LIPUTAN KHUSUS:
Merawat Ingatan Sagu di Festival Lembah Grime Papua
Penulis : Muhammad Ikbal Asra
Festival Sagu dan Grime Art dari 25-27 Juni 2024 ini selain untuk mengawetkan sagu juga menghidupkan kembali seni ukir, seni lukis, dan seni menganyam Masyarakat Adat di Lembah Grime.
Konservasi
Kamis, 27 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Masyarakat Adat Lembah Grime menggelar Festival Sagu dan Grime Art dari 25-27 Juni 2024. Kegiatan yang diinisiasi Isyo Hills dan didukung oleh tiga suku besar Lembah Grime--Suku Kemtuk, Gresi, dan Nmblong--ini mengambil tempat di Kampung Rhepang Muaib, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua.
Kampung Rhepang Muaib, sekitar 2 jam dari Kota Jayapura, adalah basecamp Isyo Lodge dan Birdwatching Site untuk para pemantau burung endemik Papua yang sudah sohor ke mancanegara. Burung yang bisa diamati di hutan di sekitar basecamp di antaranya burung cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus) dan burung cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda). Pendirinya yang juga ketua panitia festival ini, Alex Waisimon, adalah penerima Penghargaan Kalpataru 2017.
Menurut Alex Waisimon, Festival Sagu dan Grime Art dimaksudkan untuk mempersatukan dan mengingatkan Masyarakat Adat Lembah Grime tentang hutan sagu yang kini mulai hilang. "Festival ini juga untuk membangkitkan kembali karya-karya masyarakat adat seperti seni ukir, seni lukis dan seni menganyam secara turun-temurun. Ini yang kita mau kenalkan ke luar bahkan sampai internasional," katanya, seusai acara pembukaan.
Penerima Kalpataru bidang Perintis Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu menambahkan, lewat festival ini para pengunjung bisa mengenal lebih dekat suku-suku yang ada di lembah Grime. Dia mengatakan tahun ini bekum semua suku ikut. Tahun depan, ujarnya, pihaknya akan melibatkan suku Nawa dan Elseng.
"Mereka juga akan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan seperti ini agar terpublikasikan dan generasi muda bisa paham adat dan budaya," ucapnya.
Alex menngungkapkan, Festival Sagu dan Grime Art merupakan program tahunan Masyarakat Adat Lembah Grime atas dukungan para pegiat lingkungan hidup. Hajatan ini yang kedua kalinya. Kali pertama festival ini diselenggarakan tahun lalu di Kampung Kwadeware, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura.
Acara pembukaan perhelatan ini dihadiri akademisi Universitas Cenderawasih, World Wide Fund for Nature (WWF) Program Papua, tiga suku besar di Lembah Grime yakni Suku Kemtuk, Gresi, dan Nmblong, penerima Kalpataru KLHK 2023 Petronela Meraudje, Komunitas Rumah Bakau Jayapura, Komunitas Tuli Jayapura, Komunitas Earth Hour Jayapura, Himpunan Pramuwisata Provinsi Papua, dan Komunitas KIPAS Sarmi. Masyarakat adat Suku Waisimon, Wouw, Bano, Mara Bano, Masa, Waibro, Ely, Yoshua, Yambeyabdi, dan Waipon juga ikut meramaikan kegiatan ini.
Hadir pula Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) Kabupaten Jayapura, TNI-Polri, Kepala Distrik Nimbokrang, Kepala Kampung Rhepang Muaib.
Menurut Alex, panitia juga sudah memasukkan surat undangan ke Pj Bupati Jayapura Triwarno Purnomo dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menghadiri kegiatan ini.Namun, baik PJ Bupati maupun OPD tidak ada yang menghadiri pembukaan tersebut, sehingga Festival dibuka oleh Kepala Distrik Nimbokrang Wellem Wouw dan Kepala Kampung Rhepang Muaib, Albertina Demotekai
Alex mengaku, kegiatan ini memang tidak mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Jayapura. "Tapi itu tidak menjadi kendala," kata dia. "Bagi kami apa yang kita buat hari ini hanya untuk masyarakat adat Lembah Grime Nawa agar bisa menampilkan karya-karyanya. Tahun depan, saya berharap lebih meriah lagi," tambahnya
Untuk itu, ujar Alex, "Setelah Festival Sagu dan Grime Art ini, kami akan rapat dengan Pj Bupati Jayapura untuk mengusulkan agenda ini agar ditindaklanjuti tetapi juga mengajak para pegiat lingkungan hidup yang menekuni olahan sagu," ujarnya