Bahaya Limbah Medis di Tengah Pandemi Corona
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Kamis, 23 April 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Limbah medis akibat Corona Virus Disease (Covid-19) menjadi ancaman baru bagi masyarakat dan lingkungan. Limbah yang tergolong dalam Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Infeksius tersebut dikhawatirkan menjadi sumber penyakit baru dan mencemari lingkungan.
Kepala Loka Penelitian Teknologi Bersih Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ajeng Arum Sari mengatakan, limbah medis terus meningkat sejak adanya virus corona. Limbah medis itu berupa hazmat suit (alat pelindung diri/APD) sekali pakai, masker sekali pakai, serta jarum suntik. Sampah ini tidak hanya ada dihasilkan di puskesmas dan rumah sakit, tetapi juga di klinik dan apotik.
“Jumlah sampah masker sekali pakai meningkat. Kemungkinan bisa menjadi sumber penyakit dari masker yang terkontaminasi Covid-19,” katanya dalam webinar peringatan Hari Bumi ke-50, Rabu, 22 April 2020.
Pada 2019, volume limbah medis harian mencapai 290 ton dari 2.820 rumah sakit dan 9.884 puskesmas di Indonesia. Jumlah itu dipastikan meningkat selama pandemi Covid-19. Menurut Asian Development Bank, volume limbah selama pandemi khusus Jakarta dapat mencapai 12.750 ton per hari.
RSPI Sulianto Saroso yang menjadi rumah sakit rujukan nasional untuk Covid-19 telah mengalami peningkatan limbah medis. Pada Maret 2020, rumah sakit tersebut mengolah 4.500 kilogram limbah medis dan alat pelindung diri dengan insinerator. Jumlah tersebut naik dua kali lipat dibandingkan Januari 2020, di mana mereka mengolah 2.750 kilogram.
Ajeng mengatakan, limbah medis ini harus ditangani karena dampak negatifnya banyak. Contohnya, paparan patogen serta dapat mengakibatkan cedera seperti jarum suntik. Limbah medis tercemar ini juga dapat menemari air, udara, dan tanah.
"Selain itu pemulung dan petugas sampah juga tetap bekerja. Bayangkan ketika mereka mengangkut limbah medis ini, tentu berbahaya," kata Ajeng.
Penanganan limbah
Perihal limbah Covid-19, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 02 Tahun 2020. Ditandatangani pada 24 Maret 2020, surat tersebut mengatur tentang pengelolaan limbah B3 dan sampah rumah tangga dari penanganan Covid-19.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, berdasarkan surat edaran tersebut, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit harus memusnahkan limbah Covid-19 untuk memutus dan mengendalikan penularan virus Sars-Cov-2.
“Limbah dari pasien Covid-19 itu harus dipisahkan dan dikemas secara tertutup. Limbah ini harus dimusnahkan dalam waktu dua hari menggunakan insinerator dengan suhu 800 derajat celcius di fasilitas kesehatan,” kata Vivien di Jakarta, Rabu, 22 April 2020.
Namun, tidak semua rumah sakit memiliki alat pemusnah limbah infeksius itu. Dari 2.820 rumah sakit di seluruh Indonesia, hanya 110 rumah sakit yang memiliki insinerator berizin. Khusus untuk rumah sakit rujukan pasien Covid-19, hanya ada 24 yang yang memiliki insinerator dari 132 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia. Sementara itu, perusahaan berizin yang menyediakan jasa pengolahan limbah B3 yang memiliki insinerator hanya terdapat 14 perushaan.
”Sebenarnya, ada rumah sakit yang memiliki insinerator tapi bukan merupakan rumah sakit rujukan dan ada juga insinerator yang tidak berizin. Ada juga yang punya tapi rusak seperti di Maluku,” jelas Vivien.
Menurut Vivien, dalam kondisi darurat fasilitas kesehatan yang punya insinerator yang sedang mengurus izin atau belum memiliki izin dapat mengoperasikannya. Asal, memenuhi syarat teknis yakni suhunya mencapai 800 derajat celcius.
"Memang kalau dalam keadaaan normal, operasional alat itu butuh izin dari KLHK. Tapi saat ini kan darurat dan kami perhitungkan jumlah limbah medis infeksius Covid-19 akan meningkat hingga 30 persen," kata Vivien.
Teknologi alternatif
Jumlah limbah medis infeksius akan terus meningkat selama pandemi Covid-19 belum berakhir. Karena itu, alternatif lain selain insinerator dibutuhkan untuk menjawab persoalan keterbatasan alat tersebut.
Ajeng mengatakan, ada teknologi lain yang bisa jadi opsi untuk mengolah limbah medis bagi fasilitas layanan kesehatan. Salah satunya adalah autoclave.
“Limbah Covid-19 itu bermacam-macam dan tidak semua bisa diinsinerasi. Material seperti PVC misalnya, harus dibakar diatas suhu 800 derajat celcius. Kalau tidak, bisa menimbulkan gas beracun dioksin,” kata Ajeng.
Menurutnya, selain terbatas, insinerator juga memiliki kekurangan lain. Teknologi tersebut memerlukan lahan yang luas serta pengendalian pencemaran udara. Sistem operasionalnya pun cukup kompleks, walau bisa mengolah limbah dalam jumlah banyak.
Sementara itu, autoclave lebih sederhana. Teknologi termal ini bekerja dengan sistem sterilisasi uap. Alat ini bisa membunuh bakteri atau virus pada suhu 120-140 derajat celcius selama 30 menit.
“Virus itu tergolong paling rentan rusak hanya dengan disinfektan. Teknologi termal juga sudah bisa mematikan virus,” jelas Ajeng.
Khusus mengolah limbah medis, autoclave dilengkapi alat pencacah. Selain itu, teknologi ini juga dapat mensterilkan peralatan dan perlengkapan dengan uap tekanan tinggi.
“Tidak ada emisi berbahaya dan bebas patogen. Aman untuk dibuang ke tempat pengumpulan sampah. Siklusnya pun mudah,” kata Ajeng.
Siklusnya penggunannya pun tidak sulit untuk dikendalikan dan teknologi penarapannya lebih mudah dibandingkan insinerator.
Teknologi autoclave untuk memproses limbah medis corona telah diatur juga oleh KLHK melalui surat edaran tentang pengellolaan limbah B2 yang bersifat infeksius atau berpotensi menular.
SHARE