LIPUTAN KHUSUS:
Moratorium Sawit Sekarang Juga, Demi Petani Kecil dan Lingkungan
Penulis : Kennial Laia
Kebijakan moratorium sawit yang lebih kuat dari rezim sebelumnya akan berdampak positif bagi lingkungan, ekonomi, serta petani, dan masyarakat adat di Indonesia.
Sawit
Kamis, 07 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Organisasi masyarakat sipil pemerhati lingkungan, yang tergabung dalam Koalisi Moratorium Sawit, meminta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan moratorium izin perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini dinilai penting untuk menghindari ekspansi lahan untuk komoditas tersebut, dan memungkinkan pemerintah untuk fokus pada peningkatan produktivitas.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan, saat ini perluasan lahan untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit diperkirakan akan terus terjadi. Hal ini mengingat arah kebijakan pemerintah baru untuk mengembangkan biodiesel berbasis sawit yang terus meningkat.
“Hal ini sangat berpotensi besar mengakibatkan terjadinya deforestasi dan mengancam eksistensi lahan sumber pangan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Rabu, 6 November 2024.
“Luas sawit saat ini juga sudah mendekati ambang batas. Sehingga penerapan kebijakan moratorium sawit menjadi semakin penting untuk menghentikan ekspansi yang tidak terkendali, memastikan praktik berkelanjutan, dan menciptakan tata kelola yang adil dan transparan demi kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Surambo, soal ambang batas diungkap luas sawit ini merupakan hasil kajian mengenai daya dukung lingkungan, yang menyimpulkan bahwa pengembangan kebun sawit di Indonesia harus dibatasi pada angka 18,15 juta hektare demi menghindari kerusakan ekologis dan kerugian negara.
Peneliti Lokahita, Jesika Taradini, mengatakan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap sawit sudah terpenuhi dengan luas sawit yang ada sekarang, dengan luas sekitar 17,7 juta hektare. Menurutnya, penambahan kebun baru hanya akan memberikan keuntungan pada pelaku usaha besar dan minim dampak pada masyarakat serta pemasukan negara.
“Melihat fakta bahwa sawit di tiga pulau besar yaitu Sumatra, Kalimantan, dan Papua telah melewati ambang batas, maka alih-alih memberi pintu terhadap pembukaan sawit baru, seluruh pihak harus mengupayakan pemulihan kondisi lingkungan di tiga pulau tersebut,” kata Jesika.
Moratorium juga dinilai akan membawa manfaat positif bagi Indonesia. Menurut ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, penelitian terbaru dari lembaganya itu menemukan adanya dampak ekonomi positif jika moratorium dilakukan bersamaan dengan program replanting.
Kontribusi ekonomi dari dua kebijakan tersebut, kata Nailul, akan menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045. Di antaranya output ekonomi sebesar Rp28,9 triliun; PDB Rp28,2 triliun; pendapatan masyarakat Rp28 triliun; serta surplus usaha Rp16,6 triliun.
Di sektor penerimaan pajak bersih, kebijakan ini akan menyumbang Rp165 miliar; ekspor Rp782 miliar; pendapatan tenaga kerja Rp13,5 triliun; dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 761 ribu orang.
“Angka ini sangat signifikan dibandingkan tanpa moratorium yang cenderung negatif di semua aspek, sehingga urgensi penerapan kebijakan moratorium sawit sesuai dengan manfaat ekonominya,” kata Nailul.
Manfaat lain moratorium
Di bawah pemerintahan Joko Widodo, moratorium sawit diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018. Regulasi ini berlaku hingga 2021, yang mengatur penundaan dan evaluasi izin kelapa sawit.
Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien mengatakan, kebijakan moratorium ini sangat relevan untuk kembali diberlakukan. Pasalnya, perkembangan regulasi internasional terus menuntut produk sawit yang berkelanjutan. Salah satunya adalah undang-undang anti-deforestasi Uni Eropa (EUDR).
“Moratorium ini merupakan kebijakan progresif pemerintah untuk menjawab ketentuan EUDR. Karena selain merupakan komitmen mengurangi angka deforestasi global, tetapi juga moratorium ini dapat mendorong produksi sawit yang bebas dari unsur ilegalitas, dan membantu pencatatan due diligence mengingat moratorium memandatkan evaluasi perizinan,” kata Andi.
Sadam Afian Richwanudin dari Madani Berkelanjutan mengatakan, moratorium sawit dibutuhkan untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Masalah itu termasuk konsolidasi data, pelanggaran izin, serta ekspansi perkebunan yang belum terkendali di berbagai provinsi, termasuk Papua dan Kalimantan.
“Kebijakan moratorium ini diperlukan untuk mengevaluasi izin yang ada dan memastikan bahwa pengelolaan industri sawit berjalan secara lebih transparan, berkelanjutan, dan tidak merugikan lingkungan," katanya.
Sadam mengatakan moratorium juga akan mendukung target iklim Indonesia. “Penghentian izin dan pembukaan lahan baru akan mendukung komitmen iklim Indonesia, sebab sektor FOLU dan energi masih menjadi tulang punggung target iklim. Pembukaan baru akan memperbesar angka karbon terlepas. Dengan menghentikan izin dan bukaan baru, akan memperbesar kontribusi FOLU dalam mencapai target iklim.”
Senior Campaigner Kaoem Telapak, Olvy Tumbelaka, mengatakan ada tiga alasan mengapa Indonesia perlu memberlakukan kembali moratorium perizinan baru kelapa sawit yang lebih kuat dari Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tersebut. Menurutnya kebijakan ini dapat melindungi hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah kritis seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua dari deforestasi.
Selain itu, kebijakan ini juga berguna untuk memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan pasar internasional, dan penting untuk mempertahankan akses pasar dan daya saing sawit Indonesia. “Yang ketiga, untuk melindungi kesejahteraan petani kecil, masyarakat lokal dan adat melalui tata kelola perkebunan yang lebih baik dan berkelanjutan,” ujarnya.