LIPUTAN KHUSUS:
Banyak Pihak Bisa Menggugat Perdata Kasus Perdagangan Satwa Liar
Penulis : Sandy Indra Pratama
Kerugian besar tidak hanya pada lingkungan tapi juga manusia itu sendiri. Dampak negatif itu, secara ekonomi jauh lebih besar dari nilai satwa dan tumbuhan di pasar.
Hukum
Rabu, 14 April 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Keanekaragaman hayati -yang di dalamnya termasuk tumbuhan dan satwa liar- merupakan elemen dasar dari semua ekosistem. Tentunya setiap elemen sangat berharga bagi kehidupan manusia.
Sehingga,kasus perdagangan ilegal TSL bisa menimbulkan kerugian besar tidak hanya pada lingkungan tapi juga manusia itu sendiri. Dampak negatif itu, secara ekonomi jauh lebih besar daripada nilai satwa dan tumbuhan tersebut di pasar.
Misalnya, dalam contoh kasus yang disasumsikan, ketika satu bayi orangutan diperdagangkan secara ilegal. dampaknya tidak hanya pada individu tersebut, tetapi juga pada spesiesnya. Sebab sebagai spesies yang “Terancam Punah”, tiap individu yang tersisa memiliki peranan penting untuk kelangsungan hidup spesies tersebut.
Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra mengatakan, perdagangan individu ini juga berdampak pada lingkungan yang lebih luas, misalnya hilangnya peran individu Orangutan ini sebagai penyebar benih (seed dispersal). Perdagangan ilegal TSL ini juga berdampak pada kesejahteraan manusia, seperti dampak terhadap nilai budaya dan nilai ilmiah yang terdapat pada spesies yang terancam punah seperti orangutan.
Kerugian ini dapat dirasakan berbagai lapisan dalam masyarakat. Inilah salah satu alasan mengapa gugatan dalam kasus lingkungan dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan, yang mewakili kepentingan lingkungan itu sendiri maupun kepentingan publik dan/atau privat terhadap lingkungan. (Baca juga: Terobosan Anyar Penanganan Kasus Perdagangan Ilegal Satwa Liar)
Lantas siapa saja pemegang legal standing dalam gugatan kasus perdagangan ilegal satwa liar? Dokumen policy brief yang diterbitkan Yayasan Auriga Nusantara, dengan tajuk “Gugatan Perdata Lingkungan Hidup” respon baru terhadap perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia mengatakan, berbeda dengan penuntutan dalam perkara pidana dimana negara merupakan aktor utama, gugatan perdata memungkinkan organisasi lingkungan, kelompok masyarakat, dan individu untuk menggugat dan meminta pertanggungjawaban hukum pelaku.
Siapapun yang memiliki kepentingan terhadap lingkungan dan/ atau kepentingan terkait kerugian pribadi yang diakibatkan oleh perdagangan ilegal TSL dapat mengajukan gugatan. Semisal:
Organisasi Non-Pemerintah. LSM lingkungan dapat mengajukan kasus dan bertindak atas nama lingkungan untuk menggugat upaya mitigasi dan pemulihan kerusakan lingkungan. Mereka juga dapat meminta ganti rugi terkait biaya yang telah nyata dikeluarkan terkait dengan kasus (out-of- pocket expense) seperti uang yang dihabiskan untuk menangani satwa yang menjadi obyek kejahatan perdagangan ilegal.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK memiliki tanggung jawab untuk mewakili pemerintah untuk menuntut tindakan pemulihan lingkungan yang diperlukan, serta tidak menutup kemungkinan untuk meminta kompensasi (potensi) hilangnya pendapatan (misalnya, pajak atau pemasukan pariwisata di taman nasional), dan juga kerugian yang terkait dengan nilai sosial-budaya publik terkait spesies tersebut. Unit organisasi yang bertanggungjawab dalam menjalankan peran ini adalah Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK).
Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup bertanggungjawab terhadap pengelolan lingkungan hidup di daerah dapat menuntut kerugian lingkungan yang bersifat lokal (misalnya jika kerusakan terkait kawasan yang dikelola pemerintah daerah) dari perdagangan ilegal TSL . Pemerintah daerah dapat mengajukan klaim untuk pemulihan yang melibatkan kompensasi atas biaya melakukan tindakan untuk memperbaiki kerusakan ini termasuk tindakan biaya tindakan penanggulangan yang harus dilakukan segera.
Individu dan/atau Kelompok Masyarakat. Jika kasus menyebabkan kerugian langsung bagi individu atau kelompok masyarakat (misalnya, dampak pada mata pencaharian atau kerusakan terhadap nilai budaya), mereka dapat mengajukan kompensasi atas kerugian tersebut.
Pekan lalu, PT Nuansa Alam Nusantara (NAN), pemilik Kebun Binatang Mini yang ada di Kabupaten Padang Lawas Utara digugat, karena memelihara satwa yang dilindungi tanpa izin. Gugatan tersebut diajukan oleh WAHLI Sumatera Utara (Sumut) dan LBH Medan di Pengadilan Negeri (PN) Padang Sidempuan, pada pekan lalu, dengan nomor perkara 9/Pdt.G/LH/2021/PN Psp. Berdasarkan catatan, gugatan perdata ini merupakan gugatan perdata terkait satwa pertama di Indonesia.
Kebun Binatang Mini itu diketahui telah dioperasikan secara ilegal tanpa izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Dengan memelihara sejumlah hewan paling langka dan ikonik di Indonesia. Termasuk orangutan sumatera, komodo dan banyak spesies burung yang dilindungi seperti cendrawasih, kakatua dan kasuari. Secara keseluruhan, ada setidaknya 43 hewan dari 18 spesies, yang semuanya dilindungi undang-undang dan diperdagangkan secara ilegal dari alam liar.