar pemukiman baraknya.
"Sebagaimana dalam Annual Report Tahun 2020, TPL mendapatkan penghargaan dan sertifikasi. Secara tegas kami mengatakan, bahwa TPL tidak layak mendapatkan penghargaan dan sertifikat, ketika masih eksis melestarikan sistem kerja eksploitatif sisa-sisa warisan kekuasaan tuan budak diperkebunan kayu eukaliptusnya. Presiden Republik IndonesiaI Bapak Joko Widodo untuk mencabut dan mengambil kembali berbagai macam penghargaan dan sertifikasi yang diberikan."
Di kesempatan yang sama, Ketua Suluh Perempuan, Siti Rubadiah mengatakan, perbudakan di perkebunan, seperti yang digambarkan Eben bukanlah hal yang baru. Praktik itu sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Hanya saja, Siti merasa ironis, masih saja ada perusahaan yang melakukan praktik perbudakan, dalam hal ini di PT TPL, saat Indonesia berada di era kemerdekaan yang sudah berumur 76 tahun.
"Hal ini bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan yang diimpikan para founding father Indonesia," kata Siti.
Ketua Nasional Konfederasi Serikat Nasional, Hermawan Sutantyo mengatakan, setelah dirinya membaca hasil investigasi yang dilakukan oleh DPD GSBI Sumatera Utara, pihaknya akhirnya dapat memahami bagaimana keberadaan PT TPL secara nyata merugikan banyak orang khususnya BHL. Bagi KSN, protelarisasi yang dilakukan oleh PT TPL adalah sesuatu yang tidak mengejutkan.
"Akan tetapi harus kita pahami bahwa tanpa perlawanan, praktik perbudakan ini akan semakin subur dan sebagai bagian dari oligarki, PT TPL akan tetap menari-nari di atas penderitaan rakyat," kata Hermawan.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menambahkan, apa yang disajikan dalam investigasi DPD GSBI Sumatera Utara itu, bagi dirinya secara pribadi, cukup mencengangkan. Usman menyebut, begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dialami oleh BHL dan keluarganya, oleh PT TPL.
Menurut hemat Usman, laporan hasil investigasi kondisi BHL PT TPL ini sebaiknya dilanjutkan ke lembaga-lembaga Negara, seperti KomnasHAM, agar dapat dilanjutkan dengan penyelidikan resmi sehingga dapat segera ditindaklanjuti.
"Saya ingin menyampaikan bahwa laporan ini juga diteruskan ke forum-forum Internasional. Saya menyarankan untuk menyampaikannya ke komite ekonomi sosial budaya, sebuah komite HAM di PBB," kata Usman.
Usman menyebut, di dalam banyak praktek bisnis yang melaksanakan perbudakan di berbagai Negara di dunia, bisnis dengan praktek perbudakan adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Sehingga patut dipertanyakan moralitas dari keuntungan itu.
"Apakah praktik bisnis di masa ini adalah praktik bisnis yang beretika? Apakah praktik bisnis ini berkomitmen untuk menghormati dan melindungi HAM? Berkomitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup?"
"Ini bukan buruh harian lepas, ini adalah perbudakan. Sebagaimana sudah diatur dalam peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Dari laporan investigasi dan apa yang disampaikan oleh kawan-kawan sebelumnya, saya melihat belum ada kehadiran pemerintah dalam mengawasi masalah-masalah ketenagakerjaan dalam praktik bisnis PT TPL," tambah Usman.
Praktisi Advokasi Perburuhan, Gindo Nadapdap mengatakan, cara PT TPL merekrut dan menggunakan BHL dengan bungkus CV, Usaha Dagang dan lain sebagainya itu sudah melanggar ketentuan undang-undang. Bahkan sistem BHL yang diterapkan di PT TPL, menurutnya, sudah mengarah pada perdagangan manusia.
Hingga liputan ini selesai ditulis, tak ada tanggapan komentar maupun pernyataan dari pihak PT TPL mengenai isu miring ketenagakerjaan di PT TPL. Upaya konfirmasi yang coba dilakukan kepada Jandres Halomoan Silalahi, Direktur TPL, melalui pesan WhatsApp, tidak mendapatkan respon apapun, walaupun yang bersangkutan diketahui membaca beberapa pertanyaan yang disampaikan kepadanya, seputar isu yang mengemuka.