Hari-Hari Sonder HAM Akibat PLTU
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hari Hak Asasi Manusia 2023
Rabu, 06 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sarjani merasa kualitas udara di tempat tinggalnya, di Desa Sumberadem, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar), sudah tidak sehat lagi. Ia dan warga lainnya sering sesak nafas, sakit mata, dan lain sebagainya. Itu terjadi sejak cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu 1, mulai menyemburkan abu hasil pembakaran batu bara (fly ash).
"Kualitas udara sudah tidak seperti dulu lagi," kata Sarjani, Senin (4/12/2023).
Setahu Sarjani, asap dan abu pembakaran batu bara PLTU ini dihasilkan setiap hari. Mengepul dari cerobong. Abu itu sebagian ada yang jatuh ke pemukiman warga. Bisa giliran. Saat angin berhembus ke arah timur, abu tersebut akan jatuh di daerah pemukimannya di Desa Sumuradem. Sementara, kalau angin bertiup ke barat, abu itu akan melanda wilayah Desa Patrol, Desa Eretan dan sekitarnya.
Operasi PLTU Indramayu, imbuh Sarjani, juga membawa dampak buruk terhadap perekonomian warga. Sejak PLTU beroperasi, nelayan sudah tidak bisa lagi menangkap ikan di sekitar PLTU. Menurutnya, itu dikarenakan perairan sekitar PLTU terlalu banyak tongkang pengangkut batu bara yang lalu lalang, yang membikin hilang habitat ikan dan udang.
Tak hanya berdampak pada nelayan. Para petani sekitar PLTU juga merana akibat hasil tani yang buruk akibat tanah dan tanamannya tersiram abu pembakaran batu bara PLTU. Ada yang aneh juga. Semenjak PLTU Indramayu beroperasi, serangan hama, termasuk tikus, dirasa Sarjani meningkat.
"Hak-hak kami mendapatkan lingkungan yang sehat dan bersih sudah terampas dengan adanya PLTU. Saya berharap, PLTU Indramayu ditutup total, dan PLTU 2 yang masih dalam perencanaan dibatalkan permanen," ujarnya.
Rusaknya ruang hidup akibat operasi PLTU tak hanya terjadi di Indramayu. Di Indonesia, berdasarkan data Global Energi Monitor (GEM), per Juli 2023, ada sekitar 238 unit PLTU yang beroperasi, yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Di Suralaya, Kabupaten Cilegon, Banten, misalnya. Menurut Penilaian Dampak Kesehatan (HIA) yang dilakukan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), yang hasilnya dirilis 12 September 2023 lalu, terungkap dampak buruk polusi udara dari kompleks PLTU batu bara Suralaya - Banten.
Dengan menggunakan nilai rata-rata dari pengukuran (skenario base), penelitian CREA ini menemukan bahwa kompleks PLTU Suralaya menyebabkan tingginya tingkat polusi udara di wilayah yang luas dan padat penduduk, dengan nilai rata-rata konsentrasi PM2.5 tahunan sebesar 1,0 µg m3 di separuh bagian utara Provinsi Banten, yang berpenduduk 13 juta jiwa dan mencakup Serang dan Cilegon. Bisa diyakini kian dekat kompleks PLTU akan kian pekat konsentrasi PM2.5-nya. Adapun standar WHO sendiri mensyaratkan konsentrasi PM2.5 tidak boleh lebih dari 5.0 µg m3.
Dampak polusi udara dari kompleks PLTU Suralaya-Banten ini, menurut CREA, juga termasuk hilangnya 1.470 nyawa setiap tahunnya dan kerugian kesehatan yang menelan biaya USD1,04 miliar atau Rp14,2 triliun. Dengan menggunakan nilai maksimum dari pengukuran (skenario Base_Max), penelitian ini menemukan dampak dari kompleks PLTU ini semakin meningkat, mencapai angka kematian tahunan hingga 1.640 orang dan kerugian kesehatan yang menelan biaya USD1,16 miliar atau Rp15,8 triliun.
Dalam skenario nilai maksimum (skenario Base_Max), 1.640 kematian mencakup 1.063 kematian yang disebabkan oleh paparan PM2.5 yang menyebabkan kematian pada populasi orang dewasa akibat stroke (401), penyakit jantung iskemik (365), infeksi saluran pernapasan bawah (91), penyakit paru obstruktif kronik (86), kanker paru-paru (72), dan diabetes (16), serta pada anak di bawah usia 5 tahun, yang disebabkan infeksi saluran pernapasan bawah (8).
Sumber: Laporan CREA-Model CALPUFF (Exponent, 2015) dan penilaian dampak kesehatan (Myllyvirta, 2020)
PLTU merampas hak atas lingkungan yang baik dan sehat
"PLTU batu bara mengakibatkan hak asasi warga mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi tak terpenuhi dalam beberapa cara," ujar Ahmad Ashov Birry, dari Trend Asia, Jumat (1/12/2023) pekan lalu.
Lebih lanjut Ashov menjelaskan, definisi lingkungan hidup menurut Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, serta makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain.
Pertama, kata Ashov, PLTU batu bara mencemari udara, air, tanah, bahkan sumber pangan dan penghidupan warga dengan debu dan partikel halus berbahaya, dan juga tumpukan abu beracun dari hasil pembakaran batu bara, dan juga air bahang yang merusak ekosistem perairan yang menjadi lahan penghidupan nelayan.
Pencemaran tersebut, menurutnya, merusak kesehatan warga dalam jangka pendek dan jangka panjang, dan juga pemiskinan karena lingkungan hidup yang menjadi penyokong penghidupan mereka juga terganggu. Hal ini semakin parah jika kita memasukkan dampak negatif dari pertambangan batu bara dan transportasi batu bara.
Kedua, pembukaan lahan untuk pertambangan batu bara dan pembakaran batu bara juga melepaskan emisi gas rumah kaca karbon dioksida yang memicu krisis iklim, yang dampaknya akan lebih parah dirasakan oleh mereka yang telah direntankan, termasuk warga yang kesehatan dan penghidupannya telah dirusak oleh PLTU batu bara.
"PLTU batu bara mana saja dan jenis apa saja, termasuk PLTU batu bara captive industri ataupun penggunaan batu bara untuk proses industri, akan mengakibatkan pencemaran dan melanggar hak asasi warga sekitar, baik secara langsung lewat pencemaran udara ataupun secara tidak langsung melalui dampak krisis iklim. Pencemaran bersifat lintas batas, dan krisis iklim berdampak global," ujar Ashov.
Pemerintah tidak benar-benar serius memandang lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Ashov memandang, pemerintah masih setengah hati menjadikan HAM sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Bahkan menurutnya, pemerintah tidak benar-benar serius memandang lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM.
Sebagai contoh, imbuhnya, kasus memburuknya kualitas udara Jakarta, dan upaya banding yang dilakukan oleh Presiden dan jajaran pemerintahan yang digugat oleh warga karena lalai menjaga kualitas udara. Padahal gugatan tersebut telah dikabulkan oleh pengadilan.
Ashov merasa, proyek-proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah terkesan bukan untuk kesejahteraan warga, tapi lebih berat dan dipaksakan untuk kepentingan profit jangka pendek. Banyak hak asasi warga untuk ekosistem yang sehat dan keragaman hayati, air yang aman dan cukup, pangan yang sehat dan berkelanjutan, lingkungan yang tidak beracun sebagai hak substantif dari hak atas lingkungan hidup yang sehat, juga hak prosedural seperti akses atas informasi, partisipasi publik, dan akses atas keadilan yang dilanggar atas nama pembangunan.
"Hal tersebut nampak jelas misal pada proyek-proyek PSN seperti smelter nikel, ataupun banyak proyek pembangkitan energi seperti PLTBM Biomassa di Mentawai dan di berbagai tempat lain," ucap Ashov.
Pelanggaran HAM oleh operasi PLTU ini juga pernah dipotret oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam Laporan Hukum dan HAM YLBHI Tahun 2019: Reformasi Dikorupsi Oligarki yang dirilis Januari 2020 lalu.
Dalam laporan tersebut, YLBHI mengungkapkan, pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat mendominasi jenis pelanggaran hak atas hidup sepanjang 2019, yakni berjumlah 52 kasus. Pencemaran lingkungan, perubahan kebijakan tata ruang, dan pengurasan sumber daya alam juga mengakibatkan hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (33 kasus). Pelanggaran lainnya, yakni hak atas pangan (30 kasus), hak atas air (32 kasus) dan hak atas udara (32 kasus).
Ada beberapa macam kasus pencemaran lingkungan, tetapi yang dominan salah satunya adalah pencemaran lingkungan karena beroperasinya PLTU. YLBHI mencatat, operasi PLTU mengakibatkan nelayan dan pedagang kecil kehilangan mata pencahariannya, penduduk menderita berbagai penyakit akibat limbah cair PLTU dan pencemaran udara.
Di Riau misalnya, warga menderita radang tenggorokan/faringitis, radang kulit/dermatitis, dan alergi. Di Cilacap, limbah fly ash dan bottom ash dari PLTU-B PT S2P mengakibatkan udara kotor, debu hitam yang selalu menempel di rumah penduduk, serta penyakit ISPA, paru-paru, hingga batuk berdarah.
Kemudian di Sumatera Barat, PLTU Ombilin yang telah beroperasi sejak 1997 telah memasuki usia tua dan harus segera di-decomisioning, namun dalam beberapa bulan belakangan kondisi cerobong asap semakin memburuk, karena filter udara salah satu cerobong mengalami kerusakan, sehingga masyarakat harus menghirup udara kotor sisa hasil pembakaran/fly ash, dan yang paling terkena dampak dari itu semua adalah anak-anak SDN 19 Sijantang Koto yang bersekolah hanya beberapa meter dari PLTU.
Rusaknya filter asap ini bahkan terjadi di pembangkit baru. Di Tidore, Maluku Utara, misalnya, seperti yang pernah dilaporkan peserta program fellowships liputan investigasi Pasopati Project.
Ratusan PLTU beroperasi tersebar di 27 provinsi
Menurut data GEM, hingga Juli 2023, jumlah PLTU yang beroperasi di Indonesia sebanyak 238 unit, dimiliki oleh 88 perusahaan, tersebar di 27 provinsi. Ratusan PLTU ini bila digabungkan kapasitas produksinya mencapai 45.346,6 MW.
Jumlah tersebut sudah termasuk PLTU captive atau PLTU yang dimiliki perusahaan swasta dan energi listrik yang dihasilkan hanya digunakan untuk kepentingan privat, tidak dijual kepada publik, yang jumlahnya sebanyak 86 unit dengan total kapasitas 9.430,6 MW. PLTU captive ini digunakan untuk industri pertambangan, kimia, pulp & paper, tekstil, aluminium, baja dan lain sebagainya, termasuk smelter.
Sementara itu, jumlah PLTU yang sedang dalam proses konstruksi ada 53 unit, dengan total kapasitas 14.499 MW, berada di 14 provinsi. Sebanyak 30 di antaranya merupakan PLTU captive dengan total kapasitas 8.060 MW.
Peta sebaran PLTU yang sudah beroperasi dan tahap konstruksi di Indonesia, per Juli 2023. Sumber: data GEM, per Juli 2023, diolah. Desain: Robby Eebor
Dalam riset yang berjudul Financing Indonesia's Coal Phase-Out, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai ada 12 PLTU batu bara yang layak dipensiunkan dini. Beberapa PLTU layak dipensiunkan karena kondisinya sudah menua dan mencapai akhir umur ekonomis, seperti Banten Suralaya dan PLN Paiton di sistem Jawa-Madura-Bali, Bukit Asam Muara Enim di sistem Sumatera, dan Asam-Asam di sistem Kalimantan.
Beberapa pembangkit lainnya, memiliki rekam jejak buruk, karena dibangun di dekat wilayah permukiman warga. Contohnya, PLTU Cilacap Sumber dan Ombilin yang sudah diprotes warga karena abu sisa pembakaran batu bara (fly ash/bottom ash) yang menyebabkan masalah pernapasan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, berharap sejumlah PLTU milik PT PLN bisa masuk dalam daftar PLTU yang dipensiunkan dini menggunakan APBN. Agar perusahaan plat merah itu bisa segera berinvestasi ke energi terbarukan.
Meski diakuinya, mempensiunkan dini PLTU PLN lebih ribet ketimbang PLTU milik swasta atau independent power producer (IPP). Sebab pertanggungjawaban keuangan PLTU PLN lebih rumit dibanding PLTU swasta.
Fabby menyebut, tidak semua PLTU batu bara yang beroperasi saat ini harus dipensiunkan dini. Soalnya ada beberapa faktor penentu suatu PLTU layak dipensiunkan dini. Selain dampaknya terhadap keamanan energi, hal yang perlu diperhatikan dalam pensiun dini PLTU adalah sistem pembiayaannya.
Menurut Fabby, PLTU yang layak dipensiunkan adalah PLTU yang usia ekonomisnya sudah habis. Semakin muda usia PLTU semakin tinggi biaya pensiun dininya. Begitu pula sebaliknya.
"Karena baru beroperasi dan investasinya harus dikembalikan. Kalau usianya 20 tahun, rata-rata bisa dipensiunkan. Karena kemungkinan pengembalian investasinya sudah dilakukan. Tidak terlalu ribet kalau pinjaman banknya sudah dikembalikan," kata Fabby, Senin (23/10/2023).
Solusi palsu co-firing biomassa
Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil menyoal masuknya co-firing biomassa di 52 PLTU batu bara dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Mereka menganggap penggunaan biomassa untuk bahan bakar campuran PLTU tak pantas masuk dalam skema pendanaan JETP.
Kelompok ini menyebut co-firing biomassa bermasalah, karena energi dari pembakaran biomassa bersifat problematik untuk disebut sebagai solusi pengurangan emisi karbon. Kayu, menurut mereka, adalah bahan bakar yang buruk, polutif, dan padat karbon. Namun, ia dianggap netral karbon karena emisi dari pembakaran kayu diasumsikan akan ditangkap kembali oleh pohon yang ditanam di perkebunan kayu energi, atau lazim disebut hutan tanaman energi (HTE).
Pembakaran kayu, menurut kelompok masyarakat sipil, tetap menghasilkan hutang karbon yang butuh puluhan tahun untuk dilunasi--waktu yang terlalu panjang dalam rangka melawan perubahan iklim. Hutang ini terjadi karena penyediaan feedstock biomassa diperoleh dari pembukaan kebun energi yang menghilangkan hutan alam. Dalam skala besar, biomassa kayu tidak akan netral karbon karena kecepatan penyerapan karbon lewat pertumbuhan pohon baru tidak akan menandingi kecepatan pembakaran kayu.
Dalam praktik co-firing, biomassa akan dimanfaatkan untuk pencitraan bersih dan menunda pemensiunan PLTU. Hal ini akan memperpanjang penderitaan warga di sekitar PLTU, yang didera polusi dan limbah. Bertentangan dengan beberapa klaim pemerintah, praktik co-firing tidak mengurangi polusi dan limbah.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin, mengatakan penggunaan biomassa sebagai bahan bakar campuran PLTU batu bara akan memunculkan masalah baru bagi keberlangsungan alam dan manusianya. Apabila mendapatkan dukungan biaya internasional, biomassa akan semakin memperburuk pencemaran di hilir.
"Tak hanya itu masyarakat di sekitar PLTU setiap harinya akan terus dibanjiri polusi dari aktivitas pembakaran batu bara dan serbuk kayu. Sebelum co-firing diterapkan di dua PLTU di Jawa Barat, warga sudah merasakan dampak kesehatan dari aktivitas PLTU. Bila ditambah dengan campuran serbuk kayu, maka potensi gangguan kesehatan warga sekitar akan lebih parah," kata Wahyudin, Senin (27/11/2023) lalu.
Jelaga PLTU batu bara lebih berbahaya
Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Science, untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa polusi jelaga dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara lebih berbahaya dibandingkan jelaga dari sumber lain. Selama dua dekade terakhir, para peneliti menemukan jelaga PLTU batu bara berkontribusi terhadap kematian setidaknya 460.000 orang Amerika, termasuk 25% dari seluruh kematian di antara penerima Medicare sebelum 2009.
Kematian yang disebabkan oleh jelaga PLTU batu bara telah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir karena perusahaan utilitas menutup sejumlah pembangkit listrik mereka yang paling kotor dan membersihkan pembangkit listrik lainnya--perubahan yang disebabkan oleh peraturan federal yang lebih ketat tentang udara bersih, persaingan dari pembangkit listrik berbahan bakar gas yang lebih murah, dan tekanan hukum dari kelompok lingkungan hidup.
“Fakta bahwa diperkirakan ada lebih dari 40.000 kematian per tahun pada dua dekade lalu dan jumlahnya kini turun menjadi 1.600 per tahun merupakan kisah sukses yang luar biasa,” kata Jonathan Levy, ketua Departemen Kesehatan Lingkungan di Universitas Boston, dikutip dari PHYS.org.
Jelaga, juga dikenal sebagai materi partikulat, merupakan produk sampingan dari pembakaran tidak sempurna dan dapat terbentuk melalui reaksi kimia antara sulfur dioksida yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan senyawa lain di atmosfer. Jenis jelaga yang paling menjadi perhatian para peneliti kesehatan masyarakat, yakni PM 2.5, sangat kecil sehingga ribuan partikel halusnya dapat muat pada titik di akhir kalimat ini.
Menghirupnya, meskipun sedikit saja, dapat menyebabkan peradangan pada paru-paru dan memicu serangan asma. Penelitian sebelumnya telah menghubungkan paparan jelaga dengan serangan jantung dan kematian dini.
PM 2.5 sebabkan 250 ribu kematian di Eropa
Sedangkan di Eropa, dalam laporan Badan Lingkungan Eropa atau European Environment Agency (EEA) yang dirilis Jumat pekan lalu, polusi udara saat ini merupakan faktor risiko kesehatan lingkungan yang paling penting di Eropa. Penyakit ini tetap menjadi penyebab penting buruknya kualitas kesehatan dan berkontribusi khususnya terhadap penyakit pernapasan dan kardiovaskular.
Laporan ini menyajikan informasi pada 2021 mengenai perkiraan dampak buruk terhadap kesehatan manusia yang disebabkan oleh tiga polutan udara utama, yakni partikel halus, nitrogen dioksida, dan ozon. Penilaian tahun ini juga menyajikan perkiraan dampak kesehatan yang terkait dengan penyakit tertentu yang berkontribusi terhadap polusi udara.
Beban penyakit untuk PM2.5 dan NO2, 2021. Sumber: Laporan EEA diolah. Desain: Robby Eebor
Dampak tersebut dinyatakan dengan menggunakan metrik beban penyakit, yaitu 'morbiditas' (keadaan mengidap suatu penyakit atau kecacatan) dan 'mortalitas' (kematian yang terjadi karena suatu penyakit atau sekelompok penyakit tertentu).
Ada beberapa pesan kunci yang disampaikan EEA dalam laporannya ini. Yang pertama, konsentrasi polutan udara pada 2021 masih jauh di atas tingkat yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pedoman kualitas udaranya. Mengurangi polusi udara hingga ke tingkat pedoman ini akan mencegah sejumlah besar kematian yang disebabkan oleh hal tersebut di negara-negara anggota UE (EU-27). Selain itu, mengurangi paparan ozon (O3) dalam jangka pendek akan menghindari 22.000 kematian yang disebabkan oleh hal tersebut.
Kemudian, antara 2005 dan 2021, jumlah kematian di UE yang disebabkan oleh PM 2.5 turun sebesar 41%. Lalu, untuk penyakit tertentu, kerugian (beban penyakit) terbesar partikulat halus PM2.5 bagi kesehatan manusia adalah penyakit jantung iskemik dan akibat NO2 adalah diabetes melitus.
Selanjutnya, untuk setiap penyakit tertentu yang terkait dengan polusi udara, kontribusi relatif terhadap kesehatan yang buruk (beban penyakit) akibat mortalitas dan morbiditas dapat sangat bervariasi. Misalnya saja, sejauh ini angka kematian merupakan kontributor utama penyakit jantung iskemik dan kanker paru-paru, sedangkan angka kesakitan adalah penyebab utama asma.
"Hal ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan morbiditas untuk menghindari meremehkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia," kata organisasi tersebut, Jumat (24/11/2023).
EEA mengungkapkan, pada 2021 di UE-27, 253.000 kematian disebabkan oleh paparan konsentrasi PM 2.5 di atas tingkat pedoman WHO yaitu 5 µg/m3 (mikrogram per meter kubik udara), 52.000 kematian disebabkan oleh paparan konsentrasi NO2 di atas tingkat pedoman WHO yaitu 10 µg/m3, dan 22.000 kematian disebabkan oleh paparan jangka pendek terhadap konsentrasi O3 di atas 70 µg/m3.
Selain negara-negara anggota UE-27, sejumlah besar negara EEA juga dinilai 40 untuk PM 2.5 dan 41 untuk NO2 dan O3. Secara ringkas disimpulkan, 293.000 kematian disebabkan oleh paparan konsentrasi PM 2.5 di atas tingkat pedoman WHO yaitu 5 µg/m3, 69.000 kematian disebabkan oleh paparan konsentrasi NO2 di atas tingkat pedoman WHO yaitu 10 µg/m3, dan 27.000 kematian disebabkan oleh paparan jangka pendek terhadap konsentrasi O3 di atas 70 µg/ m3.
"Kedua kelompok negara tersebut mengalami sedikit peningkatan angka kematian akibat PM 2.5 dan NO2 serta penurunan angka kematian akibat O3 pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2020," ujar EEA.
Sementara itu di Jakarta...
Mobil dan motor listrik mulai banyak terlihat di Jakarta. Menurut catatan PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya, pemilik kendaraan listrik ini terus bertambah. Berdasarkan catatan dari dashboard Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang tersebar di seluruh Jakarta, hingga Oktober 2023 sebanyak 1.401 pemilik kendaraan listrik sudah memiliki home charging.
Sebagian warga Jakarta itu membeli kendaraan listrik karena ingin mengurangi produksi emisi pribadinya, tapi mungkin pula sekadar untuk prestise. Tapi benarkah mobil listrik mengurangi emisi?
Berbagai laporan internasional menunjukkan, emisi mobil listrik dapat lebih besar dari mobil berbahan bakar minyak jika listriknya diperoleh dari PLTU batu bara. Emisinya, yang ternyata mematikan, tentu tidak dibuang di Jakarta, tapi di kampung-kampung di sekitar PLTU. Seperti di kampung Sarjani di Indramayu.
Kematian pun datang dengan penuh rima di kampung-kampung ini. Dari debu, kembali ke debu, oleh debu PLTU.
SHARE