LIPUTAN KHUSUS:
TI: Bisnis PLTU di Indonesia Dikuasai Orang Politik
Penulis : Sandy Indra Pratama
Banyak indikator memperlihatkan perusahaan yang berbisnis PLTU di Indonesia tidak transparan dalam aktivitas publik.
PLTU
Jumat, 16 April 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Transparency International (TI) Indonesia menyatakan ada 40 dari 90 perusahaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di dalam negeri yang memiliki direksi dan komisaris dengan kepentingan politik (politically exposed persons/PEPs). Peneliti TI Indonesia Belicia Angelica mengatakan kategori kepentingan politik ini misalnya, seorang direksi atau komisaris di perusahaan tersebut merupakan pejabat publik.
"Ini sebenarnya tidak berkonotasi buruk, tapi perlu perhatian ekstra terhadap fakta ini karena kebijakan publik di sektor kelistrikan ini berpotensi dipengaruhi oleh para direksi dan komisaris tersebut," ujar Belicia dalam konferensi pers virtual, kemarin.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada Juli-Desember 2020 kepada 90 perusahaan PLTU itu, perusahaan swasta yang memiliki direksi atau komisaris dengan kategori PEPs bisa memiliki akses ke pengambil kebijakan. Begitu juga dengan BUMN dan perusahaan lainnya. Bahkan, mereka kerap kali merekrut seseorang untuk menjadi direksi atau komisaris berkategori PEPs untuk mendukung kebijakan perusahaan dalam kompetisi politik.
"Selain PEPs, dari penelusuran ini, direksi dan komisaris ditemukan ada beberapa nama yang masuk dalam list Panama Paper, namun belum bisa dibuka satu per satu saat ini," ujarnya.
Dari latar belakang, TI Indonesia mencatat ada 47 orang direksi atau komisaris berkategori PEPs yang berasal dari lingkungan birokrasi, 32 orang merupakan orang dekat PEPs, dan 37 orang memegang jabatan strategis di tempat lain.
Sisanya, merupakan penegak hukum empat orang, militer sembilan orang, dan politisi tiga orang. Di sisi lain, Belicia menyatakan ada 40 perusahaan atau 44 persen diantaranya yang tidak mengungkap informasi terkait perusahaan dan bisnisnya ke publik.
Dari temuan ini, TI Indonesia menyatakan skor Corporate Political Engagement Index (CPEI) dari 90 perusahaan tersebut adalah 0,9 dari 10.
"Ini skor yang sangat rendah, bahkan tidak mencapai 1. Ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang berbisnis PLTU di Indonesia tidak transparan dalam aktivitas publik," katanya.
TI Indonesia pun memberikan rekomendasi kepada para perusahaan dan pemerintah di sektor kelistrikan agar memperhatikan temuan ini. Ke depan, perusahaan diharapkan bisa mempublikasikan rencana, pengadaan, hingga proyek mereka.
"Lalu ada penyusunan dan penegakan regulasi mengenai keterlibatan politik perusahaan," ujarnya.
Tak ketinggalan, juga perlu ada pengaturan soal praktik lobi politik. "Kalau di AS ini bahkan ada tertera anggaran lobinya berapa, ini tidak apa, selama transparan," katanya.