Pemerintah Indonesia Dinilai Jualan Solusi tapi Palsu di COP29

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Rabu, 27 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pemerintah Indonesia dinilai lebih bertindak sebagai penjaja karbon yang hanya akan menguntungkan negara-negara penghasil emisi, dan menciptakan cuan baru bagi segelintir konglomerat industri ekstraktif di Indonesia dalam Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan. Adapun rencana Presiden Prabowo yang akan meluncurkan pendanaan ekonomi hijau, dengan target penjualan 557 juta karbon, mengandung banyak solusi palsu yang mempertaruhkan keanekaragaman hayati, masyarakat adat, bahkan tanggungan utang-utang baru.

Perdagangan karbon ini ditargetkan bisa meraup US$65 miliar (sekitar seribu triliun rupiah) pada 2028, digadang-gadang mampu membuka lapangan pekerjaan baru yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi jadi 8%, dan penghutanan kembali. Penjualan karbon yang disebut pemerintah sebagai aksi iklim ini ingin mengingkari ketidakhadiran negara saat hutan-hutan alam sebagai natural carbon sink dibabat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan pada 2023 lalu, hutan habitat satwa langka terancam punah orang utan, dan sumber kehidupan masyarakat adat di Kalimantan Barat seluas 33 ribu hektare dihancurkan oleh satu perusahaan saja.

“Penjualan karbon dikampanyekan di saat pemerintah tidak bertindak apa-apa ketika hutan-hutan alam dihancurkan baik untuk pencapaian target program transisi energi palsu melalui co-firing biomassa maupun proyek strategis nasional seperti food estate di Papua dan kawasan industri hilirisasi di timur Indonesia,” kata Amalya Reza, Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia, dalam sebuah pernyataan resmi, 22 November 2024.

Alih-alih menjajakan karbon, aksi iklim yang bisa dilakukan pemerintah selain menghentikan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru dan memensiunkan pembangkitan dari sumber energi fosil adalah menerapkan pajak karbon bagi para pencemar emisi. Regulasi Indonesia telah mengenal pajak karbon sebagai tindakan preventif yang akan menghitung dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan sebagai biaya yang dipertanggung-jawabkan.

Utusan Khusus Presiden Indonesia, Hashim Djojohadikusumo, di COP29 Baku, Azerbaijan. Dok. PLN

Dari banyak kajian mengungkapkan, Pemerintah Indonesia dapat memperoleh potensi penerimaan pajak dari sektor energi senilai Rp23,651 triliun pada 2025 dari pajak karbon yang dikenakan. Sedangkan kajian lain menyebut potensi pendapatan minimal bisa mencapai Rp51 triliun untuk pajak karbon dan Rp145 triliun dari izin karbon per tahunnya.

“Sudah saatnya Presiden Prabowo membalikkan kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan dan bertindak melindungi warga yang semakin rentan melalui pemungutan pajak dari industri penghasil emisi penyebab cuaca ekstrem dan pemanasan global,” ujar Beyrra Triasdian, Pengkampanye Energi Terbarukan Trend Asia.

Menurut Beyrra, perdagangan karbon yang didorong melalui mekanisme pasar hanya akan menjadikan masyarakat lokal sebagai penanggung pajak karbon. Terlebih regulasi yang dibuat pemerintah telah memfasilitasi pengenaan pajak karbon yang potensinya jauh lebih besar dari yang ditargetkan melalui pasar. Alih-alih mendorong energi terbarukan untuk mengatasi emisi karbon, lanjut Beyrra, pilihan solusi palsu yang ditawarkan malah akan menjebak Indonesia dalam praktik greenwashing saja.

“Padahal pengenaan pajak karbon terbukti cukup efektif untuk mendorong perusahaan pencemar mengubah bisnisnya menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan,” ujar Beyrra.

Pemerintah Indonesia, imbuh Amalya, juga acapkali menggunakan solusi palsu transisi energi. Sebagai contoh, pemerintah menjauhi deforestasi tapi dengan mendorong pembakaran kayu (co-firing biomassa) melalui Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hutan Tanaman Energi (HTE). Padahal keduanya merupakan jenis hutan yang rakus lahan dan merusak ekosistem di sekitarnya. Riset Trend Asia (2022) juga menemukan bahwa keberadaan HTE tidak mampu menekan sampai nol emisi akibat deforestasi yang dihasilkan.

“Upaya untuk mereduksi krisis iklim seharusnya fokus pada pendekatan non pasar yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem di sekitarnya, misalnya pemulihan menyeluruh hutan yang dibabat dan melakukan pemulihan ekonomi bagi masyarakat terdampak. Pemulihan ekonomi bukan hanya dinilai dengan uang, tapi sistem ekonomi berkeadilan dan berkelanjutan,” ucap Amalya.

SHARE