Umbar Lapak di Ujung Kuasa

Penulis : Ibrahim Fahmy Badoh, Direktur Tambang Auriga Nusantara

Opini

Jumat, 19 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

DI TENGAH gonjang-ganjing menjelang Pemilu 2024, berbagai instrumen kebijakan pro-investasi terus dirajut. Seolah banal dari teriakan rakyat yang terusir, umbar lapak beralas kuasa terus berjalan di sektor sumber daya alam.

Berita dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) 70 tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi yang seolah sembunyi-sembunyi sejak Oktober 2023 dan baru terendus dua bulan kemudian menambah panjang deretan kebijakan yang dinilai pro-investasi. Perpres ini dipandang sepaket dengan Perpres 78 tahun 2023 tentang Perubahan atas Pepres 62 tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Kedua Perpres ini seolah memperlengkapi kehadiran Peraturan Pemerintah tentang Bank Tanah (PP No. 64 tahun 2021) yang sudah lebih dulu dibentuk berdasarkan Undang-Undang 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga mendapatkan reaksi penolakan sangat keras dari berbagai kelompok masyarakat.

Perpres 70/2023 seolah bentuk penegasan negara dalam hal ini Presiden sebagai pemilik hak legislasi yang dijamin Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 soal keseriusannya menyediakan ruang kelola investor baik untuk skala bisnis kecil yang dikelola oleh organisasi masyarakat (ormas), koperasi, Badan Usaha Milik Desa dan Daerah (BUMDes/D) sampai ke investor kelas besar dan kakap. Jika Bank Tanah akan mengupayakan ruang bisnis dalam bentuk factor produksi tanah lewat lahan-lahan tak bertuan, tak terkelola milik perusahaan atau masyarakat yang kemudian diiventarisir sebagai asset Bank Tanah, maka lewat Perpres 70/2023 ini, Pemerintah akan memastikan redistribusi konsesi negara atas sumber daya alam hutan, lahan kebun dan tambang dari aset-aset negara yang sebelumnya terkena tindakan penertiban ijin.

Nah, jika terjadi eskalasi konflik lahan, yang mana sudah pasti akan terjadi di berbagai tempat karena pencaplokan tanah oleh negara baik lewat skema penguasaan bekas lahan eks konsesi ataupun lahan nganggur maka penerapan Perpres 78/2023 akan menjadikan penguat tameng ‘muka badaknya’ para antek investor ini untuk berhadapan dengan masyarakat di banyak tempat. Munculnya berbagai konflik agraria yang menghadapkan langsung masyarakat dengan konsesi bisnis para investor ini sudah banyak terjadi terutama di kawasan yang berbatasan langsung dengan proyek strategis nasional (PSN) di hampir semua pulau di Indonesia, seperti di kawasan Weda, Kabupaten Maluku Utara (IWIP), Kawasan IMIP dan IHIP di Morowali, Kawasan PT. GNI di Morowali Utara, Konflik dengan Masyarakat Adat Melayu di Rempang dan Konflik pembangunan kawasan Bandara untuk Proyek IKN di Kalimantan Timur.

Cacat Substansi 

Sektor industri pertambangan, hingga Desember 2023, terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengkapling 34 pulau kecil di Indonesia. Dok: Jatam

Kelahiran Perpres 70/2023 dan Perpres 78/2023 memiliki cacat substansi bawaan seperti halnya kelahiran PP 64/2021 tentang Bank Tanah. Jika ditelisik lebih jauh alas konsideran kedua Perpres ini hanya mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, artinya materi muatan aturannya murni didasarkan pada kekuasaan legislative yang dimiliki Presiden menurut Konstitusi, tidak dibuat sebagai penjabaran aturan lebih tinggi di atasnya, baik Peraturan Pemerintah, maupun Undang-undang. Dengan demikian Perpres ini akan memiliki masalah substansi dalam pengaturan terkait kewenangan yang itu dapat terbaca di beberapa tempat di dalam substansi pengaturannya. Aturan terkait Bank Tanah juga sama halnya. Meski memiliki cantolan substansi lewat UU Cipta Kerja, akan tetapi substansi terkait Bank Tanah tetap dinilai bermasalah karena sempat muncul di dalam draft RUU Perubahan Undang-undang Pokok Agraria akan tetapi ditentang banyak kalangan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar.

Padahal jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya secara subtansi pengaturan, Perpres 70/2023 seharusnya memiliki cantolan yaitu Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, juga Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Akan tetapi Perpres ini nampaknya akan lebih mengkhususkan pada percepatan redistribusi kembali lahan-lahan konsesi di bidang kehutanan, sawit dan tambang lewat pembentukan suatu tim atau satuan tugas dalam rangka percepatan.

Konflik Kewenangan

Perpres 70/2023 mengamanatkan adanya pembentukan tim satuan tugas dan evaluasi (satgas) yang bertujuan melakukan pemetaan pemanfaatan lahan bagi kegiatan pertambanga, perkebunan dan pemanfaatan hutan dan memberikan rekomendasi kepada menteri terkait terutama terhadap hasil pencabutan/penertiban ijin berusaha yang dilakukan sebelumnya. Amanat Perpres ini dikhawatirkan akan menyebabkan konflik kewenangan dengan tugas dan fungsi penetapan kawasan untuk kegiatan usaha yang sudah dijalankan oleh masing-masing instansi. Apalagi di dalam Pasal 2 huruf d dan e disebutkan bahwa tim satgas ini juga bertugas menetapkan kebijakan pemanfaatan dan peruntukan lahan.

Sebagai contohnya di sektor tambang dan energy, menurut kajian Auriga Nusantara, di tahun 2022, pasca pencabutan ijin di awal tahun, jumlah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel secara keseluruhan bertambah, yaitu sebanyak 27 IUP di tahun 2022 dan 8 IUP di tahun 2023, total sebanyak 35 IUP Nikel dengan luas konsesi yang bertambah dari total 779.323 ha di tahun 2022 menjadi 891.150 ha di tahun 2023 atau bertambang seluas 111.827 ha. Kewenangan Satgas dalam hal kuasa ijin pertambangan dapat melangkahi Peraturan Pemerintah no. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan yang mana tugas Satgas juga sudah di atur di dalam Pasal 3 hingga Pasal 6 dari PP/9 tersebut. Hal yang sama juga bisa terjadi di sektor lain, yaitu sektor Perkebunan dan Kehutanan di mana masing-masing sudah memiliki aturan pelaksanaan dalam pemberian ijin usaha Kebun dan Hutan yang di atur di dalam Peraturan Pemerintah yang lebih tinggi dari Peraturan Presiden.

Seperti diketahui, pada awal Januari 2022, Presiden Joko Widodo didampingi para Menteri terkait mengumumkan pencabutan ijin atas 2.294 konsesi sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari 2.078 kontrak tambang mineral dan batubara, 192 izin usaha kehutanan seluas 3,1 juta hektar dan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan atas 24 Perusahaan seluas 34,4 ribu hektar. Pencabutan ini didasari atas kepatuhan para pemegang konsesi tambang, hutan dan kebun terhadap kewajiban pelaporan rencana pengelolaan juga terkait penelantaran lahan yang dianggap tidak produktif dan tidak memberikan pendapatan bagi negara. Selain dari upaya penertiban oleh Pemerintah Pusat di atas, penertiban bahkan moratorium atas ijin usaha tambang juga sempat dilakukan di era tahun 2014-2019 di beberapa daerah yang dijalankan sesuai Program Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (korsup-KPK). Penertiban di beberapa daerah ini dilakukan dengan berbagai alasan, salah satunya pertimbangan lingkungan dan juga terjadinya konflik dengan masyarakat. Artinya, penertiban ijin juga dimaksudkan agar lokasi bekas ijin tidak untuk ditempati oleh ijin yang lain, agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran dalam tata kelola perijinan sumber daya alam di Indonesia, Perpres 70/2023 ini sebaiknya dicabut atau ditinjau kembali dalam konteks efektifitas pelaksanaannya. Belajar dari pengalaman pencabutan ijin massal sebelumnya, akan lebih efektif dengan menjalankan fungsi koordinatif saja dengan tetap memegang prinsip tata kelola perijinan yang baik. Jika memaksakan membentuk tim satgas Perpres ini ini patut diduga melangkahi wewenang apalagi dibuat dengan alas kebijakan yang tidak jelas.**

SHARE