MA Tolak Kasasi Suku Adat Awyu yang Ingin Pertahankan Hutan

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Sabtu, 02 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Hendrikus Woro, pembela lingkungan hidup dan warga adat suku Awyu, mengaku kecewa setelah mendengar putusan Mahkamah Agung (MA). Pada 1 November 2024, dia menerima kabar para hakim menolak permohonan kasasi yang diajukannya untuk membatalkan izin ekspansi perusahaan sawit tanah leluhurnya di Boven Digoel, Papua Selatan. 

Hendrikus telah menjalani proses hukum melawan perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari selama 17 bulan, sejak pertama kali mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada 13 Maret 2023. Bersama penggiat lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Hendrikus memiliki satu misi: mempertahankan hutan adat yang dikelola masyarakat adat Awyu dari ekspansi korporasi sawit tersebut. 

Perjuangannya itu terasa sia-sia karena Hendrikus merasa suaranya tidak didengar. “Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya,” ujarnya setelah menerima kabar terbaru itu, Jumat, 1 November 2024. 

“Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” keluhnya. 

Potret salah seorang masyarakat adat Suku Awyu, Papua, saat melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta, Juli lalu. Masyarakat adat juga membawa dukungan petisi publik terhadap perjuangan mereka mempertahankan hutan. Dok. Greenpeace/Jurnasyanto Soekarno

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua–yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil pemerhati hutan dan lingkungan hidup–menilai putusan tersebut menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, termasuk yang sedang berjuang di pengadilan melawan perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak hutan dan tempat penghidupan mereka. 

Hendrikus mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 14 Maret 2024, setelah PTUN Jayapura dan Pengadilan Tinggi TUN Manado menolak gugatan dan upaya bandingnya. Dalam gugatannya, Hendrikus mempertanyakan izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan pemerintah provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit tersebut memiliki izin lingkungan seluas 36.094 hektare–melebihi setengah luas DKI Jakarta–dan tumpang tindih dengan hutan adat marga Woro, yang merupakan bagian dari suku Awyu. 

Menurut catatan Koalisi, dari dokumen Mahkamah Agung Nomor 458 K/TUN/LH/2024, diketahui bahwa putusan tersebut diambil dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim 18 September lalu. Dokumen lengkapnya baru bisa diakses pada 1 November 2024. Dari ketiga hakim yang mengadili perkara tersebut, hakim bernama Yodi Martono Wahyunadi, mengeluarkan pendapat berbeda atau dissenting opinion

Poin penting dissenting opinion

Koalisi mencatat, salah satu poin penting dari pendapat Yodi Martono terkait tenggat waktu gugatan 90 hari–yang sebelumnya menjadi dalih PTTUN Makassar untuk menolak permohonan banding Hendrikus. Dalam pertimbangannya, hakim Yodi Martono merujuk Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, bahwa perhitungan yang dimaksud hanya hari kerja. Perhitungan tenggat waktu juga mesti mencakup hari libur lokal Provinsi Papua. Namun, karena mempertimbangkan keadilan substantif ketimbang keadilan formal, hakim Yodi berpendapat pengadilan perlu mengesampingkan ketentuan tenggat waktu itu dengan melakukan invalidasi praktikal. 

“Dari pertimbangan dissenting opinion menyangkut tenggat waktu tersebut, kami menilai Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal Peraturan Mahkamah Agung adalah petunjuk yang digunakan peradilan internal,” kata Tigor Hutapea, tim hukum suku untuk Awyu dan staf Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. 

“Putusan MA ini tidak berarti objek gugatan sudah benar karena dua hakim tidak memeriksa substansinya. Namun satu majelis hakim dalam dissenting opinion menyatakan bahwa penerbitan amdal terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah kehidupan masyarakat adat, yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun,” ujarnya. 

Masyarakat adat suku Awyu melewati hutan yang telah dibabat di area Kali Wosu Wanggaban, Papua, di dalam konsesi PT IAL. Dok. Yayasan Pusaka

Menurut Tigor, hakim Yodi Martono berpendapat bahwa objek gugatan–surat izin lingkungan hidup untuk PT IAL–bertentangan dengan berbagai asas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga harus dibatalkan. Namun, hakim Yodi kalah dalam pemungutan suara.

“Ini menjadi kabar duka kesekian bagi masyarakat Awyu karena pemerintah dan hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua akan lebih berat apalagi dengan pemerintahan hari ini yang berambisi membabat hutan di Papua Selatan untuk food estate,” Sekar Banjaran Aji, anggota tim advokasi Koalisi dan pengkampanye hutan Greenpeace Indonesia. 

“Hutan Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Saat banyak orang di dunia sedang membahas bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati global dari kepunahan, seperti yang berlangsung di COP16 CBD Kolombia saat ini, kita justru mendapat berita buruk makin terancamnya keanekaragaman hayati dan masyarakat adat di Tanah Papua,” katanya. 

Data Yayasan Pusaka pada 2024 mencatat total luas izin di Tanah Papua mencapai 1,57 juta hektare. Seluruh izin ini dikelola oleh 58 korporasi sawit. Tidak hanya sektor perkebunan, industri kehutanan juga menguasai hutan dan lahan di Tanah Papua. 

Nasib kasasi lain menjadi tanda tanya 

Saat ini sejumlah masyarakat adat Awyu lainnya tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya. Keduanya merupakan perusahaan sawit yang sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, melalui izin yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay, putusan MA atas kasus PT IAL dapat berpengaruh pada nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya. 

Perempuan adat Papua memegang poster saat berkampanye di Jakarta. Dok. Kennial Laia/Betahita

Perjuangan masyarakat adat Awyu mencuat dan viral dalam pembahasan di media sosial hingga muncul tagar viral #AllEyesonPapua. Sebelumnya dukungan petisi juga mengalir, berupa 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan ke MA pada 22 Juli lalu. Emanuel menyayangkan dukungan publik tersebut tak cukup mengetuk pintu para hakim. 

Meski demikian, Emanuel mengatakan kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah, sebab suku Awyu sebagai pemilik hak adat belum melepaskan haknya. 

“Masyarakat adat Awyu tetap berhak atas hutan adat mereka–yang telah ada bersama mereka secara turun-temurun sejak pertama mereka menempati wilayah adat. Masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih dan Papua bukan tanah kosong,” kata Emanuel. 

“Kami berharap dan meminta publik dapat terus mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat,” katanya.

SHARE