LIPUTAN KHUSUS:
Pemerintah Tetapkan Lokasi Pasir Laut, Kiara: Nelayan Dikorbankan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Penetapan lokasi dan volume pengerukan pasir laut dianggap penuh permasalahan, terutama dalam konteks transparansi serta kajian ilmiahnya.
Kelautan
Minggu, 31 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menuding Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) tidak berwawasan lingkungan dan mengorbankan nelayan. Tudingan tersebut muncul sebagai respon dari penetapan lokasi dan volume pengerukan pasir laut oleh KKP.
Sebelumnya, pada 13 Maret 2024, KKP mengeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. 16 Tahun 2024 tentang Dokumen Perencanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kepmen ini adalah aturan turunan dan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Materiil yang terkandung di dalam peraturan pelaksanaan ini merupakan penetapan 7 lokasi perencanaan pengelolaan hasil sedimentasi di laut.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kiara, Susan Herawati, mengatakan peraturan pelaksanaan itu penuh dengan permasalahan, terutama dalam konteks transparansi serta kajian ilmiah dalam penetapan lokasi, luasannya serta volumenya dalam lokasi. Kiara memandang peraturan pelaksanaan tersebut semakin melegitimasi penentuan lokasi, luasannya serta volume pasir yang akan dikeruk tanpa mempertimbangkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam mengelola wilayah pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil.
"Seharusnya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) menjadi prinsip yang utama karena akan mencegah terjadinya kerusakan ekologi di wilayah perairan laut yang akan berdampak kepada keberlanjutan ekologi serta kondisi sosial nelayan dan masyarakat pesisir lainnya,” kata Susan, Rabu (27/3/2024)..
Kiara mencatat, Kepmen KP 16/2024 mengalokasi potensi pengerukan sumber daya kelautan berupa pasir laut di 7 wilayah perairan dengan total volume pasir laut yang akan dikeruk sebesar 16.497.721.542,54 m³. Rinciannya, Perairan Laut Kabupaten Demak dengan volume 1.723.153.882,35 m³, Perairan Laut Kota Surabaya 399.767.835,75 m³, Perairan Laut Kabupaten Cirebon 621.764.184,18 m³.
Kemudian, Perairan Laut Kabupaten Indramayu 1.101.733.078,62 m³, Perairan Laut Kabupaten Karawang 580.375.585,95 m³, Perairan Laut Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan 2.979.965.639,58 m³, dan Perairan Laut Natuna-Natuna Utara 9.090.961.336,11 m³.
Volume pengerukan sebanyak 16,4 miliar m³ itu, kata Susan, memperlihatkan bahwa orientasi KKP saat ini semakin jauh dari slogan "ekologi sebagai panglima" dan aktivitas pengerukan tersebut berpotensi untuk menghancurkan kehidupan sosial, ekologis, ekonomi serta akan menghapuskan kebudayaan bahari masyarakat yang hidup di tujuh wilayah pesisir tersebut.
"Buruknya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan serta kebijakan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan dan perlindungan nelayan serta hanya mengutamakan peningkatan PNBP menjadi legacy yang akan diwariskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan di sisa 7 bulan masa kepemimpinannya,” ujar Susan.
Susan menuturkan, lahirnya PP 26/2023 yang dilanjutkan dengan Permen KP 33/2023 serta Kepmen KP 16/2024 bertentangan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana yang diubah menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), yang secara tegas telah menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
"Bahkan UU PWP3K secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang secara langsung dan tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir," ujarnya.
PP 26/2034, Permen KP 33/2023 serta Kepmen KP 16/2024, Susan melanjutkan, tidak mempertimbangkan wilayah-wilayah pesisir, perairan laut dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang merupakan wilayah yang termasuk dalam kategori rentan dan sangat rentan serta merupakan daerah rawan bencana karena dilintasi oleh lempeng/sesar aktif, sehingga pengerukan pasir laut akan semakin meningkatkan bahaya dan kerentanan yang akan dialami oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya nelayan kecil/tradisional.
Selain tidak adanya transparansi, penelitian scientific, dan kajian ilmiah dalam penentuan pemilihan 7 lokasi pengerukan pasir laut, lanjut Susan, KKP juga tidak transparan tentang kajian ilmiah tentang jumlah kebutuhan pasir laut, peruntukan hasil pengerukan pasir laut, serta perusahaan-perusahaan yang telah mendapat konsesi serta sejarah perusahaan tersebut.
Susan menegaskan, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil telah memiliki sejarah panjang tentang daya rusak yang dihasilkan dari pertambangan pasir laut di berbagai wilayah di Indonesia, beberapa diantaranya adalah pertambangan pasir laut di Blok Spermonde, Sulawesi Selatan; pertambangan pasir laut di perairan Pulau Tunda bahkan pertambangan pasir di perairan Lampung.
Susan mengungkapkan, dampak pertambangan atau pengerukan pasir laut yang telah dirasakan oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah menurunnya perekonomian masyarakat karena rusaknya ekosistem lingkungan laut. Tak hanya itu, pertambangan pasir laut juga mengakibatkan penurunan kualitas air laut yang akan berpengaruh terhadap kelangkaan sumber daya perikanan sebagai pangan lokal, abrasi pesisir, gelombang laut yang semakin tinggi, hingga berpotensi untuk menenggelamkan pulau-pulau kecil.
"Tidak ada cara lain selain mencabut PP No. 26 Tahun 2023 sebagai akar permasalahan eksploitasi dan pengerukan pasir laut yang dibungkus dengan diksi pengelolaan hasil sedimentasi di laut," ucapnya.