LIPUTAN KHUSUS:
5 Program Prioritas Menteri Raja Juli Nirkeadilan: Kritik
Penulis : Aryo Bhawono
Program prioritas masih berpihak pada korporasi.
Hutan
Jumat, 06 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Lima program prioritas Kementerian Kehutanan masih nihil soal keadilan kepemilikan lahan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memandang program prioritas kementerian yang dipimpin Raja Juli Antoni ini masih berpihak pada korporasi.
Pada akhir November 2024 lalu, Kementerian Kehutanan mengumumkan lima program strategis. Kelimanya adalah, digitalisasi layanan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi, penguasaan hutan yang berkeadilan, hutan sebagai sumber swasembada pangan, menjaga hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, serta kebijakan Indonesia satu peta (One Map Policy).
Walhi beranggapan perumusan program prioritas tersebut ambigu. Pemerintah, terutama Kementerian Kehutanan berupaya menyederhanakan hal yang kompleks. Perumusan kebijakan lima program prioritas tersebut menunjukkan negara tidak serius dan berambisi menyatakan perlindungan hutan alam tersisa dan memastikan daulat rakyat atas wilayah kelolanya di atas kawasan hutan.
Pada prioritas digitalisasi layanan, misalnya. tidak ada uraian tegas mengenai aspek keterbukaan informasi publik dan partisipasi bermakna dalam proses pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, hingga pelayanan masyarakat. Aspek ini sekedar membuka ruang penuh untuk kemudahan berbisnis korporasi dan peningkatan penerimaan negara.
Pada program prioritas kedua, penguasaan hutan yang berkeadilan, Kementerian Kehutanan justru mengesampingkan konflik agraria di kawasan hutan dan salah mengartikan perhutanan sosial.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, menyebutkan hingga saat ini penguasaan hutan yang berkeadilan malah dimaknai sebagai upaya penyelesaian kasus sawit ilegal di kawasan hutan, penertiban/ pencabutan Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan, dan Audit & Pemberlakuan Sanksi PB-PSWA.
Program Kementerian Kehutanan di bawah presiden Prabowo Subianto tidak berbeda dengan presiden sebelumnya, Joko Widodo, untuk memimpin langsung penegakan hukum kepada perusahaan ilegal atau kegiatan merusak lainnya di kawasan hutan. Terkait penertiban/pencabutan dan audit perizinan dalam kerangka aksi korektif juga tidak dijelaskan secara detail arah kebijakan ini.
“Ada kekhawatiran apa yang pernah dilakukan pada pemerintah sebelumnya kembali diulang. Pencabutan izin dan penegakan hukum yang dilakukan tidak berkohesi langsung dengan upaya pemulihan lingkungan dan penyelesaian konflik agraria. Area-area kerja korporasi yang dicabut pada pemerintah sebelumnya malah mayoritasnya sekedar bertukar tuan,” tulis Walhi melalui rilis pers yang diterima pada Kamis (5/12/2024).
Menurutnya pemutihan sawit dalam kawasan hutan merupakan bentuk bahwa negara mengalah kepada korporasi. Padahal kebijakan ini justru rentan disalahgunakan, terbukti pada Oktober lalu Kejaksaaan Agung melakukan penggeledahan di Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup terkait indikasi korupsi tata kelola sawit dalam kawasan hutan.
Direktur Eksekutif WALHI Riau, Even Sembiring, menyebut lebih kurang seluas 778.521,44 hektare atau 79,54 persen dari total luasan perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan yang sedang diproses penyelesaiannya saat ini merupakan milik korporasi. Fakta ini menunjukkan penyelesaian sawit di kawasan hutan yang digenjot pemerintah merupakan kebijakan yang menguntungkan korporasi.
Seharusnya sebelum memberikan insentif atas kebijakan tersebut, Menteri Kehutanan seharusnya melakukan evaluasi proses pemutihan, seperti safeguard penyelesaian konflik, riwayat karhutla, dan aspek pencemaran berikut perusakan hutan lainnya. Penyelesaian sawit ilegal di kawasan hutan harus terlebih dahulu menyasar hal-hal tersebut.
Hasil temuan dan analisis spasial Walhi Riau pada tiga kabupaten/ kota di Provinsi Riau menunjukkan seluas 828,1 ha kawasan hutan telah dialih fungsikan untuk perkebunan kelapa sawit pasca UU Cipta Kerja. Angka ini berpotensi lebih besar mengingat angka alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan sepanjang 2020 hingga 2022 seluas 49,1 ribu ha dan aktivitas ilegal ini terus berlanjut hingga sekarang.
“Janji untuk menindak tegas korporasi dan pelaku usaha besar yang terus melakukan aktivitas ilegal di kawasan hutan pasca UU CK tidak terbukti. Di awal masa jabatan ini, WALHI Riau menantang Menteri Kehutanan untuk melakukan penegakan hukum pidana secara tegas terhadap aktivitas-aktivitas perkebunan ilegal skala besar di kawasan hutan Riau,” tambah Even.
Direktur Eksekutif WALHI Papua, Maikel Peuki, menyoroti turunan food estate program prioritas hutan sebagai sumber swasembada pangan. Kementerian Kehutanan menyebutkan alokasi food estate besar seluas 1,6 juta hektar di Kabupaten Merauke.
Menurutnya rencana ini kontradiktif dengan kepentingan orang asli Papua untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber pangan dan kebutuhan lain. Food estate justru dikuasai korporasi dan menghancurkan identitas adat hingga mengancam ketersediaan pangan bagi orang Papua sendiri.
Proyek food estate ini akan terintegrasi dengan PSN Merauke seluas lebih dari 2 juta hektare pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP). Kawasan ini tersebar di 13 distrik, seluruhnya berada di wilayah adat Masyarakat Adat Marind, Maklew, Khimaima, dan Yei.
Diperkirakan lebih dari 50 ribu penduduk asli yang berdiam di 40 kampung sekitar dan dalam lokasi proyek akan mengalami dampak buruk akibat PSN Merauke.
Selain beberapa kementerian/lembaga yang akan mengimplementasikan rentetan proyek ini, tercatat terdapat beberapa nama pengusaha besar beserta perusahaannya. Beberapa nama ter\sebut, seperti Martias Fangiono dan anaknya (First Resources Group dan FAP Fangiono Agro Plantation (FAP) Agri Group), Martua Sitorus (KPN Corp. Group), Haji Andi Syamsuddin Arsyad (Jhonlin Group).
“Proyek ini jelas akan menguntungkan pebisnis besar, Orang Asli Papua dan masyarakat adat yang telah lama menjaga hutan dan tanah tersebut akan jadi korban. Proses-proses ini hanya akan melanggengkan praktik perampasan harta kekayaan dan masa depan orang Papua. Menambah jejak pelanggaran HAM di tanah kami”, tambah Maikel.
Selain di Papua, proyek food estate dalam program prioritas Kementerian Kehutanan akan tersebar di wilayah lain seperti di Kalimantan Tengah, Lampung, Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan. masing-masing memiliki luas sekitar 100.000 ha.
Sedangkan proyek food estate skala kecil juga akan tersebar di beberapa provinsi lain dengan luas masing-masing 10.000-20.000 ha.
“Masifnya rencana pengembangan food estate ini jelas akan menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan hutan dan kawasan hutan Indonesia,” tutur Uli.
Selain itu ambisi pemerintah dalam program prioritas Kementerian Kehutanan lain seperti rehabilitasi lahan kritis seluas 12,7 juta hektare yang terdiri dari 7,4 juta hektare dalam kawasan hutan dan 5,3 juta dianggap muluk-muluk. Pasalnya, pemerintah sendiri tak pernah merinci ambisi itu, semisal soal lokasi, dan perkembangan rehabilitasi sebelumnya.