Industri Ekstraktif Diduga Biang Banjir Sukabumi
Penulis : Aryo Bhawono
Ekologi
Sabtu, 14 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Banjir, tanah longsor, dan tanah bergerak melanda Sukabumi pada Senin 2 Desember 2024 lalu. Setidaknya 39 kecamatan dan 176 desa terdampak banjir serta risiko belasan warga meninggal dan hilang. Analisis yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan salah satu biang bencana itu adalah industri ekstraktif, yakni tambang dan kebun tanaman energi.
Mukri Friatna selaku Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI menyebutkan pemantauan citra satelit menunjukkan sedikitnya terdapat dua kawasan hutan yaitu pegunungan Guha dan Dano yang telah hancur tutupan hutannya.
“Kehancuran hutan itu diduga kuat karena aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. SGC melalui anak usahanya yaitu PT. Semen Jawa dan PT. Tambang Semen Sukabumi,” ucap dia dalam jumpa pers di Jakarta pada Jumat (13/12/2024).
Menurut Mukri, Walhi telah menolak kehadiran pabrik semen tersebut karena dikhawatirkan berpotensi menghancurkan kawasan karst yang akan menjadi bahan baku semen.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Barat, Wahyudin, menyebutkan pihaknya telah melakukan investigasi sejak tanggal 3 Desember. Tim mendapati degradasi lahan tak hanya terjadi di kawasan Guha dan Dano. Kerusakan hutan dan lingkungan juga terjadi akibat tambang emas dan tambang galian kuarsa untuk bahan baku semen di pabrik miliki PT SCG.
Pembukaan lahan terjadi di Desa Waluran, Kecamatan Jampang. Pembukaan hutan ini diduga kuat untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) guna pasokan serbuk kayu ke PLTU Pelabuhan Ratu.
“PT Perhutani, selaku pemegang otorita kawasan, telah memproyeksikan lahan seluas 1.307,69 Ha,” ucap Wahyudin.
Selain itu terdapat operasi tambang emas milik PT Wilton Makmur Indonesia di kawasan hutan di Ciemas dengan luas konsesi 300 Ha dan PT. Generasi Muda Bersatu di Simpenan.
Tim investigasi Walhi Jabar juga mendapati kawasan perhutanan sosial tidak luput dari objek tambang. Paling tidak terdapat bukaan tambang seluas 96,11 ha di petak 93 Bojong Pari dan Cimanintin.
“Padahal bila mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi, kawasan tersebut tidak masuk pada lokasi pertambangan dan juga bukan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR),” kata Wahyudin.
Menurutnya bencana ekologis yang telah memporakporandakan wilayah Sukabumi tak lepas dari kontribusi aktivitas-aktivitas ini. Ia pun mendesak kepolisian melakukan penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup terhadap korporasi-korporasi tersebut. Pemerintah harus menuntut perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan, mengganti kerugian yang diderita masyarakat dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang dijadikan objek tambang.
“Walhi sangat keberatan jika pemulihan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat hanya dibebankan kepada negara. Perusahaan juga harus ikut menanggung karena menangguk keuntungan,” tutup Wahyudin.
Selain itu perizinan terhadap perusahaan tersebut harus dievaluasi sebagai bagian dari mitigasi bencana. Selama ini, banyak bencana terjadi terkait dengan industri ekstraktif di sekitar kawasan terdampak.
“Saat ini Walhi sedang mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang diduga kuat berkontribusi pada bencana ekologis di Sukabumi,” ucap Manager penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi, Melva Harahap.
Pemerintah, kata dia, tak boleh gegabah memberikan perizinan kepada perusahaan ekstraktif dengan alasan investasi.
SHARE