LIPUTAN KHUSUS:
Melihat Burung yang Lepas dari Surga di Aisandami
Penulis : Firda Puri, PAPUA
Thonci ingin mengenalkan keelokan Kampung Aisandami di tepi Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua Barat, kepada dunia.
Lingkungan
Minggu, 27 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Thonci Alfius Somisa tak bisa melihat Raja Ampat dari kampungnya, Aisandami, di wilayah pesisir Distrik Teluk Duairi, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Raja Ampat ada di balik cakrawala sebelah barat, berjarak sekitar 500 kilometer dari kampungnya. Karena ini di Papua, perlu berhari-hari naik kapal untuk sampai di Raja Ampat.
Tapi pada cita-citanya melekat kisah sukses Raja Ampat, sebagai destinasi wisata favorit di Indonesia, bahkan di dunia. Dia ingin orang juga mengenal keindahan kampung halamannya, lalu mengunjunginya.
Kampung Aisandami terletak di antara lautan dan perbukitan, berada di bagian tengkuk leher pulau berbentuk kepala burung itu. Kampung ini bertetangga dengan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC). Taman ini meliputi Pulau Mioswaar, Nusrowi, Roon, Rumberpon dan Yoop. Jadi, bisa dibayangkan, ada daftar panjang keindahan kampung ini.
Karena itu pula, pada 2017, Kampung Aisandami diresmikan sebagai kampung wisata pertama di Teluk Wondama. Ketika itu dibentuklah Kelompok Usaha Wisata (KUW). Namanya Wadowun Beberin yang artinya Teluk Teduh. KUW ini terdiri dari enam Kelompok Kerja, yakni Atraksi, Akomodasi, Transportasi, Pemandu, Kuliner, dan Kerajinan Tangan. Sejak 2018, kelompok ini menjadi salah satu binaan TNTC.
Namun, itu baru langkah pertama untuk menjadikan Aisandami sebagai daerah tujuan wisata di Tanah Papua. Bersama warga, Thonci--ia adalah Ketua Kelompok Pengelola Ekowisata Kampung Aisandami--masih harus mencari cara terbaik untuk mengemas potensi wisata Kampung Aisandami, agar dilirik sebagai salah satu objek wisata baru di tanah Papua. Nah, terbersitlah ide mengembangkan konsep ekowisata yang melibatkan masyarakat setempat.
Konsep ekowisata ini didorong oleh kenyataan bahwa “Kita (Aisandami) punya potensi lama kelamaan akan rusak,” kata Thonci saat dihubungi akhir September lalu.
“Kita punya potensi di darat dan laut itu banyak, kekayaan alam juga [banyak]. Di situ kita melihat lokasi-lokasi mana yang bisa kita garap untuk dijadikan ikon, menawarkan paket-paket wisata ke para wisatawan,” katanya.
Di antara atraksi ekowisata yang dikedepankan adalah pengamatan burung cendrawasih, burung endemik yang hanya ada di Papua dan karena keindahannya dijuluki burung surga, wisata air terjun, hutan mangrove, dan menyediakan paket homestay bagi wisatawan. Semua aktivitas wisata dilakukan dengan mengedepankan pelestarian alam dan lingkungan.
Namun pada mulanya ada kendala transportasi. Kabupaten Teluk Wondama yang dulu bernama Wasior Utama ini hanya dapat ditempuh melalui dua moda transportasi, pesawat dan kapal laut. Pesawatnya jangan dibayangkan pesawat besar seperti Boeing, Airbus, atau ATR, tapi sekadar pesawat kecil tipe Cessna.
Lalu, keadaan membaik. Sejak tahun 2020, kampung yang menyimpan keunikan alam dan budaya asli yang masih dipertahankan ini sudah dapat dilalui dengan moda transportasi laut dan darat. Listrik dan jaringan telekomunikasi pun sudah bisa dinikmati.
Toh, konsep ekowisata yang menarik ini faktanya tidak mudah diterapkan. Tantangannya tak hanya soal transportasi. Thonci mengatakan, bahkan sejak sosialisasi kepada masyarakat ia menghadapi berbagai kendala.
Misalnya, sejumlah warga menolak program pengembangan ekowisata, karena dianggap bisa mematikan mata pencaharian mereka. Diketahui, mata pencaharian sebagian besar masyarakat dengan tingkat pendidikan rata-rata Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini adalah nelayan dan,yang tak kalah penting, berburu burung. Kegiatan ini dilakukan di hutan Aisandami dan hutan di kampung-kampung sekitarnya.
Kisah Thonci ini diceritakan pula oleh Rusthesa Latritiani, salah satu pendamping KUW Wadowun Beberin. Ia menuliskannya dalam buku "Senandung Merdu Punggawa Taman, Kisah Para Pendamping Desa Sekitar Kawasan Konservasi" yang terbit September 2021.
"Terbentuknya kelompok ini dari inisiatif seorang pemuda desa bernama Thonci Somisa. Kelompok ini memiliki pengurus 4 orang dengan 73 anggota, cerita Rusthesa. Kaka Tonci, kata Rusthesa, sangat giat menggalakkan kegiatan konservasi di Aisandami dan aktif mengimbau masyarakat agar tidak berburu cenderawasih, dugong dan penyu. “Kata Kaka Tonci, dalam setiap sosialisasi [mengatakan], dari pada melakukan perburuan, lebih baik kitorang menjaga dan memelihara sumber daya laut tersebut.”
Rusthesa juga menceritakan, beberapa anggota kelompok Thonci masih menggunakan bahasa suku dan logat berbicaranya sangat cepat. “Terkadang saya sampai tidak memahami maksud mereka,” kata Rusthesa sambil menambahkan, selain soal bahasa, pada masa awal pendampingan, ia juga kesulitan karena saat itu belum tersedia sumber listrik dan sinyal seluler.
Menurut Rusthesa, Thonci yang mengawali pembangunan homestay untuk disewakan kepada wisatawan. Mulanya, hanya ada 2 homestay di kampung itu, satu milik Kaka Thonci dan satu lagi milik Bapa Busayor. “Bermula dari sini, masyarakat Kampung Aisandami melihat bahwa ada potensi usaha homestay, banyak turis yang datang menginap," kata Rusthesa.
Tantangan lain adalah perlunya memaksimalkan kerja sama dengan pemerintah distrik dan pendampingan rutin, serta pengawasan dan penegakan aturan di wilayah perairan di sekitar Kampung Aisandami.
Thonci menambahkan ke dalam daftar kendala soal: biaya. Thonci sadar untuk mengembangkan ekowisata di kampungnya butuh anggaran besar. Ia tak mungkin bisa membangun semuanya sendirian. Untuk itulah ia melibatkan masyarakat, hingga akhirnya mendapat bantuan, salah satunya dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) sebagai administrator Blue Abadi Fund (BAF) yang disokong lembaga donor internasional.
Mengacu Annual Report KEHATI 2019, sejak 2018, Yayasan KEHATI melalui BAF dengan skema hibah inovasi memberikan dukungan pendanaan kepada KUW Wadowun Beberin dalam dua siklus, totalnya Rp 253,50 juta.
Pada siklus pertama, 2018, implementasi program diutamakan membangun fasilitas pariwisata yakni membangun 1 pos penjagaan dan 1 rumah pohon setinggi 10 meter untuk pengamatan cendrawasih. Mereka juga membangun 1 jeti (tambatan perahu) dan jalur trekking 70 meter di Sungai Waronggon, pembuatan busana tari tradisional oleh 35 perempuan anggota KUW, dan membangun jalur trekking 300 meter ke Air Terjun Mambi, semuanya swadaya.
Pada siklus kedua, 2019, pendanaan fokus ke penguatan program ekowisata lewat Peraturan Kampung (Perkam) dengan disahkannya tiga Perkam: soal pengelolaan sampah, usaha pariwisata, dan pemanfaatan sumber daya alam.
“BAF bukan saja tentang model pendanaan berkelanjutan bagi pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati laut di Bentang Laut Kepala Burung [BLKB], tapi juga tentang model kolaborasi antar-stakeholder,” kata Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto, dalam forum “Sharing Pembelajaran Implementasi Program Blue Abadi Fund”, Manokwari, 14 Desember 2021.
“Di BAF, berbagai stakeholder aktif mendukung upaya konservasi laut, termasuk pemerintah pusat, pemda, akademisi, lembaga donor, swasta, dan LSM. Dan paling penting, organisasi lokal Papua telah menunjukkan kapasitas menginisiasi dan mengelola program konservasi laut,” kata Rony.
Selain dari BAF, dalam Laporan Kinerja TNTC 2021, KUW Wadowun Beberin juga mendapatkan dukungan dari Taman Nasional Teluk Cendrawasih sebesar Rp 20 juta untuk seragam dan kebutuhan operasional kelompok.
Burung Cenderawasih spesies Cicinnurus regius. Dok. WWF Indonesia
Untuk pembangunan homestay yang sudah dimulai sejak 2017, Thonci mengatakan sebagian sumber dana dari swadaya masyarakat. Ada juga bantuan dari pemerintah senilai Rp 25 juta per homestay sebanyak 10 unit.
”Tahun 2018-2019 kami dapat bantuan dana dari kementerian, diberikan ke kampung, lalu pemerintah kampung kasih ke kami, kami bangun 10 dan kami ada swadaya 24 homestay. Itu kami beli bahan dan kerjakan sendiri bersama masyarakat, supaya tak ada pengeluaran tambahan,” kata dia.
Bagi Thonci, semua dukungan pendanaan tersebut sangat bernilai. “Dampak bantuan untuk kami sangat bermanfaat. Mulai dari kami sosialisasi kepada masyarakat, kerja sama antar-kampung, sehingga mereka juga bisa mendukung kami punya program,” ujarnya.
Meski demikian, Thonci berharap ada bantuan lain yang bisa diberikan untuk pengembangan ekowisata di Kampung Aisandami. Salah satunya yang terkait dengan kegiatan promosi pariwisata yang dianggap masih sangat kurang, padahal potensi wisatawan sangat tinggi.
"Kami dari kelompok ini termasuk sudah lama berjalan dan kami mau minta supaya apa yang kita sudah buat itu kami minta supaya ada promosi, karena yang belum ini [promosi],” katanya.
Thonci mengatakan segala upaya yang dilakukan mulai berdampak positif. Masyarakat yang awalnya resisten terhadap program ekowisata, kini berbalik mendukung dan malah menjadi bagian dari kelompok pengelola ekowisata Aisandami.
Bendahara KUW Wadowun Beberin, Melania Hegemur, menambahkan, keberadaan ekowisata kini semakin dikenal luas, bukan hanya warga sekitar, karena program ini mampu merangkul berbagai elemen dan memberi kesadaran bahwa manfaatnya akan dinikmati oleh anak cucu. Saat ini, ujarnya, sudah ada beberapa mantan pemburu cendrawasih yang beralih profesi menjadi pemandu wisata.
“Para mantan pemburu cendrawasih itu sadar bahwa jika burung dari ‘surga’ itu terus diburu dan hilang di alam, maka tak akan ada tamu yang datang ke Kampung Aisandami,” kata Melania, dalam wawancara dengan Kehati. “Sekarang bapak yang dulu pemburu itu sudah punya homestay dan mendapat manfaat dari ekowisata.”
Rusthesa juga melihat perkembangan signifikan itu. Sejak dibentuk KUW, masyarakat yang berburu semakin berkurang dan malah bergabung di KUW. ”Padahal jika kilas balik, sampai 2018 masih banyak masyarakat yang berburu liar, seperti memburu penyu, dugong, dan kima,” kata Rusthesa.
Dia berharap potensi sumber daya alam di Aisandami dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik oleh masyarakat, serta mendapat dukungan dari para stakeholder secara berkelanjutan, agar kampung ini bisa jadi role model bagi kampung-kampung lain di kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih.
Namun, menurut Thonci, masih ada yang ingin ia capai. Di antara rencana jangka panjangnya bagi keberlanjutan alam dan masyarakat di sana adalah menghadirkan sekolah alam di lokasi pengamatan cendrawasih. Tujuannya mengurangi perburuan cendrawasih yang kerap terjadi.
“Kami mau buat sekolah alam, salah satunya bagi teman-teman yang masih suka berburu. Mereka akan kita ajak dan libatkan untuk menjaga spot-spot wisata dan berhenti melakukan perburuan," kata dia. "Jadi, banyak yang kami ingin lakukan karena sadar kita punya potensi besar,” ujar Thonci.
Namun, jika kita tak jaga, di Teluk Cendrawasih ini, 30 tahun lagi, "kita punya sumber daya laut dan darat akan hilang. Kita perlu menjaga kita punya kekayaan ini agar bisa bermanfaat untuk masyarakat. Dan semua akan kembali juga ke diri kita,” kata dia.