LIPUTAN KHUSUS:

Indonesia Dinilai Tak Tegas di Perundingan Plastik Global Busan


Penulis : Aryo Bhawono

Studi sudah memperlihatkan bagaimana dampak dan efek plastik pada kesehatan dan lingkungan.

Sampah

Sabtu, 30 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Negosiasi kelima Instrumen Hukum yang Mengikat (ILBI) tentang Plastik atau Plastic Treaty yang diselenggarakan di Busan, Korea Selatan, berjalan dengan lambat. Indonesia dianggap sebagai salah satu pihak yang tidak konkrit memberikan komitmen kuat pembatasan dan pengurangan produk plastik. 

Sebanyak 175 negara berkumpul di Busan, Korea Selatan, untuk melakukan negosiasi kelima Instrumen Hukum yang Mengikat (International Legally Binding Instrument/ ILBI) tentang Plastik atau Plastic Treaty. Negosiasi terakhir ini dilaksanakan pada 25 November - 1 Desember dengan tujuan mengakhiri polusi plastik sesuai mandat resolusi United Nations Environment Assembly (UNEA) 5/14. Negosiasi berlangsung dalam tempo yang lambat karena ada perbedaan signifikan terutama pada topik pembatasan produksi plastik. 

Negara-negara yang tergabung dalam High Ambition Coalition (HAC) sangat kuat mendorong pengurangan produksi plastik yang juga didukung oleh kelompok masyarakat sipil seperti organisasi lingkungan, masyarakat adat, organisasi profesional di sektor kesehatan, dan lainnya. 

Sedangkan negara-negara produsen bahan bakar fosil, seperti Arab Saudi dan Rusia, berusaha membatasi ruang lingkup perjanjian pada persoalan pengelolaan sampah plastik. 

Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, di Konvensi Internasional Plastik di Busan, Korea Selatan. Foto: AZWI

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menganggap posisi Pemerintah Indonesia pada negosiasi kelima yang berjalan sejauh ini sangat tidak ambisius. Indonesia tidak memperlihatkan keseriusan pada upaya mengakhiri polusi plastik secara sistematis pada keseluruhan siklus hidup plastik.

Mereka menelusuri dokumen-dokumen negosiasi (In-session document) yang dikirimkan Pemerintah Indonesia melalui laman INC. 

“Kami mengkritik posisi Pemerintah Indonesia dengan berbagai catatan,” ucap Staf Komunikasi AZWI, Joel Joachim Siagian, melalui rilis pers. 

Beberapa poin catatan tersebut di antaranya adalah pertama, pernyataan Pemerintah Indonesia mengenai ruang lingkup perjanjian tidak memiliki komitmen mengikat yang spesifik, dan lebih berfokus pada prinsip-prinsip yang lebih luas. Kedua, pernyataan Pemerintah Indonesia kurang menekankan pada langkah-langkah hulu seperti pembatasan atau pengurangan produksi plastik.

Ketiga, Pemerintah Indonesia memiliki pernyataan yang relatif terbuka, menekankan prinsip-prinsip seperti fleksibilitas dan pilihan kebijakan nasional. Keempat, Pendekatan Pemerintah Indonesia kuat dalam hal prinsip namun kurang tegas dalam mengikat target global.

Kelima, sikap Pemerintah Indonesia terhadap Tanggung Jawab Produsen (Extended Producer Responsibility/ EPR) dan ekonomi sirkular bergantung pada dukungan internasional dan kesiapan nasional, serta solusi hulu yang kurang agresif seperti menghilangkan polimer dan bahan kimia berbahaya, serta beralih ke alternatif yang berkelanjutan. 

Keenam, Pemerintah Indonesia berfokus pada kepraktisan, mendesak pertimbangan realitas ekonomi dan teknologi semisal transisi ke alternatif harus terjangkau,​ dan memprioritaskan pendekatan seimbang yang peka terhadap kondisi nasional.

Ketujuh, Pemerintah Indonesia masih berfokus pada solusi end-of-pipe yang tidak mengikuti hirarki pengelolaan sampah (mengutamakan pencegahan). 

AZWI sendiri merupakan gabungan organisasi lingkungan seperti Dietplastik Indonesia, Nexus3 Foundation, ECOTON, dan Walhi. 

Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Abdul Ghofar menyebutkan selama ini Indonesia mengadvokasi prinsip-prinsip perluasan tanggung jawab produsen (EPR) dan ekonomi sirkular​ dan menekankan pentingnya daur ulang, pembuangan yang aman, dan pengembangan pasar untuk plastik sekunder. Aksi ini yang tidak memprioritaskan reformasi yang sistemik dan segera sehingga menghilangkan urgensi pelarangan bahan berbahaya dan praktik pengelolaan limbah yang tidak berkelanjutan.  

Menurutnya posisi Pemerintah Indonesia dalam negosiasi kelima Perjanjian Internasional tentang Plastik sangat mengecewakan. Pada pembahasan pasal 6 misalnya, pemerintah Indonesia dalam dokumen usulan menyatakan ketidaksetujuan pada upaya pengurangan produksi plastik karena pertimbangan kepentingan ekonomi dari industri plastik. 

“Padahal Industri plastik hulu terutama minyak bumi dan petrokimia adalah penyumbang utama polusi dan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Tanpa ada upaya pengurangan produksi plastik, maka upaya mengatasi polusi plastik dan krisis iklim tidak akan pernah tercapai”, kata dia. 

Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, menyebutkan kesehatan masyarakat dan lingkungan Indonesia dipertaruhkan dengan posisi pemerintah yang tidak ambisius dalam negosiasi ini. Intervensi Indonesia tidak memperlihatkan kesehatan sebagai prioritas, namun terus mendorong untuk menggenjot produksi plastik. Studi sudah memperlihatkan bagaimana dampak dan efek plastik pada kesehatan. 

“Masyarakat Indonesia berhak tahu bahan kimia plastik apa saja yang ada dari produksi, produk dan emisi yang dihasilkan oleh industri-industri plastik ini dan masyarakat berhak untuk hidup di lingkungan yang aman dan sehat”, ucapnya. 

Co-Captain River Warrior, Aeshnina Azzahra menyebutkan selaku generasi muda, dirinya mendesak Pemerintah Indonesia untuk bertindak mendorong pembatasan produksi plastik, menghentikan impor sampah, menegakkan hukum pengendalian penggunaan plastik sekali pakai, dan melindungi Indonesia yang semakin terkontaminasi oleh mikroplastik dan bahan kimia berbahaya. 

“Kami anak Indonesia berhak tinggal di lingkungan yang sehat dan bersih dari pencemaran plastik, kami menuntut pemerintah Indonesia untuk serius menanggapi krisi plastik sekarang juga, jangan sampai generasi anda menjadi generasi perusak masa depan kami,” ujarnya. 

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mendesak Pemerintah Indonesia untuk berani mengambil posisi yang lebih kuat dan ambisius pada proses negosiasi yang sedang berjalan, dengan menunjukkan keberpihakannya pada lingkungan hidup dan kesehatan manusia.