LIPUTAN KHUSUS:
Omnibus Law Persulit Penegak Hukum untuk Menjerat Dalang
Penulis : Kennial Laia
Salah satu peraturan turunan Omnibus Law, PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, rawan korupsi dan konflik kepentingan.
Hutan
Kamis, 15 Juli 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Guru Besar di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Hariadi Katodihardjo, ada celah korupsi kehutanan serta konflik kepentingan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 (PP 23/2021) tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Peraturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Menurut Prof Hariadi, dia telah melakukan assessment risiko korupsi terhadap peraturan tersebut.
“Ketika saya tinjau pasal-pasal yang ada, mulai dari perencanaan, perubahan peruntukan, penggunaan, tata hutan, perhutanan sosial. Saya menemukan beberapa hal,” kata Prof Hariadi dalam Ngopini Hukum yang diadakan Yayasan Auriga Nusantara, Rabu, 14 Juli 2021.
Prof Hariadi membandingkan asesmen terhadap peraturan tersebut dengan kajian Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, yang merupakan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (GNPSDA-KPK) pada 2014. Salah satu temuan saat itu adalah adanya indikasi suap di dalam proses pengusahaan hutan, termasuk state capture corruption yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dan tertuang di dalam peraturan perundangan.
State capture corruption merupakan korupsi yang terjadi karena adanya celah di dalam proses perundang-undangan. Biaya interaksi informal sebesar Rp680 juta hingga Rp22 miliar per perusahaan setiap tahun.
Setelah evaluasi dan perbaikan peraturan pun, korupsi tetap ditemukan pada 2019. Namun, 60% nilai suap pada 2014 itu telah hilang namun tergantikan oleh proses-proses lain. Sistem ini juga banyak diadopsi oleh perusahaan swasta. Dalam riset tentang social network analysis pada 2020, misalnya, Prof Hariad menemukan peran swasta sangat tinggi dalam terjadinya korupsi. Akibatnya korupsi pun tetap berulang walau telah ada perbaikan aturan.
“Kami sepakat terjadinya state capture corruption, yakni adanya proses-proses yang membuat pasal-pasal dalam peraturan perundangan-undangan rentan terhadap siapapun yang melakukan itu, tempat negosiasi… Ini menyebabkan banyak hal, seperti political will yang lemah dan transparansi yang lemah,” jelas Prof Hariadi.
Terkait PP 23/2021 itu, Prof Hariadi mengatakan dibutuhkan mitigasi untuk mencegah terjadinya korupsi lewat pemanfaatan pasal-pasal yang rentan di dalamnya. “Jadi kita butuh mitigasi untuk mencegah,” kata Prof Hariadi.
Prof Hariadi mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya juga menyulitkan penegak hukum untuk menjerat dalang dari tindak pidana korupsi.
PP 23/2021 juga disebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan buruknya tata kelola sektor kehutanan. Pasal 92, misalnya, memberikan pengecualian tambang terbuka di hutan lindung bagi perusahaan yang telah memiliki dokumen lingkungan. Padahal kegiatan tersebut dapat mengubah fungsi ekosistem kawasan hutan secara permanen.
Selain itu, peraturan itu juga mengatur mengenai pendapatan negara bukan pajak atau PNBP kompensasi. Prof Hariadi mencontohkan, tutupan hutan yang minim di Jawa Timur masih bisa dimanfaatkan asal ada PNBP kompensasi.
“Apa fungsi lingkungan bisa diganti dengan uang? Kalau struktur dari lahannya sudah tidak memungkinkan unduk jadi daerah resapan, kan nggak bisa. Uang itu bukan segalanya,” kata Prof Hariadi.
“Ini udah melompat, memberikan kemudahan. Precautionary principle itu sudah semakin minim. Jadi yang paling penting mitigasi,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Dewan Ahli Badan Penelitian Pusat PDIP Sonny Keraf mengatakan, pihaknya memperhatikan soal polemik PP Nomor 23 Tahun 2021. Menurutnya aturan tersebut perlu dievaluasi untuk menghindari kerusakan lingkungan.
“Hutan dan alam menjadi salah satu peran penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Seperti yang kita hadapi saat ini, pandemi Covid-19 dianggap sebagai konsekuensi dari adanya ketimpangan lingkungan hidup yang berdampat sangat erat kepada manusia,” kata Sonny dalam webinar nasional digelar oleh Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Rabu malam, 14 Juli 2021.
“Diskusi ini memberikan kesempatan kepada kita semua untuk melihat kembali dan mengevaluasi, sejauh mana PP Nomor 23 Tahun 2021 ini berdampak kepada masa depan bangsa dan negara,” katanya.