LIPUTAN KHUSUS:
Barter Utang: Jalan Keluar Biayai Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Penulis : Kennial Laia
Indonesia berpotensi membarter utang sebesar Rp98,4 triliun dengan memensiunkan PLTU batu bara. Jalur transisi energi yang tak membebani APBN.
Perubahan Iklim
Jumat, 06 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pensiun dini pembangkit listrik (PLTU) batu bara di Indonesia dapat dilakukan dengan mekanisme debt swap sehingga tidak membebani keuangan negara. Mekanisme ini berpotensi menukar utang sebesar Rp 94,8 triliun dengan menghentikan operasi pembangkit bertenaga energi kotor tersebut, menurut sebuah studi terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Debt swap adalah menukar kewajiban utang berupa uang dengan pembayaran berupa kewajiban lain yang menguntungkan negara pemberi hutang.
Baru-baru ini Presiden Prabowo Subianto juga menyatakan, Indonesia akan menghentikan seluruh PLTU batu bara 15 tahun ke depan dan menggenjot pengembangan energi terbarukan hingga 75 gigawatt (GW) dalam periode yang sama. Estimasi kebutuhan pemensiunan PLTU batu bara hingga 2050 diperkirakan sebesar Rp444 triliun.
Menurut analisis CELIOS, tantangan terbesar dalam pemensiunan PLTU batu bara adalah keterbatasan anggaran pemerintah. Kewajiban pembayaran bunga dan utang jatuh tempo tahun depan diperkirakan mencapai 45% dari total APBN, sehingga manuver untuk program transisi energi kian terbatas.
Analisis lembaga tersebut menawarkan solusi inovatif berupa skema pertukaran utang atau debt swap untuk memensiunkan PLTU batubara secara bertahap tanpa mengganggu APBN. Hal ini memungkinkan setelah negara maju menyepakati skema NCQG (New Collective Quantified Goals), di mana mereka membantu pendanaan US$300 miliar setara Rp4.800 triliun per tahun. Bantuan pendanaan ini diharapkan berbentuk skema di luar pinjaman baru, salah satunya adalah debt swap atau pertukaran utang.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, skenario debt swap merupakan cara negara maju membayar utang iklim nya kepada negara berkembang seperti Indonesia. “Indonesia memiliki Rp94,8 triliun utang berbentuk pinjaman yang akan jatuh tempo pada 2025, dan utang ini kepada negara maju dan lembaga multilateral,” kata Bhima, Kamis, 5 Desember 2024.
“Jadi, menteri keuangan dan menteri ESDM bisa membuka ruang negosiasi utang untuk ditukar menjadi dana pensiun PLTU batu bara. Negara maju juga diuntungkan karena konsisten jalankan skema NCQG membayar utang iklimnya,” ujarnya.
Dalam konteks ini, mekanisme barter utang melibatkan penerbitan surat utang baru oleh negara penerima kredit untuk menggantikan surat utang lama dengan komitmen dana yang diperoleh digunakan untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini melalui insentif terkait kinerja yang disepakati bersama, seperti suku bunga yang lebih rendah, hibah, maupun penggantian kerugian karbon.
Menurut peneliti ekonomi CELIOS Bakhrul Fikri, pembentukan tim khusus untuk membuka negosiasi debt swap dengan negara maju G7 baik dalam skema Just Energy Transition Partnership ( JETP) maupun skema bilateral harus segera dimulai.
“Komitmen transisi energi ambisius Presiden Prabowo bisa bertemu dengan skema pertukaran utang negara maju. Tindak lanjutnya adalah kementerian terkait dan PLN harus segera mengeluarkan peta jalan dan shortlist unit PLTU batu bara yang akan dipensiunkan,” kata Bakhrul.
Studi CELIOS telah menyortir setidaknya ada 19 PLTU milik PLN yang bisa masuk dalam skema pertukaran utang, seperti PLTU Suralaya di Banten, PLTU Paiton di Jawa Timur, dan PLTU Ombilin di Sumatra Barat.
Bakhrul mengatakan, implementasi debt swap untuk pemensiunan PLTU batubara harus memastikan nilai dari utang yang bisa ditukar cukup signifikan. Pemilihan lembaga yang akan memonitor dan memverifikasi proyek juga diharapkan independen, serta tidak terkait dengan pihak kreditur. “Selain itu aspek transparansi kepada masyarakat yang terdampak dari PLTU batubara beserta kompensasi nya harus masuk dalam paket debt swap,” kata Bakhrul.
Menurut laporan tersebut, skema barter utang cocok mempertimbangkan pemensiunan PLTU batu bara karena proyek ini sering dianggap berisiko tinggi dan kompleks sehingga tidak banyak lembaga keuangan swasta ingin terlibat. Sementara itu kerjasama pendanaan transisi energi semacam JETP lebih menitikberatkan pada pembangunan kapasitas energi terbarukan dibandingkan konsisten membiayai percepatan pemensiunan PLTU batubara.