LIPUTAN KHUSUS:
Tiga Mengancam Laut
Penulis : Kennial Laia
Laut bukan hanya tempat selfie, tapi rumah bagi banyak spesies dan membantu menyerap CO2 yang telah menghangatkan atmosfer.
Perubahan Iklim
Kamis, 06 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Lautan di dunia sedang menghadapi “tiga ancaman” yaitu pemanasan ekstrem, hilangnya oksigen, dan pengasaman. Kondisi ekstrem ini menjadi jauh lebih intens dalam beberapa dekade terakhir dan memberikan tekanan besar pada kehidupan laut di planet ini, demikian temuan penelitian baru.
Sekitar seperlima permukaan laut dunia sangat rentan terhadap tiga ancaman sekaligus, yang dipicu oleh aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan, menurut temuan studi tersebut. Di kedalaman 300 meter lautan yang terkena dampak, faktor gabungan ini sekarang berlangsung tiga kali lebih lama dan enam kali lebih intens dibandingkan pada awal 1960an, menurut penelitian tersebut.
Penulis utama studi ini memperingatkan bahwa lautan di dunia sudah berada dalam kondisi ekstrem baru karena krisis iklim. “Dampaknya sudah terlihat dan dirasakan,” kata Joel Wong, peneliti di ETH Zurich, Selasa, 4 Juni 2024. Dia mencontohkan peristiwa seperti anomali panas (dikenal sebagai heat blob) yang menyebabkan matinya kehidupan laut di Samudera Pasifik antara 2013 dan 2016.
“Kejadian ekstrem seperti ini kemungkinan besar akan terjadi lagi di masa depan dan akan mengganggu ekosistem laut dan perikanan di seluruh dunia,” tambahnya.
Penelitian yang dipublikasikan di AGU Advances ini menganalisis kejadian panas ekstrem, deoksigenasi, dan pengasaman, dan menemukan bahwa kejadian ekstrem tersebut bisa berlangsung hingga 30 hari, terutama di wilayah tropis dan Pasifik utara yang terkena dampak ancaman yang semakin besar.
Para ilmuwan iklim telah merasa khawatir dengan kenaikan suhu panas di lautan yang terus menerus dan mencapai tingkat yang luar biasa dalam beberapa bulan terakhir. “Panas ini benar-benar tidak masuk akal, sungguh mengherankan melihatnya,” kata Andrea Dutton, ahli geologi dan ilmuwan iklim di University of Wisconsin–Madison, Amerika Serikat, yang tidak terlibat dalam penelitian baru ini.
“Kami tidak dapat sepenuhnya menjelaskan suhu yang kita lihat di Atlantik, misalnya, yang menjadi salah satu alasan mengapa musim badai menjadi perhatian tahun ini. Ini cukup menakutkan,” ujarnya.
Namun selain panas yang memaksa ikan dan spesies lain untuk berpindah, jika mereka mampu, ke iklim yang lebih sesuai, lautan juga harus membayar mahal karena menyerap sejumlah besar panas dan karbon dioksida dari emisi bahan bakar fosil. Tambahan CO2 membuat air laut menjadi lebih asam, melarutkan cangkang makhluk laut, serta membuat lautan kekurangan oksigen.
“Ini berarti kehidupan laut semakin tersingkir dari tempat di mana mereka dapat bertahan hidup,” kata Dutton. “Makalah ini memperjelas bahwa hal ini sedang terjadi saat ini dan bahwa ancaman gabungan ini akan mendorong organisme melewati titik kritisnya. Masyarakat harus menyadari bahwa lautan telah melindungi kita dari panas yang kita rasakan di darat sebagai manusia, namun hal ini bukannya tanpa konsekuensi.”
Dutton mengatakan bahwa kombinasi penurunan kadar oksigen, peningkatan pengasaman, dan melonjaknya panas laut juga terlihat pada akhir periode Permian sekitar 252 juta tahun yang lalu, ketika Bumi mengalami peristiwa kepunahan terbesar dalam sejarahnya, yang dikenal sebagai Great Dying (Kematian Besar).
“Jika Anda melihat catatan fosil, Anda dapat melihat pola yang sama terjadi pada akhir zaman Permian, ketika dua pertiga kehidupan laut punah,” katanya. “Saat ini kondisi kita tidak sama, namun perlu diperhatikan bahwa perubahan lingkungan yang terjadi juga serupa.
“Lautan bukan hanya latar belakang yang bagus untuk selfie Anda di musim panas, kita juga mengandalkannya dalam kehidupan kita, sangat penting untuk menyadari hal ini,” tambah Dutton.