Pertemuan Jokowi - Biden Diharapkan Perbaiki Tata Kelola Nikel
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Rabu, 15 November 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Beragam tanggapan masyarakat sipil muncul setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joseph Biden, di Gedung Putih, Senin (13/11/2023) kemarin. Selain berharap kerja sama yang terjalin antara AS dan Indonesia bisa memperbaiki tata kelola pertambangan dan industrinya di Indonesia, masyarakat sipil juga mengkritisi penerapan teknologi penangkap karbon pada PLTU yang dinilai masih memiliki kekurangan.
Direktur Pertambangan dan Energi, Yayasan Auriga Nusantara, Ibrahim Fahmy mengatakan, organisasi masyarakat sipil berharap kesepakatan dua negara ini bisa berdampak pada praktik pertambangan dan smelter di tingkat tapak.
Misalnya, bagaimana Memorandum of Understanding (MoU) perdagangan bahan baku atau produk semikonduktor untuk mobil listrik, pembangkit berbasis baterai, atau produk lainnya yang menggunakan bahan baku nikel atau mineral transisi lainnya dari Indonesia dipastikan untuk disuplai oleh perusahaan tambang dan smelter yang tidak melakukan perusakan lingkungan dan tidak melanggar HAM dalam artian luas di dalam perencanaan hingga produksi di rantai nilai produksinya.
"Kesepakatan dengan AS diharapkan dapat meningkatkan tata kelola tambang dan industri hasil tambang di Indonesia (sehiingga) memiliki standar yang didasarkan pada indikator EESG yang baik," kata Ibrahim, Selasa (14/11/2023).
Ibrahim berharap, penerapan sistem responsible mining bisa lebih terintegrasi, tidak hanya menyentuh pemain-pemain besar, akan tetapi juga termasuk pemain sedang, kecil, hingga ke pihak sub-kontraktor. Selain itu, penerapan standar EESG juga harus sejalan dengan penerapan mekanisme pelaporan yang terbuka dan akuntabel kepada publik.
Penerapan penilaian kinerja dan pertanggungjawaban terbuka, seperti Responsible Mining Index (RMI) yang dikembangkan oleh organisasi masyarakat sipil, kata Ibrahim, menjadi salah satu contoh yang bisa dikembangkan. Karena merupakan platfrom yang terbuka dan dapat dikembangkan setiap saat berdasarkan masukan masyarakat.
Sementara itu, Manager Riset Trend Asia, Zakki Amali berpendapat, proses hulu hilir mineral untuk transisi di Indonesia sarat dengan berbagai persoalan, mulai dari deforestasi, korupsi, hingga kecelakaan kerja. Termasuk penggunaan batu bara dalam smelter. Singkatnya, standar lingkungan dan standar pekerja di industri nikel sangat lemah.
"Jadi jika ada kesepakatan datang untuk mineral transisi seharusnya semua isu harus menjadi perhatian untuk diperbaiki," kata Zakki, Selasa (14/11/2023).
Dalam konteks lain, kata Zakki, ada kesepakatan untuk iklim, antara lain adanya dukungan untuk teknologi penyimpanan karbon (carbon capture) dan teknologi penyimpanan (storage), mendukung perbaikan kualitas udara, dan transmisi listrik. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 16 proyek CCS/CCUS yang sedang dalam tahap feasibility study (FS), kebanyakan ada pada proyek minyak dan gas. Sementara itu CCS juga akan diterapkan untuk PLTU.
Tapi, imbuh Zakki, teknologi tersebut memiliki kekurangan. Dari sisi kematangan teknologi, Indonesia belum pernah memilikinya, sehingga dapat dikatakan belum matang teknologi ini. Kemudian dari sisi harga juga mahal dan akan membuat investasi untuk pembangkitan akan membengkak.
Pada sisi pemakaian, kata Zakki, penerapan CCUS ini juga akan mengurangi produksi energi. Hal penting lain adalah CCUS ini masih mempertahankan batu bara atau energi fosil. "Hal ini menunjukkan CCUS tidak efektif sebagai strategi penghentian batubara atau pemakaian energi fosil di Indonesia. Dari sisi harga tidak layak, kemudian dari sisi teknologi tidak matang," ucap Zakki.
Sebelumnya, Aliansi Sulawesi Terbarukan yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan Sulsel), Walhi Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) meluncurkan policy paper berjudul ‘Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghidupan Masyarakat di Pulau Sulawesi’.
Policy paper ini diterbitkan sebagai respon pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Biden. Sebab sebagai wilayah dengan cadangan nikel terbesar, Pulau Sulawesi khususnya Sulteng dan Sultra, tentu memiliki andil dan kepentingan dalam pertemuan dua presiden ini. Melalui policy paper ini Aliansi Sulawesi Terbarukan menyerukan penghentian PLTU captive yang banyak tersebar di Sulawesi.
Slamet Riadi, perwakilan penulis Policy Paper Booming PLTU Captive, menjelaskan, komitmen Indonesia terhadap dekarbonisasi dan transisi energi masih sangat jauh dari harapan. Hal tersebut dapat dilihat dari Perpres 112 Tahun 2022 yang masih memberikan peluang yang sangat besar kepada pembangunan PLTU captive khusus untuk kawasan industri.
"Dari catatan kami, saat ini ada 12 perusahaan pemilik PLTU captive di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dengan kapasitas total 5.665 MW dan yang masih tahap konstruksi ada sekitar 4.315 MW. Namun, jika ditelisik lebih dalam data yang kami dapatkan hanya ada tiga induk perusahaan yang mendominasi industri pengelolaan nikel di kedua provinsi tersebut yakni Jiangsu Delong Nickel Industri, Xiamen Xiangyu Group, dan Eternal Tsingshan Group,” ujarnya, Senin (13/11/2023).
Tidak hanya total kapasitas pembangkit, Slamet yang merupakan Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel, juga menyebut PLTU captive yang berada di Pulau Sulawesi menyumbang kurang lebih 52,1 juta ton emisi Co2/tahun dari konsumsi batu bara yang digunakan untuk mengoperasikan captive power yang sudah eksisting.
“Dari hasil hitungan rata-rata, kami menemukan total emisi dari PLTU captive eksisting saat ini yakni 52,1 juta ton Co2/tahunnya. Tidak hanya berkontribusi terhadap peningkatan emisi, keberadaan PLTU captive juga memberi dampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar, lingkungan, dan ekonomi masyarakat”, ucap Slamet.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Prof Hamid Paddu, program hilirisasi pemerintah harus berdampak langsung bagi masyarakat. Diakuinya, untuk berkembang dibutuhkan pembangunan. Akan tetapi pembangunan yang cepat dan masif seharusnya tetap memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, dalam artian tidak merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.
Prof Hamid mengakui, tidak bisa dipungkiri ada dampak eksternalitas yang buruk dari suatu pembangunan, namun seharusnya hal ini dirancang mitigasinya melalui intervensi teknologi dan pajak. Namun bisa juga dengan melakukan audit yang ketat atas pengelolaan sumber daya alam, tidak hanya menghitung marginal benefit yang diperoleh melainkan juga menghitung biaya sosial yang ditimbulkan, dan yang paling penting ialah memikirkan keterlibatan dan pemerataan akses masyarakat terhadap ekonomi dan pembangunan.
Direktur Walhi Sulteng, Sunardi Katili, mengatakan kondisi saat ini adalah sebuah ironi, karena Sulawesi memiliki cadangan nikel yang melimpah, namun pendapatan masyarakat di sekitar industri justru semakin menurun. Negara, kata Sunardi, seharusnya mengontrol dan mengawasi dengan ketat perkembangan dan dampak yang ditimbulkan dari booming PLTU captive di Pulau Sulawesi ini.
"Jadi dalam Perpres 112 Tahun 2022 tersebut seharusnya diatur hal demikian. Terlebih lagi jika berbicara dampak yang ditimbulkan dimana saat ini banyak masyarakat yang terkena ISPA dan sumber air bersih yang semakin sulit," ujarnya.
Mendukung Transisi Energi Bersih
Dikutip dari laman resmi Gedung Putih, menyadari krisis iklim merupakan ancaman nyata, Presiden Biden dan Presiden Jokowi menegaskan kembali kedua negara akan mengambil tindakan segera dalam upaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Mereka memutuskan untuk memperluas kolaborasi produksi energi bersih dan terbarukan untuk mempercepat transisi energi bersih sambil berupaya memastikan penyediaan energi bersih yang terjangkau, mudah diakses, dan transparan bagi warganya.
Indonesia dan Amerika Serikat akan terus menjalin kerja sama yang erat, termasuk dengan mitra lainnya, dalam Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai $20 miliar untuk mewujudkan percepatan penerapan energi terbarukan dan pengurangan emisi di Indonesia sesuai jangka waktu yang disepakati di masa depan.
Presiden Biden memuji komitmen iklim Indonesia yang ambisius berdasarkan JETP, termasuk penerapan energi terbarukan yang kuat dan sasaran emisi sektor ketenagalistrikan. Sedangkan Presiden Widodo menyambut baik kontribusi AS terhadap JETP dan menantikan upaya lebih lanjut untuk memberikan pembiayaan publik dan swasta bagi transisi energi ramah lingkungan di Indonesia.
Amerika Serikat dan Indonesia bermaksud untuk mengejar program kerja sama yang ambisius di bidang energi angin, surya, nuklir sipil, dan panas bumi, sekaligus meningkatkan kerja sama dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor mineral, limbah, dan transportasi. Kedua negara juga mengakui pentingnya Net Zero World Initiative dalam mendukung transformasi ekonomi energi Indonesia, termasuk kerja sama dalam rantai pasokan baterai rendah karbon.
Untuk mendukung tujuan JETP, Amerika Serikat dan Indonesia juga mengumumkan nota kesepahaman mengenai energi berkelanjutan dan pengembangan mineral yang akan memajukan kerja sama teknis dalam mendukung lingkungan dan kerangka peraturan untuk membantu meningkatkan penggunaan sumber daya energi terbarukan, meningkatkan ketahanan jaringan listrik dan keamanan, dan meningkatkan teknologi untuk praktik penambangan dan pemrosesan mineral yang bertanggung jawab.
Karena transisi energi ramah lingkungan akan memberikan dampak yang sangat besar bagi pekerja dan masyarakat di seluruh Indonesia, Amerika Serikat juga akan terlibat dengan para pembuat kebijakan di Indonesia dalam mengatasi kebutuhan tenaga kerja seperti investasi strategis, pelatihan tenaga kerja, dan kebijakan transisi yang adil dan adil untuk memastikan pekerja mendapatkan manfaat dari perubahan tersebut. Presiden Biden menyambut baik Indonesia dalam Greening Government Initiative (GGI), sebagai platform kerja sama dalam isu-isu ini.
Kedua negara memuji kerja sama bilateral pemerintah-swasta untuk melakukan studi kelayakan penerapan teknologi reaktor modular kecil (SMR) untuk transisi energi ramah lingkungan. Upaya ini tercakup dalam Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global dengan pendanaan baru melalui program Infrastruktur Dasar untuk Penggunaan Teknologi SMR yang Bertanggung Jawab (FIRST).
Komitmen kuat para pemimpin untuk mengatasi penyebab dan dampak perubahan iklim tercermin melalui upaya bersama seperti Kelompok Kerja Bilateral Iklim AS-Indonesia mengenai hutan, alam, dan iklim; Nota Kesepahaman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia-Badan Perlindungan Lingkungan AS tentang Kerjasama Lingkungan Hidup; dan IPEF. Amerika Serikat dan Indonesia juga akan memulai dialog mengenai peningkatan pendanaan iklim dan investasi di sektor hutan dan penggunaan lahan untuk mendukung pengurangan emisi dan bioekonomi berkelanjutan.
Dalam keterangan tertulisnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan ada enam poin yang dihasilkan dari pertemuan Jokowi - Biden. Keenamnya adalah:
- Indonesia dan Amerika Serikat sepakat untuk meningkatkan status hubungan bilateral dari strategic partnership menjadi Comprehensive Strategic Partnership (CSP), yang akan menjadi fondasi kuat untuk penguatan kerja sama bilateral, terutama di bidang ekonomi.
- Disepakati pentingnya penguatan kerja sama mineral kritis, sehingga akan dibentuk rencana kerja menuju pembentukan Critical Mineral Agreement. Melalui CMA, Indonesia akan dapat menjadi pemasok kebutuhan baterai EV di Amerika Serikat, secara berkesinambungan, untuk jangka panjang.
- JETP penting untuk segera diimplementasikan sebagai upaya mempercepat transisi energi Indonesia.
- Indonesia terpilih sebagai salah satu mitra International Technology Security and Innovation Fund AS, yang akan membuka jalan bagi penguatan rantai pasok semikonduktor.
- Presiden Indonesia mengingatkan pentingnya perpanjangan Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia.
- Amerika Serikat menyampaikan komitmen memberikan dukungan terhadap aplikasi Indonesia untuk menjadi anggota OECD.
SHARE