LIPUTAN KHUSUS:
Anak Muda Papua Pilih Mana: Deforestasi x Paru-paru Dunia?
Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA
Perlu ada undang-undang untuk perlindungan dan pengakuan kepada hutan tropis dan masyarakat adat, kata Direktur Walhi Papua.
Deforestasi
Senin, 09 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mengungkapkan, hutan seluas 765,71 hektare (ha) di tanah Papua lenyap dalam 2 bulan, dari Januari hingga Februari 2024. Menurut Direktur Walhi Papua, Maikel Primus Peuki, deforestasi itu kebanyakan terjadi di perkebunan kelapa sawit.
Maikel menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan seminar nasional yang digelar Institut Hijau Indonesia bekerja sama dengan BEM Universitas Cenderawasih bertajuk ”Alarm Krisis Iklim dan Dialog Kaum Muda” yang digelar di Auditorium Uncen, Kota Jayapura, Papua, Senin, (2/12).
Deforestasi ini, kata Maikel, menjadi persoalan karena Papua adalah paru-paru dunia. Mestinya, ujarnya, pemerintah mereview izin-izin yang ada di Papua. "Jika tidak, artinya pemerintah mengulang kegagalan yang sama yaitu deforestasi semakin meningkat, hak-hak masyarakat adat semakin tersingkir dan hilangnya kelola wilayah adat dan kehilangan sumber daya hidup mereka dan itu yang diperlukan evaluasi besar-besaran izin-izin perusahan di tanah Papua,” dia memaparkan.
Maikel melanjutkan, hutan hujan terbesar di Tanah Papua seharusnya dilindungi dan dilestarikan. Perlu ada undang-undang untuk perlindungan dan pengakuan kepada hutan tropis dan masyarakat adat yang terus masih eksis sampai saat ini. Juga, ”Masih ada harapan untuk pengambil kebijakan meskipun banyak konflik dan hutan yang hilang. Salah satunya, mengamankan ratusan ribu hektare tutupan hutan alam tersisa dalam konsesi kelapa sawit, di mana pemegang izinnya tidak lagi melakukan kegiatan usaha,” kata dia lagi.
Anak muda, kata Maikel, yang saat ini menjadi garda terdepan untuk bersuara tentang hutan Papua harus lebih melengking menyuarakan perlindungan hutan dan hak masyarakat adat. Ini juga gambaran dari kebangkitan kesadaran dan solidaritas generasi muda terhadap ancaman eksploitasi lingkungan di tanah kelahiran mereka. Di tengah derasnya arus investasi yang ugal-ugalan, untuk perkebunan serta tambang, mereka menjadi pelopor gerakan untuk menjaga kelestarian hutan, memperjuangkan masyarakat adat, dan melindungi ekosistem yang menjadi bagian integral dari identitas budaya Papua,” ujarnya.
Akademisi Universitas Cenderawasih, MonitaYessi Beatrick menyampaikan, bahwa pemerintah pusat maupun daerah harus mempertimbangkan dampak dari setiap pembangunan yang dilakukan untuk menjamin keberlanjutan. ”Boleh membangun, tapi harus berkonsep dengan pembangunan berkelanjutan atau SDGs. Misalnya, ketika membangun kota perlu mengadopsi konsep forest city dan ketika membuka lahan harus dilakukan seperlunya dengan memperhatikan lingkungan sekitarnya,” ujar Monita.
Berdasarkan data dari penelitian yang dilakukan oleh Monita Yessi Beatrick bersama timnya mengenai pembangunan di lahan pertanian Koya Barat, Kota Jayapura, terungkap bahwa pada tahun 2014, sebanyak 19 hektare lahan dari total 1.794 hektare teridentifikasi terbangun, sehingga lahan pertanian yang tersedia pada saat itu sekitar 1.775 hektare. Pada tahun 2017, terjadi peningkatan pembangunan sebesar 28 hektare, menjadikan total lahan terbangun 30 hektare dan menyisakan 1.766 hektare lahan pertanian. Pada tahun 2019, pembangunan hanya bertambah 2 hektare, sehingga total lahan terbangun mencapai 30 hektare, dengan sisa lahan pertanian 1.764 hektare. Tahun 2021, lahan pertanian yang terbangun meningkat lagi seluas 16 hektare, dengan total lahan terbangun 46 hektar dan sisa lahan 1.748 hektare. Yang paling signifikan terjadi pada tahun 2023, di mana pembangunan meningkat sebesar 88 hektare, yang terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga lahan yang tersisa hanya 1.706 hektare.
Akademisi Uncen itu juga mengingatkan kepada generasi muda untuk lebih melek terhadap kondisi iklim di tanah Papua untuk membangun awareness. ”Dunia saat ini menaruh harapan besar terhadap Papua. Karena Papua adalah paru-paru dunia. Oleh karena itu, kita harus menjaga lingkungan dan hutan kita dengan baik,” ujarnya.