LIPUTAN KHUSUS:

Menjelang COP 29, Babayev: Dana Iklim Harus Transparan


Penulis : Aryo Bhawono

Pendanaan iklim terselubung, dan kerahasiaan, justru menimbulkan penyelewengan program.

Perubahan Iklim

Rabu, 08 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Negara-negara miskin mesti terbuka dan bersikap transparan untuk mendukung permintaan mereka dalam pendanaan iklim senilai triliunan dolar. Pendanaan iklim yang terselubung dan rahasia akan menimbulkan penyelewengan. 

Mukhtar Babayev, Menteri Ekologi Azerbaijan sekaligus Presiden Perundingan Iklim Dunia yang akan memimpin KTT Iklim PBB COP 29 pada November 2024, mendesak pemerintahan negara-negara berkembang untuk segera membuat laporan kemajuan pengurangan emisi gas rumah kaca dan pengeluaran mereka untuk program krisis iklim.

“Sangat penting untuk membangun kepercayaan yang benar, baik dan jujur di antara para pihak. Ini adalah langkah yang sangat-sangat penting dalam penciptaan mekanisme transparansi antar negara,” kata dia dalam sebuah wawancara di Baku, ibu kota Azerbaijan, dikutip dari Guardian.

Pada COP 29 di Baku, seluruh negara diharapkan berupaya untuk mencapai tujuan global baru dalam pendanaan iklim bagi negara-negara miskin. Beberapa negara di kawasan selatan diketahui meminta jumlah bantuan tersebut mencapai lebih dari 1 triliun dolar AS per tahun.

Poster protes tentang krisis iklim. Foto: iglobal.org

Soal dana ini diperkirakan akan menjadi perdebatan sengit di COP 29. Negara-negara kaya kemungkinan besar tidak akan menyetujui pemberian dana sebesar itu. Sementara itu peran sumber pendanaan lain, seperti sektor swasta, masih dipertanyakan.

Negara miskin membutuhkan dana besar untuk memperbarui rencana komitmen kontribusi nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) mereka, sejalan dengan kebutuhan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius. Babayev melihat upaya untuk meningkatkan transparansi penghitungan pengurangan emisi dan belanja iklim sebagai langkah awal yang penting. 

“Ini seperti segitiga. Pertama, transparansi. Itu adalah kepercayaan di antara para pihak. Selanjutnya, keuangan. Selanjutnya, NDC. Hari ini kita sedang mencari segitiga ini,” ujarnya.

Transparansi dan akuntabilitas yang jelas adalah salah satu isu yang paling mengganggu dalam perundingan iklim global karena sulitnya memantau berbagai variabel yang terlibat, mulai dari emisi gas rumah kaca hingga pengeluaran pendanaan iklim. Selain itu karena sensitivitas yang mendalam terhadap isu-isu nasional, kedaulatan, dan keengganan untuk tunduk pada pengawasan internasional.

Terdapat banyak contoh kurangnya transparansi telah menghambat upaya untuk mengatasi krisis iklim. Emisi gas rumah kaca sering kali ditemukan jauh melebihi emisi yang dilaporkan. Misalnya, Badan Energi Internasional (IEA) menemukan pada tahun 2022 bahwa emisi gas rumah kaca metana 70% lebih tinggi dibandingkan yang diakui negara-negara di dunia.

Pengeluaran pendanaan iklim secara rahasia dapat menimbulkan distorsi besar. Investigasi yang dilakukan oleh Reuters tahun lalu menunjukkan pendanaan iklim justru dijadikan kedok atas program yang memperparah pemanasan global. Misalnya saja Italia membantu membuka jaringan toko es krim di Asia, Jepang telah memasok dana untuk pembangkit listrik tenaga batu bara di Bangladesh dan negara-negara lain, dan Mesir melakukan perluasan bandara--semua dengan kedok pendanaan iklim.

Berdasarkan perjanjian Paris 2015, negara-negara harus mulai menyerahkan laporan transparansi baru. Negara-negara maju diwajibkan untuk menyerahkannya terlebih dahulu, pada tahun 2023. Sedangkan negara-negara berkembang batas waktunya adalah akhir tahun ini.

Babayev ingin negara-negara menyerahkan laporan lebih awal jika memungkinkan, sebagai cara untuk mengatasi kebuntuan di bidang keuangan. Jika negara-negara miskin dapat menunjukkan dengan jelas bahwa mereka berupaya mengurangi emisi, beradaptasi terhadap dampak krisis iklim, dan memperhitungkan pendanaan iklim yang mereka terima, maka negara-negara maju akan memiliki lebih sedikit alasan untuk menahan pendanaan iklim.

“Jika semua pihak menyampaikan hal tersebut, jika negara-negara mau menyampaikan gambaran transparan mengenai kegiatan mereka, maka hal ini juga akan menjadi argumen yang sangat baik bagi negara maju untuk menyampaikan prioritas negara berkembang,” kata Babayev. “Kami ingin menjadi interkonektor.”

Azerbaijan sendiri sangat bergantung pada minyak dan gas yang menyumbang lebih dari 90 persn ekspor negaranya dan menyumbang lebih dari separuh anggaran negara. Babayev mengatakan produsen bahan bakar fosil harus memainkan peran penting dalam upaya-upaya COP.

“Kami ingin mengajak semua negara, khususnya negara-negara penghasil bahan bakar fosil, untuk bersama-sama dalam proses ini, memikirkan bagaimana kita dapat berpartisipasi dalam proses ini. Karena kami memahami tanggung jawab kami,” kata dia.

Dia mengatakan beberapa negara penghasil bahan bakar fosil telah membantu negara-negara miskin dalam hal pendanaan. 

Kepala Delegasi Azerbaijan, Yalchin Rafiyev, mengatakan produsen bahan bakar fosil tidak ingin dicap sebagai satu-satunya sumber masalah. Ia mencontohkan, sektor lain, seperti transportasi, juga merupakan sumber emisi karbon yang besar.