LIPUTAN KHUSUS:

Jokowi Pidato Geotermal di Jakarta, Aparat Serbu Poco Leok


Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ariyo Wicaksono

Kekerasan aparat di Poco Leok, Manggarai, NTT, terjadi tak lama berselang setelah pidato Joko Widodo tentang pemangkasan perizinan proyek geotermal.

Energi

Jumat, 04 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kekerasan di lokasi Proyek Geotermal Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, terjadi tak lama berselang dari pidato Presiden Joko Widodo untuk memangkas perizinan izin operasi geotermal. Koalisi Advokasi Poco Leok menengarai pidato itu menjadi salah satu pemicu kekerasan aparat di Poco Leok pada Rabu lalu (2/10/2024). Mereka pun mendesak pemerintah mencabut Proyek Geotermal PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai di Poco Leok dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). 

Pidato Jokowi untuk memangkas perizinan operasi geotermal disampaikan saat membuka Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) ke-10 di Jakarta Convention Center, pada Rabu (18/9). Ia menekankan perlu efisiensi proses perizinan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), supaya tidak memakan waktu bertahun-tahun. 

"PLTP peluangnya besar, artinya banyak investor yang mencari energi hijau, ini sudah kita kerjakan, namun tidak berjalan dengan cepat. Ternyata, untuk memulai konstruksi dari awal sampai urusan perizinan bisa sampai 5-6 tahun. Ini yang mestinya paling cepat harus dibenahi, agar dari 24.000 MW, yang baru dikerjakan hanya 11%, bisa segera dikerjakan oleh para investor, sehingga kita memiliki tambahan listrik hijau yang lebih banyak," kata Jokowi seperti dikutip dari website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Koalisi Advokasi Poco Leok beranggapan pidato Jokowi tersebut menjadi dasar legitimasi brutalitas aparat keamanan menghadapi masyarakat yang sedang mempertahankan ruang hidupnya terhadap investasi.

Warga Pocoleok, NTT melakukan aksi penolakan Proyek Geothermal Pocoleok namun menghadapi kekerasan aparat. Foto: Istimewa

Semakin beringasnya tindakan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi, kata Koalisi, menunjukkan rezim Jokowi menghalalkan segala cara untuk memuluskan investasi alih-alih melindungi keselamatan, kesejahteraan, dan jaminan atas ruang hidup yang sehat dan layak bagi kemanusiaan. 

“Tragedi di Poco Leok ini menunjukkan adanya pergeseran dari negara demokrasi menuju fasisme,” ucap Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alfarhat Kasma, dalam jumpa pers di Jakarta pada Kamis (3/10/2024). 

Jatam adalah satu dari delapan belas anggota Koalisi Advokasi Poco Leok. Lembaga lainnya, di antaranya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Trend Asia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Justice Peace and Integrity of Creation (JPIC) OFM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sunspirit for Justice and Peace, dan Serikat Pemuda NTT. 

Proyek Geotermal Poco Leok merupakan perluasan operasi penambangan panas bumi PLTP Ulumbu yang beroperasi sejak tahun 2012 dan menghasilkan 10 MW energi listrik. Proyek geotermal di Poco Leok, wilayah yang mencakup 14 kampung adat di tiga desa, dikerjakan oleh PT PLN, dengan pendana Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW). 

Proyek di PocoLeok, yang berlokasi sekitar tiga kilometer ke arah timur Ulumbu, direncanakan akan menghasilkan energi listrik 2 X 20 MW. 

Pada Rabu lalu (2/10/2024), PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai memaksa masuk ke Poco Leok untuk mengukue lahan warga serta mengidentifikasi lokasi Access Road Wellpad D, Wellpad I, dan Access Road Wellpad I. PLN dan Pemkab Manggarai mengerahkan aparat keamanan gabungan, yang terdiri dari Kepolisian, TNI, dan Satpol PP dengan dalih untuk mengamankan proses pengukuran dan pengidentifikasian di lapangan. 

Penggunaan kekuatan aparat keamanan yang berlebihan tersebut diikuti dengan intimidasi kepada warga, hingga terjadi penyerangan yang menyebabkan puluhan orang luka-luka, ada di antaranya tidak sadarkan diri. Brutalitas aparat keamanan juga diikuti dengan kriminalisasi berupa penangkapan 3 warga dan 1 orang jurnalis.

Tiga warga Pocoleok ditangkap polisi dalam aksi penolakan proyek geothermal. Foto: Istimewa

Agustinus Tuju, warga gendang Nderu yang sempat ditangkap dan disekap dalam mobil bersama tiga orang warga lainnya mengaku merasa tidak takut. 

Ia merasa heran kenapa dirinya dibawa ke mobil truk keranjang polisi. Menurutnya, yang layak dibawa masuk kedalam mobil keranjang adalah pencuri. 

“Tetapi saya bukan pencuri. Malah kemarin saya hanya menyampaikan dasar argumentasi penolakan kami dari sisi adat dan budaya kami orang Pocoleok, "Katanya. 

Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menyebutkan upaya paksa berulang kali dilakukan oleh PLN, namun berulang kali pula ratusan warga menghadang proyek ini. Penghadangan yang dilakukan oleh warga dari sepuluh komunitas adat di Pocoleok, mulai dari komunitas masyarakat adat Gendang Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Cako, Ncamar, Rebak, Jong, Tere, dan Lungar. 

“Dari 26 kali kegiatan jaga kampung, 26 kali pula kekerasan terjadi. Kekerasan ini wujudnya bisa beragam, mulai dari tuduhan adanya rumah bordil hingga pengawalan aparat ketika survei PLN,” kata dia.

Hingga kini  masyarakat konsisten melakukan upaya perlawanan dan penyelamatan ruang hidup. Menguatnya penolakan warga atas rencana perluasan penambangan panas bumi tersebut tidak membuat pemerintah dan PLN mengurungkan rencana melanjutkan perluasan proyek PLTP Ulumbu ke Pocoleok. 

“Padahal, rencana itu berakibat menghilangnya lahan dan ruang hidup warga, serta merusak berbagai mata air yang menjadi tumpuan utama warga untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari,” kata dia.

Warga Pocoleok melakukan jaga kampung pasca kekerasan aparat. Foto: Istimewa

Pasca tragedi kekerasan Rabu lalu pun ratusan warga dari 10 komunitas (gendang) masyarakat adat Pocoleok kembali melakukan aksi jaga kampung di Lingko Dering. Sejak pagi satu persatu warga mulai berdatangan menuju Lingko Dering (tanah ulayat gendang Rebak). Warga dari beberapa gendang yang dekat dengan lokasi aksi, sebagian tampaknya berjalan kaki, ada pula yang menggunakan mobil pickup dan motor. Sedang  warga beberapa gendang yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi aksi, tampaknya menggunakan mobil bus kayu dan sepeda motor. 

Lingko dering adalah salah satu pintu masuk dari arah utara (Ruteng) menuju Pocoleok. Lingko Dering juga akses masuk menuju Wellpad I Lingko Sano Koe.

Informasi yang diterima warga empat hari yang lalu menyebutkan  pihak PLN dan Pemda akan melakukan kegiatan di Wellpad I Lingko Sano Koe. Kegiatan ini merupakan lanjutan Identifikasi dan Pendataan Awal Lokasi Rencana Pembangunan PLTP Ulumbu Unit 5-6 Lokasi Access Road Wellpad I, Wellpad I dan  Access Road ke Wellpad D.  Wellpad I di Lingko Sano Koe (Tanah ulayat gendang Rebak) adalah Wellpad baru yang ditetapkan bersama dua Wellpad lainnya yaitu Wellpad H dan Wellpad I pada bulan Mei 2024.

Aloisius Antal (Tu'a adat gendang Rebak) mengatakan tidak akan mengizinkan tanah ulayat kami untuk di bor. 

"Walaupun ada warga gendang Rebak yang setuju (tapi sebagian dari mereka tinggal di luar wilayah Pocoleok), " ujarnya.  

Paulina Imbu, salah satu perempuan gendang Rebak, yang ikut dalam aksi jaga kampung hari ini juga mengatakan hal yang sama. 

“Tanah itu semacam rahim kami perempuan,  jadi kalau dibor itu semacam merobek kandungan kami sebagai perempuan,” ucapnya.   

Wellpad I di Lingko Sano Koe, sangat dekat dengan rumah warga.

Pemilik lahan warga gendang Rebak yang tinggal di luar wilayah Pocoleok yang hendak ke Wellped I tiba di Wae Uwu, simpang tiga jalan provinsi dari pusat kota Kabupaten Manggarai menuju Pocoleok dan ke pusat Kecamatan Satarmese. 

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eknas Walhi, Rere Christanto, menyebutkan penolakan warga ini merupakan bentuk perlawanan yang lumrah. Penduduk pun tinggal di wilayah berisiko karena potensi kebocoran gas H2S. 

Di Mataloko, kabupaten tetangga Pocoleok, operasi tambang panas bumi menyemburkan lumpur panas yang menyebabkan sawah warga terendam, sumber air tercemar, hingga merusak ladang pertanian warga yang berakibat hilangnya sumber pencaharian warga Mataloko. Selain itu, atap seng rumah warga berkarat sehingga menambah beban pengeluaran warga. 

“Pembongkaran wilayah Pocoleok untuk perluasan operasi tambang panas bumi yang berada dalam kawasan ring of fire, menambah deretan ancaman terhadap keselamatan warga. Aktivitas ini berpotensi memicu peristiwa gempa bumi yang dapat menghadirkan petaka bagi masyarakat,” kata dia.

Dana Utang Bank Jerman

Proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Ulumbu unit 5-6 di Poco Leok ini dikerjakan oleh PT PLN, dan didanai oleh Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), Bank Pembangunan dan Investasi asal Jerman. Pendanaan dari KfW diteken pada Oktober 2018 lalu, yang merupakan perjanjian utang langsung tanpa jaminan antara Pemerintah Jerman dengan Perseroan Terbatas PLN, untuk pendanaan Geothermal Energy Programme sebesar 150 juta EUR.

Dana uutang tersebut untuk membiayai pengembangan Unit V PLTP Ulumbu, Unit 2 dan 3 PLTP Mataloko. Pada 3 September lalu, dua anggota tim independen yang dibentuk Bank KfW mengunjungi Poco Leok dan beraudiensi dengan warga. Hanya dalam waktu kurang dari sebulan, PLN memburu pengerjaan operasi panas bumi tersebut dengan mengabaikan penolakan warga. Mereka mengerahkan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga.

Koalisi Advokasi Pocoleok mendesak Presiden untuk menghapus atau mencabut Proyek Geothermal PLN dan Pemerintah Manggarai di Pocoleok dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk menarik mundur semua anggotanya dari Pocoleok, memerintahkan pembebasan tiga orang warga Pocoleok dan satu orang Jurnalis Floresa.co tanpa syarat, memerintahkan kepolisian melakukan penegakan hukum terhadap Anggota Kepolisian dan TNI yang melakukan tindak intimidasi dan kekerasan terhadap warga Pocoleok, memerintahkan Kapolri memberikan reparasi pemulihan dan pengobatan yang memadai terhadap warga Pocoleok yang mengalami luka fisik dan psikis, serta melakukan kajian evaluatif dan partisipatif mengenai pendekatan keamanan dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Mereka juga mendesak Lembaga Independen Negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk melakukan pemantauan dan investigasi mengenai tindak intimidasi dan kekerasan yang diderita oleh warga Poco Leok. 

Ombudsman RI juga harus memeriksa dugaan maladministrasi terkait dengan Proyek Geothermal Pocoleok.

Mereka juga mendesak Bank Pembangunan Jerman (KfW) untuk meninjau ulang dan mengevaluasi secara komprehensif pendanaan untuk pembangunan Proyek Geothermal Pocoleok karena mendatangkan kerugian ekonomi, sosial dan budaya bagi warga Pocoleok. Sekaligus membatalkan pendanaan Proyek Geothermal Poco Leok yang sarat dengan kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan.