Teka-teki Karbon Industri Pulp Indonesia
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Jumat, 01 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Industri pulp Indonesia telah mengembangkan lebih dari 2 juta hektare hutan tanaman serat kayu sejak awal dekade 1990. Kayunya digunakan untuk memasok pabrik pulp. Karena praktiknya membuka hutan dan lahan gambut, emisi yang dilepaskan pun besar, rata-rata tahunan mencapai 103,4 juta ton, menurut data Trase.Earth data kayu pulp.
Besarnya emisi ini disebabkan oleh kebun-kebun kayu (hutan tanaman industri atau HTI) yang beroperasi di gambut. Indonesia memiliki 11,4 juta hektare konsesi kebun kayu, yang tersebar terutama di Sumatera dan Kalimantan. Seluas 2,6 juta hektare area telah ditanami akasia atau eukaliptus, dan 46% di antaranya berada di lahan gambut.
Gambut merupakan jenis lahan basah, yang terbentuk dari timbunan material organik, seperti sisa pohon, rerumputan, dan jasad hewan yang membusuk di tanah. Lahan ini menyimpan cadangan karbon yang besar. Ketika dibuka dan dikeringkan, kawasan ini akan mengalami subsidensi atau penurunan gambut.
Emisi tahunan Indonesia sendiri mencapai 1,24 gigaton setara karbon dioksida (Gt CO2e). Pengkampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, mengatakan subsidensi gambut merupakan penyumbang terbesar kenaikan emisi. Setiap tahunnya, emisi subsidensi gambut oleh industri pulp mencapai 65,8 juta ton ekivalen karbon dioksida (tCO2-eq).
Mengutip data terbaru Trase.Earth data kayu pulp yang diluncurkan Selasa, 28 November 2023, emisi industri pulp tahun lalu sebesar 86 juta tCO2-eq. Angka ini melebihi emisi Selandia Baru.
“Kita bisa bayangkan industri ini menghasilkan emisi setara sebuah negara. Kalau kita lihat, setiap tahun penyumbang emisi terbesar itu subsidensi gambut, kecuali pada 2015, penyumbangnya adalah kebakaran hutan dan lahan,” kata Hilman.
Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di kebun-kebun kayu. Pada 2015, misalnya, 74% emisi industri pulp disumbang oleh kebakaran lahan. Kebakaran pada tahun ini salah satu yang terparah dalam sejarah Indonesia, menghanguskan 2,6 juta hektare lahan. Bank Dunia memperkirakan bahwa bencana ini menyebabkan kerugian sebesar Rp 221 triliun dalam bentuk kerusakan hutan, pertanian, pariwisata, dan sektor industri lainnya. Kabut asap menyebabkan gangguan pernapasan serta penyakit lainnya bagi ratusan jiwa, dan menurut sebuah studi, besar kemungkinan menyebabkan kematian dini hingga 100.000 jiwa.
Dalam analisis terbarunya, Trase.Earth mengungkapkan 819.000 hektare konsesi kebun kayu terbakar sepanjang 2015-2022. Sebanyak 37% di antaranya terjadi di lahan gambut.
Analisis terbaru Trase.Earth data kayu pulp juga mengungkap, deforestasi industri pulp melonjak lima kali lipat selama delapan tahun terakhir. Kehilangan tutupan hutan ini terjadi di konsesi non-aktif atau kebun yang belum mulai memasok ke pabrik pulp, dengan total deforestasi seluas 271.849 hektare. Sementara itu deforestasi yang telah terkonversi menjadi tanaman kebun kayu di konsesi non-aktif seluas 82.489 hektare.
Menurut Hilman, deforestasi dan operasinya di lahan gambut telah mengingkari komitmen pelaku industri pulp. Menurut data Trase, saat ini sektor pulp dikendalikan oleh tiga grup perusahaan yakni Sinar Mas dan anak perusahaannya Asia Pulp & Paper (APP), Royal Golden Eagle dan anak perusahaannya Asia Pacific Resources International Ltd (APRIL), dan Marubeni. Dari ketiga grup ini, Trase menemukan bahwa APP dan APRIL mendominasi industri ini, dengan angka ekspor pulp masing-masing mencapai 95% dan 96% dari produksi pulp secara keseluruhan.
Perusahaan-perusahaan raksasa pulp dan kertas ini telah memiliki komitmen keberlanjutan dan menerapkan praktik terbaik dalam kegiatan bisnisnya. Industri juga mengadopsi komitmen No Deforestation, No Peat and Exploitation (NDPE) yang bertujuan agar rantai pasoknya bebas dari deforestasi hutan dan gambut serta eksploitasi manusia.
“Tapi penelitian mengatakan bahwa praktik terbaik di lahan gambut hanya mengurangi emisi sekitar 30%. Tetapi yang seharusnya mereka lakukan adalah membasahinya kembali supaya tidak terjadi penurunan makin parah, lalu merestorasinya. Itulah praktik terbaik yang harus dilakukan perusahaan,” kata Hilman.
Raksasa pulp ini juga terlibat dalam kebakaran hutan. Analisis lahan terbakar 2015-2018 oleh Greenpeace Indonesia mengungkapkan, perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Sinar Mas/APP dan Royal Golden Eagle/Tanoto terbukti bersalah dalam kebakaran hutan, sebagian diantaranya merupakan kebakaran berulang.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan terkait dengan Sinar Mas/APP melakukan pembakaran di atas lahannya setiap tahun antara 2015 hingga 2018, namun tidak menerima sanksi perdata/sanksi administratif yang tegas.
Kemudian, sebuah perusahaan terkait APRIL/RGE mempunyai lahan konsesi yang terbakar tiap tahun sejak 2015, termasuk pada 2019. Pada periode 2015-2018, perusahaan yang bersangkutan menerima sanksi tegas perdata dan administratif hanya sebanyak dua kali.
Yang menjadi ancaman, di konsesi kebun kayu ini ada hutan alam seluas 2,9 juta hektare per 2022, menurut Trase.Earth data kayu pulp. Sebagian besar ada di Kalimantan, seluas 1,3 juta hektare. Sementara itu di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku, terdapat 162.000 hektare.
Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, mengatakan harus ada evaluasi secara menyeluruh pada tata kelola perizinan tanaman komoditas di Indonesia. Karena perusahaan telah memiliki komitmen keberlanjutan, maka seharusnya ini harus diimbangi oleh pemerintah dengan regulasi yang melindungi hutan alam dan lahan gambut tersisa di dalam konsesi-konsesi kebun kayu.
“Persoalan itu ada di peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah. Kita melihat bagaimana proteksi gambut melemah di KLHK. Kemudian masih terus ada izin-izin untuk perusahaan di kawasan hutan alam,” kata Timer.
“Ini semua menjadi petunjuk (deforestasi dan emisi, red) ada hal-hal dalam tata kelola kita yang perlu diperbaiki, termasuk moratorium yang saat ini berjalan. Maka, langkah yang harus diambil pemerintah adalah segera mengeluarkan regulasi yang melindungi hutan alam di mana pun itu, termasuk di konsesi-konsesi. Tentu dengan pertimbangan insentif,” kata Timer.
“Ini bicara soal kehidupan dan emisi kita. Kita sedang menghadapi ancaman keberlangsungan di bumi. Sudah saatnya pemerintah mengubah arah,” kata Timer.
Hilman mengatakan, saat ini industri pulp belum dianggap memberikan ancaman terhadap target iklim dan net zero Indonesia. Sebaliknya kebun-kebun kayu itu masuk ke dalam strategi penyerapan emisi melalui sekuestrasi tanaman.
“Ini agak bahaya. Ketika hari ini sudah begitu besar tingkat kerusakannya. Karena itu pemerintah harus mempertimbangkan ulang strategi ini jika ingin mencapai target iklimnya,” ujar Hilman.
SHARE