LIPUTAN KHUSUS:

Hijau Muram KIHI Kaltara: Hilang Ikan di Kampung Nelayan


Penulis : Kennial Laia dan Raden Ariyo Wicaksono

Nelayan dan masyarakat pesisir Bulungan terimbas proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantara Utara. Hijau yang kacau.

SOROT

Selasa, 10 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Alex masih mengingat tiga bulan lalu ketika kehilangan salah satu bagannya di Kampung Baru, Desa Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Bagan tersebut, terbuat dari kayu untuk menangkap ikan teri dan ikan karang, hancur. Meski tidak menyaksikannya secara langsung, Alex tahu persis apa penyebabnya. 

Sejak pembangunan infrastruktur pendukung untuk proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) dimulai pada 2022, kapal-kapal tongkang lalu-lalang membawa material konstruksi. Aktivitas ini, menurut Alex, mengganggu bagan-bagan nelayan yang berjejer sepanjang 13 kilometer, dan berjarak sekitar tiga kilometer dari bibir pantai desa tersebut. 

“Kapal-kapal tongkang itu sering melewati lokasi bagan nelayan. Untuk bagan yang hancur itu terpaksa saya jual Rp 5 juta, tetapi sebenarnya saya rugi Rp 70 juta,” kata Alex kepada Betahita, Jumat, 6 September 2024. Dia menambahkan telah melaporkan insiden itu ke kepolisian setempat namun tidak diusut karena kurang bukti dan saksi mata. 

Sebelum KIHI, nelayan di Mangkupadi telah lebih dulu terusik oleh aktivitas kapal tongkang yang membawa batu bara  Kerap kali kendaraan air tersebut “parkir” di perairan yang merupakan jalur nelayan mencari ikan maupun mendirikan bagan. Kini masyarakat terjepit antara tongkang-tongkang pengangkut material konstruksi dan batu bara. 

Poster yang menunjukkan protes masyarakat terhadap aktivitas kapal tongkang yang membawa batu bara maupun material konstruksi untuk proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di perairan Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Dok. PLHL

Bagan miliki Alex pun bukan satu-satunya yang jadi korban. Terbaru pada Sabtu, 7 September 2024, sebuah video yang diunggah di akun Instagram @kaltara_24jam memperlihatkan video yang diduga kapal tongkang melewati sela antara bagan milik nelayan. “Ini lah bagian kapal memasuki area Kampung Baru, memasuki bagan pak,” kata suara dari video tersebut. 

Peneliti Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL) Yosran Efendi mencatat, nelayan  menjadi salah satu korban pertama yang terdampak dari KIHI, proyek pelat merah di bawah payung proyek strategis nasional atau PSN. Setidaknya terdapat empat bagan yang dikelola nelayan di Desa Mangkupadi hancur ditabrak tongkang sejak 2023. Hanya satu dari mereka yang mendapatkan ganti rugi dari perusahaan. “Selain itu, di Kalimantan Utara sendiri kita pun punya potensi tambak. Ini juga akan terancam,” kata Yosran.  

Presiden Joko Widodo menggadang-gadang KIHI sebagai kawasan industri hijau. Dengan rencana seluas 30.000 hektare, kawasan itu nantinya akan menampung pabrik petrokimia dan fasilitas pengolahan dan pemurnian alumina dengan kapasitas 3 juta ton, serta besi dan baja. Pemerintah juga mengungkap akan membangun  pabrik baterai kendaraan listrik. 

Yang jadi masalah, kata Yosran, kawasan industri itu mencakup dua desa yakni Mangkupadi dan Tanah Kuning, dengan jumlah penduduk 5.000 jiwa. Sebelum proyek ini dimulai, mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan, petani, dan pekebun. Namun sejak infrastruktur untuk KIHI dibangun, banyak masyarakat di Mangkupadi kehilangan ruang hidup dan penghidupan. 

Salah satu bagan milik masyarakat desa Mangkupadi hancur. Diduga karena ditabrak kapal tongkang milik perusahaan ataupun proyek KIHI. Dok. PLHL 

Petani dan pekebun kehilangan tanahnya karena dipaksa menjualnya kepada KIHI. Masyarakat yang melawan, seperti Alex, juga mengalami perampasan lahan dan tidak mendapatkan ganti rugi hingga kini. Ada pula masyarakat yang memilih bekerja di perusahaan, menjadi buruh kasar. 

Berdasarkan pemantauan lapangan, saat ini tengah dibangun PLTU batu bara besutan Adaro Group yang berada di area Desa Mangkupadi, khusus untuk bakal kawasan industri “hijau” tersebut. Laporan dari Nugal Institute for Social and Ecological Studies dan Jaringan Advokasi Tambang mengungkap bahwa total energi listrik yang akan digunakan sebesar 11.404 gigawatt hour (GWh) setiap tahun, dan bersumber dari batu bara, hanya untuk indsutri petrokimia dan baja. Jika ditotal, terdapat kebutuhan batu bara sebesar 27,62 juta ton batu bara per tahun. Jumlah ini setara dengan produksi batu bara dari sebanyak 37 Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara yang tersebar di seluruh provinsi Kalimantan Utara. 

Pembangunan PLTU batu bara berkapasitas 1 GW tersebut pun dinilai akan berdampak negatif pada aspek lingkungan dan ekonomi. Kajian dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada September 2023 menghitung, dampak penurunan produksi perikanan dan perkebunan akibat pembangunan PLTU sebesar Rp3,93 triliun. Pendapatan masyarakat juga diperkirakan menurun sebesar Rp3,68 triliun, dengan kerugian spesifik di sektor perikanan senilai Rp51,5 triliun akibat pencemaran PLTU dan gangguan pada jalur pencarian ikan pada nelayan maupun kawasan pesisir. 

Kerugian ekonomi tersebut disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan, kesulitan nelayan mencari ikan, hingga sektor pertanian yang terimbas pertambangan batubara untuk mensuplai PLTU,” kata ekonom dan direktur eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira. 

Peta lanskap KIHI, Bulungan, Kalimantan Utara. Dok. PLHL

Peta rencana wilayah KIHI di Bulungan, Kalimantan Utara. 

Jika beroperasi dalam jangka panjang, penghidupan masyarakat benar-benar terancam. Nelayan dari Desa Mangkupadi, Tanah Kuning, dan Binai yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut akan terimbas secara langsung, seperti berkurangnya ikan karang karena rusaknya ekosistem terumbu karang akibat pengerukan. 

Terdapat pula risiko kehilangan pekerjaan sebanyak 66.000 orang di berbagai sektor, seperti nelayan dan pekerja di bidang perkebunan. Khususnya jika PLTU batubara beroperasi dalam jangka panjang, akumulasi kerugian dari kehilangan pendapatan masyarakat menembus Rp13 triliun. Masyarakat bahkan bisa berpindah profesi. 

*

Bertahun-tahun menjadi nelayan, Haling Bahara memutuskan berhenti melaut pada 2014. Warga desa Mangkupadi itu mengaku hasil tangkapan laut tak lagi sebanyak yang dulu, akibat aktivitas bongkar muat batu bara. Dia memutuskan menggarap lahan keluarga seluas 1 hektare. Namun menurutnya lahan itu pun dirampas oleh KIHI. Hingga saat ini Haling belum mendapatkan kompensasi. 

Untuk bertahan hidup, Haling pernah terlibat membangun sarana PDAM di dalam KIHI. Namun kerja sama itu tak lagi dilanjutkan karena dia aktif mendemo perusahaan soal ganti rugi lahan. Kini Haling bekerja lepas sebagai tukang. 

“Sekarang mau kembali jadi nelayan, tidak mungkin. Sejak proyek (KIHI) masuk, hasil tangkapan kawan-kawan saya juga menurun,” kata Haling. 

Aktivitas nelayan di bagan, desa Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Dok. PLHL 

Haling mengaku ikut terusik dengan insiden kapal tongkang yang menabrak bagan. “Ini terjadi karena jalur kapal tongkang itu belum ada yang disepakati. Kalau sudah ditentukan jalurnya, otomatis nelayan bagan tidak membangun di situ. Masyarakat mengerti kalau sudah ada jalurnya,” ujarnya. 

Alasan lain Haling enggan kembali menjadi nelayan adalah perubahan sosial yang terjadi akibat pembangunan di area desanya. Malam hari di Mangkupadi kini terang benderang akibat aktivitas kawasan. Padahal, kondisi pantai yang gelap sangat penting untuk menentukan jumlah tangkapan ikan teri dan ikan karang dari bagan.

“Saat kita mengambil ikan di bawah laut, kita mematikan lampu satu per satu. Hanya pakai lampu yang cahayanya paling sedikit, dan itu juga ditutup oleh paralon. Lalu kita derek jaringnya. Jadi kalau ada cahaya lain yang mengganggu, ikan-ikan otomatis lari keluar dari jaring mengikuti cahaya lampu terang,” kata Haling. 

Sebelum ada KIHI dan bongkar muat batu bara, nelayan di Bulungan jaya. Menurut Haling, dibutuhkan modal Rp 15 juta pada 2009 untuk membangun bagan. Pengeluaran itu bisa kembali dalam satu malam saja. “Kita bisa mendapat ikan teri (kering) hingga 2 ton untuk satu malam. Belum ikan lainnya. Sekarang tidak ada lagi yang begitu, sampai 1 ton pun tidak ada,” katanya. 

Foto udara area KIHI di desa Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Dok. PLHL

Meski teri kini dibanderol lebih tinggi, yakni Rp 25.000/kilogram dari Rp 5.000/kilogram, Haling menilai tidak ada peningkatan pendapatan untuk nelayan. “Sekarang paling dapat 5 kilogram dalam satu malam. Tetapi ini belum tentu untung, karena harus menghitung ongkos yang bisa mencapai Rp 200 ribu per malam, untuk solar dan makanan,” kata Haling. 

Sementara itu di Kampung Baru, para pemuda mencoba bertahan. Rahmat Hidayat dari Kepemudaan Kampung Baru mengatakan, mereka ingin mempertahankan identitas budaya dan ekonomi tradisional di kampung nelayan tersebut, diselingi dengan berdagang. 

Menurut Rahmat, meski saat ini banyak pemuda yang bekerja di proyek-proyek KIHI, ada juga yang tetap melanjutkan usaha bagan. Namun upaya-upaya ini dibayangi oleh kekhawatiran akan pencemaran, kapal tongkang, dan perusahaan-perusahaan yang mengepung Kampung Baru. 

Di sisi lain, mulai tumbuh persepsi bahwa bagan tidak lagi menguntungkan bagi masyarakat. “Sejak ada KIHI, banyak yang beralih kerja. Jadi tinggal beberapa kelompok saja. Paling sanggup membangun dua bagan, padahal dulu bisa bikin enam sampai 10 bagan.” 

Bagan milik nelayan di desa Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Dok. PLHL 

Masyarakat mulai beralih ke perusahaan karena pendapatannya lebih jelas. “Hanya saja kalau tangkapan sedang bagus, hasilnya bisa berkali-kali lipat dari gaji di perusahaan.” kata Rahmat.

Kini Rahmat didera kekhawatiran. Dia menyadari aktivitas pembangunan PLTU akan diikuti pembangunan sarana dan prasarana industri lainnya, hingga kawasan itu aktif beroperasi kelak. “Kalau semua sudah aktif, kemungkinan lebih terganggu lagi.  Bisa lebih parah lagi,” katanya. 

Kekhawatiran itu beralasan. Masa depan nelayan tampaknya suram. Laporan tahun lalu menemukan kawasan perikanan di area Mangkupadi dan Tanah Kuning menyusut drastis hingga lima kali lipat.

Supardi, warga dari Tanah Kuning, juga merasa resah karena perubahan cara hidup di desanya. Tanah Kuning juga masuk dalam area KIHI, meskipun belum mengalami dampak seperti di Mangkupadi. Supardi mengatakan dia juga menyadari perubahan warga air yang lebih keruh di Tanah Kuning dan Mangkupadi. 

“Kalau bagi kami, ada satu dampak yang terlihat yaitu pengisapan pasir laut, yang merusak struktur bawah laut termasuk terumbu karang. Warna air mejadi cokelat dan ada limbah lumpur yang dibawa ke laut,” kata Supardi. 

Plang bertuliskan proyek strategis nasional di area KIHI, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Dok. PLHL