11 Yang Ditinggal Dalam Debat Cawapres

Penulis : Aryo Bhawono

LIPUTAN KHUSUS

Kamis, 25 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sejumlah isu penting sektor lingkungan hidup, agraria, hingga krisis iklim, absen dalam debat Capres-Cawapres Pemilu 2024 sesi 4 pada Minggu lalu (21/1/2023). Aksi debat tiga cawapres dianggap tak menyentuh masalah pokok pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.

Beberapa lembaga pemerhati lingkungan menginventarisasi beberapa isu yang tak sempat dibahas dalam debat tersebut. Mereka menyayangkan hal ini karena isu-isu tersebut berkaitan dengan materi yang disebutkan oleh cawapres yang berdebat.

“Misalnya saja soal tambang ilegal, semua kandidat sudah menyebutkan betapa merusak dan merugikannya  aktivitas itu. Di sisi lain pemerintah memutihkan tambang yang beroperasi tanpa izin di kawasan hutan melalui Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja. Ini kontradiktif dan kandidat tidak sampai membicarakan soal pemutihan ini,” ucap Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Fanny Tri Jambore dalam jumpa pers di kantor Walhi di Jakarta pada Selasa (23/2/2024).

Beberapa lembaga lain juga melakukan inventarisasi yang lain, yakni Pantau Gambut, Satya Bumi, Greenpeace Indonesia. Berikut hasil beberapa inventarisasi mereka:

Debat Capres Cawapres Pemilu 2024. Sumber: Tangkapan layar youtube KPU.

Aksi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi #bersihkanindonesia di sekitar PLTU Pangkalan Sus

  1. Pembangunan Rendah Karbon

Tiga cawapres menyebutkan isu pembangunan rendah karbon namun secara kebijakan, pemerintah seringkali menunjukkan lemahnya ambisi dan hanya memandang pembangunan rendah karbon dari segi bisnis. walhi menyebutkan Indonesia menargetkan net zero emission (NZE) pada tahun 2050. 

Dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  menyebutkan untuk menjaga suhu bumi tidak naik melebihi 1,5°C, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. target ini lebih lambat 20 tahun dari Persetujuan Paris. 

  1. Biodiesel

Satya Bumi menganggap sejumlah program yang ditawarkan kandidat tertentu terkait biodiesel menyimpan potensi masalah namun luput dielaborasi lebih jauh oleh kandidat lain. Bahan bakar nabati seperti biodiesel dengan turunan B35 dan B40 luput dielaborasi mengenai potensi masalah perebutan CPO untuk energi vs pangan.

Selama 2020-2022 rerata serapan pabrik biodiesel mencapai 41,5 persen, meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya 34,5 persen. Kemudian diserap oleh industri oleokimia sekitar 10 persen, dan sisanya industri pangan. Sehingga kekhawatiran kelangkaan dan tingginya minyak goreng (CPO untuk pangan) dapat muncul kembali.

“Selama ini harga CPO lebih stabil untuk keperluan energi ketimbang pangan. Maka jangan heran ketika harga minyak goreng menjadi melambung tinggi,” ujar Andi dalam sebuah rilis, Senin (22/1/2024).

Sementara Walhi menyebutkan Lalu soal bauran intensifikasi program biofuel seperti B35, B40, hingga menjadi B100 untuk menggantikan bahan bakar fosil akan mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 4 hingga 6 juta hektar.

Masyarakat terusir dan kawasan lindung dirusak untuk tambang nikel di Sulawesi. Foto: Walhi Sulawesi

  1. Tambang dan Hilirisasi Nikel 

"Dari debat semalam, kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden," kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia,

Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka, imbuh Leo, menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud Md. juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama.

Leo mengatakan, watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini telah memicu banyak masalah, mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria, seperti perampasan hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir. Kemudian juga mengakibatkan perusakan hutan dan lahan gambut, pencemaran lingkungan, membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara, sekaligus memperparah krisis iklim.

Greenpeace mengungkapkan, nikel di Indonesia beroperasi dengan skema perizinan berbasis lahan. Per September 2023, ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare, sebagian besar berada di timur Indonesia yang kaya biodiversitas.

Di beberapa lokasi telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 hektare, masing-masing terjadi di Pulau Sulawesi 91.129 hektare atau 20 persen dari total deforestasi Pulau Sulawesi, dan di Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku Utara dan Maluku) seluas 23.648 hektare atau 8 persen dari deforestasi Kepulauan Maluku.

Eksploitasi nikel yang ugal-ugalan, menurut Greenpeace Indonesia, juga telah mencemari laut dan udara. Rencana pembangunan 53 PLTU captive batu bara yang akan menambah beban daya sebesar 14,4 GW--sebagian besar di antaranya untuk smelter nikel--jelas akan meningkatkan emisi dan pencemaran udara. Akibat penambangan dan pengolahan nikel, sebanyak 882 ribu ton limbah berbahaya mencemari Pulau Obi. Cadangan nikel Indonesia pun bakal habis dalam 6-15 tahun saja, imbas dari masifnya pengembangan smelter.

Sementara Walhi menyebutkan tambang ilegal, semua kandidat sudah menyebutkan betapa merusak dan merugikannya aktivitas itu. Di sisi lain pemerintah memutihkan tambang yang beroperasi tanpa izin di kawasan hutan melalui Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja. Ini kontradiktif dan kandidat tidak sampai membicarakan soal pemutihan ini.

banjir bandang di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, Senin (13/11) merusak sejumlah infrastrukt

  1. Krisis Iklim

Walhi mencatat terdapat peningkatan risiko ancaman bahaya dan dampak perubahan iklim dalam 10 tahun terakhir (2013-2022). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekam terjadinya
terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian bencana yang mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, 3,5 juta lebih orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia. 

Mitigasi  mitigasi dan adaptasi di sektor umumnya mengacu pada peraturan pokok sektor masing-masing. Permasalahan yang timbul kemudian adalah beberapa regulasi sektoral memiliki pengaturan yang justru bertentangan dengan semangat keadilan iklim (UU Cipta Kerja, UU Minerba, RPJMN, Proyek Strategis Nasional).

  1. Tata Kelola dan Instrumen Lingkungan Hidup

Walhi mencatat hal yang paling mencolok dalam masalah ini adalah AMDAL yang menjadi instrumen pencegahan (preventif) dijadikan instrumen formalitas semata oleh UU CK dan kebijakan OSS. Sehingga, diperbolehkannya memberikan komitmen sudah cukup untuk memperoleh perizinan berusaha. Seharusnya jika mengutamakan tata kelola lingkungan hidup masing-masing kandidat menyerukan pencabutan UU Cipta Kerja.

Tampak dari ketinggian hamparan lahan food estate singkong di Gunung Mas, yang tampak gersang. Dulun

  1. Kedaulatan Pangan

Proyek food estate masih mengemuka pada perdebatan ini padahal merujuk pada sejarah Food Estate, dari PLG (Proyek Lahan Gambut) di masa orde baru, MIFEE di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga saat ini tidak pernah berdampak signifikan pada ketersediaan pangan. Greanpeace Indonesia mencatat  Kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali. Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi.

Menurut Walhi prinsip kedaulatan pangan seperti subyek utama adalah rakyat, penekanan alat produksi pada pengelolaan rakyat, penggunaan benih lokal, dan lainnya, justru dikesampingkan oleh pemerintah. 

masyarakat adat di Sorong Selatan menyerukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang nekat beropera

  1. Masyarakat Adat

Janji pengesahan RUU Masyarakat Adat tak pernah konkrit, bahkan dalam debat cawapres lalu. Rancangan ini mengalami kemandegan selama 15 tahun. Ironisnya hutan adat yang telah ditetapkan hingga Agustus 2023 hanya seluas 221.648 ha. Lambatnya penetapan hutan adat dikarenakan pengakuan terhadap masyarakat adat serta wilayah adatnya sangat birokratis dan politis.

Selain itu data Walhi menyebutkan absennya instrumen HAM internasional membuat 110 perusahaan menguasai 3,4 juta hektar di 164 wilayah adat dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA); Sebanyak 79 perusahaan menguasai 1,6 juta hektar di 229 wilayah adat dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman (IUPHHK-HT); 313 perusahaan menguasai 855 hektar di 221 wilayah adat dengan izin usaha tambang; serta 264 perusahaan menguasai 607 hektar di 279. 

Konflik agraria pun mengancam kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat adat. AMAN mencatat, dalam waktu 10 tahun terakhir ada sekitar 687 orang masyarakat adat yang dikriminalisasi.

Greenpeace Indonesia menyebut ketiga cawapres juga berjanji melindungi masyarakat adat dan wilayah adat, termasuk dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Janji semacam ini selalu disampaikan dari pemilu ke pemilu, tetapi keengganan politik dari presiden terpilih dan partai politik pendukungnya selama ini menggambarkan bahwa mengakui dan melindungi masyarakat adat tak lebih dari sekadar retorika.

  1. Agraria

Ketimpangan penguasaan lahan masih menjadi permasalahan utama yang meski turut mewarnai debat namun tak ada solusi konkrit. Pemerintah menggemborkan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sertifikasi/legalisasi aset padahal itu bukan reforma agraria.

Selain itu Pembentukan Bank Tanah oleh pemerintah melalui PP 64/2021 bertentangan dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Lembaga Bank Tanah bertentangan dengan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 20 Ayat (1) UUPA. Jutaan hektar tanah masyarakat terancam diambil alih dan dikuasai sepihak oleh Bank Tanah sebagai jalan menyimpang untuk memenuhi kebutuhan tanah investor dan badan usaha besar.

Dalam isu reforma agraria, para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN). Cawapres 02 dan 03 misalnya, jelas Greanpeace Indonesia, hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah. Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.

Petugas pemadam kebakaran melakukan proses pendinginan lahan gambut yang terbakar di Desa Natai Baru

  1. Gambut

Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menyebutkan isu gambut seolah absen dalam debat cawapres padahal mereka sempat berbicara mengenai karhutla dan food estate. 

Selain itu UU Cipta Kerja yang didukung oleh hampir semua partai politik memiliki dampak negatif yang signifikan pada tata kelola kehutanan dan agraria. UU ini ‘memutihkan’ perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Padahal, pemberian izin ini membuat kerusakan pada 407,2 ribu hektare kesatuan hidrologi gambut (KHG) dalam fungsi lindung ekosistem gambut. Penegakan hukum pun tidak tegas dan transparan bagi 35 perusahaan yang disegel oleh KLHK terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023.

Sementara Greenpeace Indonesia, merujuk data KLHK, sepanjang 2015-2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022). Sepanjang 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua yang dibuat Menteri Kehutanan.

Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut juga masih terjadi saban tahunnya.

"Pada 2023 saja, angka kebakaran lahan dan hutan mencapai 1,16 juta hektare, tapi sayangnya luput dari pembahasan debat cawapres," sebut Leo.

Dari ketinggian tampak kondisi Pulau Wawonii akibat pertambangan nikel. Foto: Jatam Nasional.

  1. Maritim dan Pulau Kecil

Pani Arpandi, warga Wawonii, Sulawesi Tenggara, menyebutkan kampungnya yang berada di pulau seluas  715 kilometer persegi terdampak oleh pertambangan nikel. Seharusnya pulau itu dilindungi UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

“Tapi nyatanya tidak ada perlindungan itu, bahkan perusahaan tambang menyerobot pertanian warga,” ucap Pani dalam acara Nobar Debat Cawapres Pemilu 2024 yang digelar Betahita. 

Wawaonii hanya merupakan salah satu contoh saja. Walhi mencatat kerusakan tambang pada pulau kecil terjadi di beberapa tempat, seperti di Pulau Obi, Maluku Utara. Pulau seluas 2.500 kilometer persegi di Provinsi Maluku Utara ini dijejali 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi 10.769,53 hektar. 

Kerusakan serupa juga terjadi di kawasan pesisir di provinsi kaya nikel. 

gajah bernama Rahman di TN Tesso Nilo mati diduga akibat keracunan, dengan gading sebelah kiri sudah

  1. Konservasi Satwa

Tema ini benar-benar luput dalam debat cawapres padahal tak lama sebelum debat cawapres isu perlindungan satwa mengemuka, terutama pasca temuan kematian gajah karena di racun di Aceh dan gajah lain di Bengkulu dengan luka tembak.  

Dewi Lestari Yani Rizki, Chief Conservation Officer WWF Indonesia, mengungkap nihilnya isu satwa dan tak lengkapnya pembahasan dalam debat cawapres 2024, merupakan peringatan bagi seluruh pegiat lingkungan untuk mengawal seluruh isu tersebut. Apalagi selama ini keberpihakan pemerintah pada lingkungan hidup sangat sedikit.  

“Pengawasan ini harus menjadi concern buat kita semua kepada semua kandidat,” ucapnya. 

SHARE