Hari Ini Tenggat UUCK, Ada 1.263 Sawit Korporasi di Kawasan Hutan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Sawit
Kamis, 02 November 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Seribu lebih unit perkebunan sawit milik korporasi masuk dalam daftar data dan informasi (datin) kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, yang ditetapkan melalui 15 Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Kebun-kebun sawit korporasi itu berpeluang mendapatkan "pemutihan", meski sudah banyak tahun terbangun secara ilegal sebelum Undang-Undang Cipta Kerja terbit.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dilihat Betahita, hingga 4 Oktober 2023 luas indikatif perkebunan sawit yang terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan totalnya sebesar 1.679.797 hektare. Luasan tersebut terdiri dari 1.679 unit kebun. Angka-angka itu hasil akumulasi inventarisasi data sawit dalam kawasan hutan yang tercantum dalam SK datin tahap 1-15 yang ditetapkan Menteri LHK.
Dilihat dari kelompok pelaku atau subjek hukumnya, dari 1.679 unit kebun sawit itu 1.263 unit kebun terindikasi milik perusahaan atau korporasi dengan luas 1.473.946,08 hektare, 119 unit kebun milik koperasi seluas 99.654,47 hektare, dan 297 unit kebun milik masyarakat atau kelompok tani dengan luas 106.196,90 hektare.
Masih berdasarkan data KLHK, dari 1.263 unit kebun milik perusahaan itu, unit kebun yang dinyatakan sudah melengkapi persyaratan untuk permohonan penyelesaiannya berjumlah 1.131 unit kebun, seluas 1.374.322,8 hektare.
Dari angka tersebut, sejumlah 969 unit dengan luas 867.313,22 hektare penyelesaiannya ditetapkan menggunakan mekanisme Pasal 110A/Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, dan 162 unit kebun seluas 507.009,58 hektare diselesaikan menggunakan Pasal 110A.
Khusus penyelesaian menggunakan mekanisme Pasal 110A, dari 162 unit kebun itu, 78 unit sudah mendapatkan SK Penetapan Batas Pelepasan Kawasan Hutan atau Penetapan Areal Kerja, 29 unit sudah mendapatkan SK Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, dan sisanya 55 unit dalam proses oleh Tim Terpadu.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, ada nama-nama grup perusahaan raksasa dalam negeri yang terindikasi sebagai pemilik 162 unit kebun sawit ini, di antaranya Sinarmas, Wilmar, Bumitama Gunajaya Agro, Salim, dan Makin. Selain perusahaan dalam negeri, ada juga beberapa grup usaha asing seperti Genting Plantation, dan Kuala Lumpur Kepong, asal Malaysia.
Kemudian, dari 1.263 unit yang kebun terindikasi milik perusahaan itu, 112 unit kebun sawit, yang khusus seluruhnya tercantum dalam SK datin tahap 15, indikasi penyelesaiannya menggunakan mekanisme 110A dengan luas 93.408,67 hektare. Jumlah 112 unit kebun ini merupakan data hasil self reporting atau pelaporan mandiri yang dilakukan pemilik kebun, yang masuk dalam Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun).
Dilihat dari capaiannya, 1.679.797 hektare luas indikatif perkebunan sawit yang berhasil diiventarisasi kepemilikannya oleh KLHK itu masih jauh dari angka total luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan. Sebab, KLHK mencatat total luas perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Indonesia mencapai 3,3 juta hektare atau sekitar 19,6 persen dari total 16,8 juta hektare luas perkebunan sawit di Indonesia. Artinya masih ada sekitar 1,6 juta hektare kebun sawit dalam kawasan hutan lainnya yang belum berhasil terinventarisasi.
Pemutihan sawit dalam kawasan hutan dianggap kontroversial
Kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menggunakan mekanisme yang diatur Undang-Undang Cipta Kerja ini belakangan dianggap kontroversial oleh pengamat lingkungan. Salah satu alasannya, karena kebijakan tersebut dianggap hanya akan mencuci dosa pelaku perambah hutan, khususnya korporasi perkebunan sawit skala besar, yang selama ini secara ilegal beraktivitas dalam kawasan hutan.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Uli Arta Siagian mengatakan, ide pemutihan sawit dalam kawasan hutan, khususnya sawit skala besar milik korporasi, sejak awal sudah mendapat penentangan dan penolakan dari masyarakat sipil. Sebab pemutihan kegiatan ilegal dalam kawasan hutan itu berpotensi menimbulkan perbuatan melawan hukum.
"Negara sebenarnya melawan hukum dengan pemutihan itu. Korporasi sudah melawan hukum dengan berkegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin, dan ironisnya negara justru ikut-ikutan melawan hukum dengan melakukan pemutihan atas perbuatan ilegal korporasi itu," kata Uli, Rabu (1/11/2023).
Uli menghitung, sebelum Undang-Undang Cipta Kerja, setidaknya pemerintah sudah dua kali memberikan peluang pengampunan sawit dalam kawasan hutan, yakni melalui Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015. Dalam dua peraturan pemerintah itu, pemerintah membuka peluang bagi korporasi sawit yang terlanjur beraktivitas dalam kawasan hutan untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan pemutihan.
"Pemerintah berpotensi melakukan penyalahgunaan wewenang. Yang seharusnya memproteksi kawasan hutan, malah justru berkali-kali memberi peluang pemutihan sawit dalam kawasan hutan untuk korporasi," ujar Uli.
Seperti yang sudah dibahas di berita sebelumnya, 2 November 2023 adalah batas akhir bagi para pelaku kegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin di bidang kehutanan, untuk menyelesaikan persyaratan di bidang kehutanan. Batas waktu tersebut diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Penyelesaian sawit dalam kawasan hutan, yang sedang diterapkan pemerintah, akan dilakukan menggunakan mekanisme Pasal 110A dan Pasal110B Undang-Undang Cipta Kerja.
SHARE