Pilkada Papua 2024: Salah Pilih, Susah Pulih

Penulis : Joonathan Frizzy Mebri, PAPUA

OPINI

Selasa, 26 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

PAPUA adalah salah satu paru-paru dunia yang tersisa, tempat hutan-hutan primer berdiri tegak sebagai saksi peradaban masyarakat adat yang hidup harmonis dengan alam. Namun, hari ini, ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem Papua semakin nyata. Ironisnya, di tengah kekayaan alam Papua yang luar biasa ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa para calon pemimpinnya tidak menunjukkan komitmen yang serius terhadap pelestarian lingkungan, apalagi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Salah pilih kali ini, susah pulih nanti.

Ketika berbicara soal kepemimpinan, pertanyaan utama yang harus kita ajukan adalah: apakah mereka memahami bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan dan hak asasi manusia? Sayangnya, dari para calon yang kini muncul di panggung politik Provinsi Papua, tak satu pun yang tampak benar-benar berkomitmen untuk melindungi alam Papua. Di saat dunia semakin mengakui pentingnya keberlanjutan lingkungan, Indonesia, terutama Papua, tampaknya berjalan mundur.

Krisis lingkungan di Papua bukan hanya soal kerusakan ekosistem, tetapi juga masalah moralitas dan keadilan. Selama bertahun-tahun, masyarakat adat Papua menghadapi tekanan dari berbagai pihak: pemerintah, aparat keamanan, hingga perusahaan besar. Menurut Human Rights Watch, banyak dari proyek-proyek strategis nasional yang digadang-gadang pemerintah sebagai "penggerak ekonomi" justru menjadi ancaman nyata bagi masyarakat adat dan alam Papua. Tanpa persetujuan yang sah, tanah-tanah mereka diambil untuk kepentingan industri, yang hasilnya sebagian besar hanya menguntungkan segelintir elit dan perusahaan asing.

Laporan Amnesty International bahkan mencatat bagaimana upaya masyarakat adat untuk mempertahankan tanah mereka sering kali dibalas dengan kekerasan oleh aparat. Dalam situasi seperti ini, bagaimana kita bisa berharap ada pemimpin yang benar-benar memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan, jika komitmen politik mereka terhadap hal-hal ini nyaris tidak ada?

Potret salah seorang masyarakat adat Suku Awyu, Papua, saat melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta, Juli lalu. Masyarakat adat juga membawa dukungan petisi publik terhadap perjuangan mereka mempertahankan hutan. Dok. Greenpeace/Jurnasyanto Soekarno

Papua tidak butuh pemimpin yang hanya bisa berbicara soal pembangunan ekonomi tanpa peduli bagaimana pembangunan itu dilakukan. Kita butuh pemimpin yang berani mengutamakan  keberlanjutan dan keadilan. Jika kita melihat ke depan, harapan terbesar Papua adalah adanya kebijakan yang menghormati prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)yakni bahwa setiap pembangunan harus mendapatkan persetujuan masyarakat adat tanpa paksaan, dengan informasi yang jelas, dan sebelum proyek dijalankan. Prinsip ini juga diakui oleh Konvensi ILO No. 169 serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, namun sayangnya, masih belum terinternalisasi dalam kebijakan nasional.

Tantangannya, di sini, para bakal pemimpin baik di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi yang sekarang bertarung untuk menduduki kursi kekuasaan nampaknya malah menjadi bagian dari masalah, bukan solusi. Tidak ada dari para calon ini yang secara eksplisit menyoroti pentingnya perlindungan lingkungan atau hak-hak masyarakat adat. Sebaliknya, mereka terkesan lebih tertarik untuk menyenangkan korporasi dan membangun infrastruktur megah yang justru memperparah kerusakan alam.

Jika kita terus memilih pemimpin yang abai terhadap isu lingkungan, kita bukan hanya mengkhianati Masyarakat Adat Papua, tetapi juga masa depan generasi mendatang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah berulang kali memperingatkan bahwa laju deforestasi di Papua, jika tidak segera dihentikan, akan mengakibatkan kerusakan yang tidak bisa dipulihkan. Dalam laporannya, WALHI menyatakan bahwa "hutan Papua merupakan benteng terakhir kekayaan hayati Indonesia," dan hilangnya hutan ini akan menjadi bencana ekologi yang besar.

Papua tidak boleh hanya dilihat sebagai lahan kosong untuk dieksploitasi. Pemerintah pusat harus berhenti memandang alam sebagai aset yang bisa dimanfaatkan tanpa batas. Alih-alih, kita harus melihatnya sebagai warisan berharga yang harus dilestarikan - bukan hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk keberlanjutan kehidupan itu sendiri.

Pemilihan pemimpin yang tidak memiliki komitmen kuat terhadap perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat di Papua adalah sebuah kesalahan fatal. Salah pilih susah pulih dan ini bukan sekadar slogan, tetapi realitas pahit yang bisa kita hadapi. Kita harus memilih pemimpin yang berani berpihak pada masyarakat adat, yang paham bahwa keseimbangan ekosistem adalah fondasi dari pembangunan yang berkelanjutan. Lalu siapakah dia—apakah ada?

SHARE