LIPUTAN KHUSUS:

Target Iklim Indonesia Harus Lebih Ambisius dan Adil - IESR 


Penulis : Kennial Laia

Target iklim yang sedang digodok KLHK dinilai belum sesuai Perjanjian Paris. Pengembangan energi terbarukan yang masif menjadi salah satu kunci.

Perubahan Iklim

Sabtu, 27 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah Indonesia diminta untuk lebih ambisius menetapkan target penurunan emisi dalam dokumen iklim terbarunya. 

Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun dokumen Kontribusi Nasional Penurunan Emisi Kedua atau Second Nationally Determined Contribution (SNDC). Kementerian tersebut mengungkap, penetapan target penurunan emisi pada dokumen SNDC tidak lagi diukur berdasarkan penurunan emisi dari skenario pertumbuhan dasar (business as usual). Hal ini sebelumnya dilakukan pada Enhanced NDC yang diterbitkan pada 2022. 

Di sisi lain, SNDC akan membandingkan pengurangan emisi gas rumah kaca terhadap tahun rujukan (reference year) 2019, yang berbasis inventarisasi GRK. Pemerintah menganggap metode penetapan emisi ini akan lebih akurat dan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi GRK global sebesar 43% pada 2030 dibandingkan emisi pada 2019. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pemutakhiran tersebut sebagai langkah maju. Menurutnya pendekatan ini sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan IESR tahun lalu.

Salah satu instalasi pembangkit listrik surya atap di gedung perkantoran di Jakarta. Dok. KESDM

Fabby mengatakan, target penurunan emisi di SNDC Indonesia harus selaras dengan target Persetujuan Paris. Pasalnya, temuan Inventarisasi Global pertama di COP 28 menunjukkan masih terdapat kesenjangan target penurunan emisi global 20,3-23,9  gigaton setara karbon dioksida. 

“Ini harus menjadi pertimbangan target penurunan emisi tahun 2030 yang lebih ambisius,” ujar Fabby, Jumat, 26 April 2024. 

Menurut Fabby, salah satu aksi mitigasi yang dapat meningkatkan target penurunan emisi di SNDC adalah peningkatan bauran energi terbarukan. Agar selaras dengan jalur 1,5 derajat Celcius, bauran energi terbarukan dalam energi primer perlu mencapai  55% pada 2030

Namun hal ini belum tercermin dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang sedang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Saat ini formulasi rancangan hanya membidik target bauran energi terbarukan 19-21% pada 2030. 

IESR juga menilai target penurunan emisi untuk sektor energi RPP KEN mengisyaratkan target tingkat emisi di sektor energi yang masih besar yaitu 1.074-1.233 juta ton setara karbon dioksida pada 2030.

Jika target pengurangan emisi sektor energi di SNDC mengacu pada RPP KEN, maka bisa dipastikan bahwa target tersebut masih tidak selaras dengan Perjanjian Paris, menurut Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo. 

Deon mengatakan, sektor energi, terutama sektor kelistrikan dapat menjadi sektor paling strategis dalam meningkatkan level ambisi mitigasi emisi Indonesia. Ini sangat mungkin dengan adanya opsi energi terbarukan yang tersedia dengan keekonomian yang kompetitif.

“Hanya kurang dari tujuh tahun menuju 2030, jadi aksi mitigasi emisi di sektor energi perlu difokuskan pada strategi yang bisa diimplementasi dan akselerasi sekarang,” kata Deon. 

Menurut Deon, energi terbarukan perlu secara masif dibangun di sektor kelistrikan sehingga dapat mengoptimalkan penurunan emisi melalui elektrifikasi baik sektor transportasi melalui kendaraan listrik, maupun boiler listrik dan pompa panas di sektor industri. 

“Semua opsi di atas sudah tersedia komersial dan biayanya kompetitif. Pemerintah sebaiknya jangan terlena dengan opsi lain seperti nuklir dan carbon and capture storage (CCS) yang baru bisa beroperasi setelah 2030, sehingga strategi yang nyata bisa mengurangi emisi jadi tersendat implementasinya,” kata Deon.

Saat ini proyeksi emisi terbaru dari Climate Action Tracker terhadap Enhanced NDC menunjukkan kenaikan emisi hingga 1,7- 1,8 giga ton setara karbon dioksida pada 2030; 70-80% lebih tinggi dari emisi tahun 2019, menurut Koordinator Kebijakan Iklim IESR Delima Ramadhani. 

Jumlah emisi tersebut belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan. Menurut perhitungan CAT, Indonesia perlu menargetkan reduksi emisi 2030 pada kisaran 829-859 juta ton setara karbon dioksida untuk sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius atau  970-1060 juta ton setara karbon dioksida (kedua kisaran level emisi, diluar emisi sektor kehutanan dan lahan) untuk target dibawah 2 derajat Celcius. 

“Pemerintah perlu memasukan aspek keadilan dan memberikan alasan mengapa target reduksi emisi yang tertera dalam SNDC ini dinilai sebagai bagian yang adil dari kontribusi Indonesia dalam upaya mitigasi iklim global. Dengan demikian, dapat terlihat apabila SNDC sudah mencerminkan “ambisi tertinggi paling memungkinkan,” kata Delima.

IESR juga menyoroti perlunya penekanan aspek keadilan dan tata kelola yang baik pada dokumen SNDC. Aspek keadilan dan transparansi ini perlu tercermin pada proses penyusunan SNDC yang memuat di antaranya praktik baik, relevan dengan keadaan nasional, keterlibatan institusi dalam negeri dan partisipasi publik.