LIPUTAN KHUSUS:
Permen Pembela Lingkungan: Langkah Maju, Tapi Apakah Sudah Cukup?
Penulis : ASEP KOMARUDIN, Senior Forest Campaigner, Greenpeace South-East Asia Indonesia
Menteri KLHK mengeluarkan Peraturan Anti-SLAPP untuk melindungi pembela lingkungan. Bagian mana yang kurang?
OPINI
Jumat, 20 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
PADA Agustus 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 10 Tahun 2024 yang bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada individu dan organisasi yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Peraturan ini hadir sebagai tonggak penting di tengah maraknya ancaman dan intimidasi yang sering dialami oleh para pejuang lingkungan. Meski langkah ini menunjukkan kesadaran pemerintah akan tantangan yang dihadapi oleh para pembela lingkungan, peraturan ini juga memunculkan pertanyaan soal efektivitas, implementasi, dan cakupannya.
Langkah positif dengan celah signifikan
Inti dari peraturan ini adalah memberikan perlindungan hukum kepada para pejuang lingkungan dari tuntutan pidana dan perdata. Disebutkan bahwa individu atau kelompok yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Ketentuan ini penting di tengah meningkatnya penggunaan SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation), yaitu gugatan hukum yang digunakan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk membungkam kritik publik. Dengan memberikan kekebalan hukum kepada mereka yang menyuarakan kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan, Permen LHK No. 10/2024 selaras dengan standar hak asasi manusia internasional yang mengakui pentingnya partisipasi publik dalam pengelolaan lingkungan.
Namun, efektivitas Permen anti-SLAPP ini sangat bergantung pada implementasinya. Di Indonesia, proses penegakan hukum dan peradilan sering terhambat oleh masalah birokrasi, korupsi, dan kurangnya pemahaman akan isu lingkungan. Tanpa mekanisme yang kuat untuk memastikan peraturan ini ditegakkan secara merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah terpencil yang sering menjadi titik konflik lingkungan, dampaknya bisa sangat terbatas.
Sentralisasi kekuasaan dan risiko birokrasi
Salah satu kritik utama terhadap Permen ini adalah sentralisasi kekuasaan di tangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan ini memberikan wewenang besar kepada Menteri untuk menentukan apakah seseorang berhak mendapatkan perlindungan. Meskipun sentralisasi ini dapat mempercepat pengambilan keputusan, hal ini juga memunculkan kekhawatiran terkait potensi keterlambatan birokrasi, bias, dan kurangnya mekanisme pengawasan independen. Peraturan ini tidak menetapkan proses yang jelas dan transparan mengenai bagaimana keputusan ini akan dibuat, serta tidak menyediakan badan independen yang dapat meninjau keputusan Menteri. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya akuntabilitas dan inkonsistensi dalam penerapan hukum.
Selain itu, ketergantungan pada tim penilai yang bersifat ad-hoc untuk menilai setiap kasus menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Tim ini, yang anggotanya dapat berganti atau dipengaruhi oleh faktor eksternal, berisiko memberikan keputusan yang tidak konsisten. Absennya tim yang permanen dan berdedikasi dapat menyebabkan variasi interpretasi terhadap peraturan, sehingga merongrong tujuan utamanya untuk memberikan perlindungan yang seragam bagi pembela lingkungan.
Mengapa hanya pembela yang menempuh jalur hukum?
Salah satu kelemahan menyolok dari peraturan ini adalah fokusnya pada perlindungan bagi mereka yang memperjuangkan lingkungan melalui jalur hukum. Peraturan ini cenderung mengabaikan realitas di lapangan, di mana banyak pejuang lingkungan menghadapi ancaman serius bahkan sebelum atau tanpa menempuh jalur hukum. Aktivis sering kali berhadapan dengan intimidasi, kekerasan, dan ancaman fisik yang tidak selalu dapat diselesaikan melalui prosedur hukum formal. Dengan membatasi perlindungan hanya pada mereka yang berada dalam proses hukum, peraturan ini seolah-olah mengabaikan mereka yang memilih jalur advokasi lain, seperti aksi damai, kampanye publik, atau investigasi lapangan yang seringkali menjadi sasaran utama intimidasi.
Lebih jauh lagi, pendekatan ini tidak mempertimbangkan konteks di daerah-daerah terpencil di Indonesia, di mana akses ke jalur hukum sering kali terbatas. Banyak aktivis lingkungan, terutama masyarakat adat dan komunitas lokal, mungkin tidak memiliki sumber daya atau akses yang diperlukan untuk membawa kasus mereka ke pengadilan. Peraturan ini, dengan demikian, berisiko mengecualikan banyak pejuang lingkungan yang rentan namun tidak dapat atau tidak memilih untuk menempuh jalur hukum.
Ketidakseimbangan kekuasaan
Meskipun peraturan ini bertujuan melindungi pembela lingkungan dari tindakan hukum, peraturan ini kurang berhasil mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan antara pembela lingkungan dan korporasi besar. Banyak ancaman paling serius yang dihadapi oleh aktivis berasal dari entitas bisnis besar yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang sangat besar. Permen LHK No. 10/2024 tidak secara eksplisit menyediakan langkah-langkah untuk melawan pengaruh korporasi ini, sehingga membiarkan para aktivis tetap rentan terhadap tindakan pembalasan, baik di ranah hukum maupun dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Misalnya, peraturan ini memang mengakui tindakan pembalasan seperti ancaman tertulis, kriminalisasi, dan kekerasan, tetapi tidak menawarkan mekanisme yang rinci untuk perlindungan fisik segera. Dalam banyak kasus, para pembela lingkungan, terutama mereka yang berada di komunitas pedesaan atau masyarakat adat, menghadapi taktik intimidasi yang melampaui ancaman hukum. Tanpa pendekatan yang komprehensif yang mencakup perlindungan fisik dan psikologis, peraturan ini mungkin tidak sepenuhnya melindungi mereka yang benar-benar berjuang di garis depan.
Menuju pendekatan holistik
Permen anti-SLAPP yang dikeluarkan LHK memang patut diapresiasi, namun perlu ada perbaikan yang signifikan agar dapat benar-benar efektif. Peraturan ini harus menetapkan badan pengawas independen untuk memastikan transparansi, konsistensi, dan akuntabilitas dalam pemberian perlindungan. Badan ini bisa melibatkan perwakilan dari masyarakat sipil, pakar hukum, dan organisasi lingkungan untuk memberikan perspektif yang seimbang.
Pemerintah juga harus berinvestasi dalam pelatihan aparat penegak hukum dan anggota peradilan untuk menangani kasus-kasus lingkungan dengan lebih sensitif dan berpengetahuan. Pelatihan yang tepat dapat mengurangi hambatan birokrasi dan memastikan bahwa pembela lingkungan menerima perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.
Selain itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk menangani keamanan fisik dan psikologis para pembela lingkungan. Peraturan ini harus mencakup ketentuan yang jelas untuk perlindungan fisik segera, seperti mekanisme respons darurat dan tempat penampungan aman bagi mereka yang menghadapi ancaman kekerasan. Di samping itu, akses terhadap perlindungan perlu difasilitasi dengan lebih mudah, terutama bagi aktivis akar rumput yang mungkin tidak memiliki sumber daya untuk melalui prosedur hukum yang kompleks.
Langkah awal
Permen LHK No. 10 Tahun 2024 adalah langkah awal yang menjanjikan dalam meningkatkan tata kelola lingkungan di Indonesia. Namun, agar dapat berfungsi efektif, peraturan ini harus melampaui sekadar memberikan perlindungan hukum. Peraturan ini perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik yang mengatasi berbagai ancaman yang dihadapi oleh pembela lingkungan. Penguatan mekanisme implementasi, penyederhanaan akses terhadap perlindungan, dan penyediaan jaminan keselamatan yang komprehensif sangat penting untuk memberdayakan mereka yang berjuang tanpa lelah untuk lingkungan. Hanya dengan cara ini Indonesia dapat benar-benar melindungi penjaga warisan alamnya dan mendorong masyarakat yang menghargai dan mendukung perjuangan untuk lingkungan hidup yang sehat.