PLN Digugat karena Tak Buka Data Polusi PLTU Suralaya dan Ombilin

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Jumat, 13 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) digugat oleh masyarakat sipil ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Penyebabnya, karena perusahaan plat merah itu enggan membuka data emisi yang dihasilkan oleh pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon dan PLTU Ombilin di Padang kepada publik.

Sengketa ini diajukan oleh Margaretha Quina, dari Koalisi Bersihkan Indonesia, setelah berbagai permohonan informasi yang ia ajukan ditolak oleh PLN dan institusi-institusi pemerintah. Hal tersebut disampaikannya dalam media briefing yang digelar secara virtual pada Kamis (12/10/2023).

Secara khusus, Margaretha meminta informasi terkait laporan pengukuran sistem pemantauan emisi (CEMS) periode 2015-2022 dan laporan pengelolaan limbah B3, khususnya limbah B409 dan B410, dari PLTU Suralaya unit 1-8 dan PLTU Ombilin pada periode 2012-2021. Data tersebut dibutuhkan untuk memberikan pertimbangan hukum bagi jaringan pengampanye energi, iklim, dan udara bersih.

Margaretha mengatakan, ada banyak sekali peluang partisipasi masyarakat dengan dibukanya data pembangkit. Masyarakat, katanya, bisa membantu memastikan aturan yang ada ditegakkan. "Ketentuan yang lemah di izin bisa didorong untuk diperketat. Penghitungan manfaat dan biaya dalam kebijakan energi bisa lebih akurat," ujar Margaretha.

Studi terbaru mengungkap bahwa Indonesia adalah salah satu negara berkapasitas ekonomi rendah yang harus diberi waktu untuk mengakhiri produksi minyak dan gas pada 2045, dengan pengurangan 18% pada 2030. Foto: Greenpeace Indonesia

Menurut Margaretha, dengan data tersebut wali lingkungan juga dapat membantu edukasi mitigasi risiko kontaminasi limbah beracun kepada masyarakat di tingkat tapak. "Putusan Komisi Informasi Pusat dalam sengketa informasi melawan PLN akan menentukan apakah partisipasi publik kita bisa bergerak maju, atau malah mundur,” katanya.


Timeline: Margaretha vs PLN

  • 18 November 2022. Margaretha mengajukan permohonan informasi hasil pemantauan emisi dan laporan pengelolaan FABA PLTU Suralaya 1-8 dan PLTU Ombilin kepada PLN melalui website PPID.
  • 28 Desember 2022. Setelah pengajuan situs, pengiriman surel, dan surat diabaikan, pemohon kemudian mengajukan keberatan kepada Dirut PLN sebagai atasan PPID.
  • 31 Januari 2023. PLN menolak permohonan dengan alasan informasi yang dimohonkan adalah informasi yang dikecualikan.
  • 7 Februari 2023. Pemohon mendaftarkan sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat.
  • 4 Juli 2023. Dalam sidang pertama, ditemukan bahwa PLN belum melakukan uji konsekuensi yang merupakan syarat pengecualian informasi.
  • 31 Juli 2023. Dokumen uji konsekuensi baru dihadirkan PLN pada sidang kedua.
  • 13 September 2023. Pihak PLN dan pengadu mengajukan bukti dan saksi ahli masing-masing pada sidang ketiga.
  • 16 Oktober 2023. Komisi Informasi Pusat akan menggelar putusan sidang.


Margaretha mengungkapkan, pada sidang ketiga, PLN bersikeras data-data yang disengketakan itu bersifat dikecualikan, karena merupakan rahasia dagang yang tidak berkaitan langsung dengan kebijakan publik. Pihak PLN, kata Margaretha, juga menyatakan kekhawatiran bahwa data akan digunakan pihak tidak berwenang dan berkompeten untuk melakukan ancaman, seperti penggunaan misinformasi untuk memobilisasi publik untuk melarang atau mengganggu operasi PLTU.

Penolakan dan penghambatan permohonan keterbukaan informasi terkait PLTU ini bukanlah kali pertama. Selain permohonan Margaretha, saat ini terdapat setidaknya tiga permintaan keterbukaan informasi oleh masyarakat terhadap berbagai institusi pemerintah, termasuk PLN, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI, Kementerian LHK, dan berbagai instansi pemerintahan lain.

Permohonan ini terkait dengan informasi perizinan, pemantauan lingkungan, penegakan sanksi, peraturan baku mutu, hingga data emisi dari beberapa PLTU batu bara di Indonesia. Upaya-upaya tersebut juga terhambat di berbagai tahapan.

Permohonan-permohonan dimaksud, yang pertama, diajukan Mad Haer Efendi, terhadap BKPM RI. Pada September 2020, Mad Haer Efendi atas nama individu mengajukan permohonan informasi tentang perizinan usaha PLTU Suralaya unit 9 dan 10.

Permintaan pemohon Mad Haer itu ditolak dengan dasar bahwa informasi yang diminta merupakan informasi yang dikecualikan. Mad Haer kemudian mendaftarkan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat pada 16 Desember 2020. Namun hingga kini, permohonan sengketa informasi itu belum ada tanggapan lebih lanjut.

Mad Haer mengatakan, informasi yang ia mohonkan itu penting dan menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat. Terutama untuk mengetahui apakah PLTU Suralaya unit 9 dan 10 itu menjadi bagian yang baik atau buruk, bagi kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat sekitar PLTU. "Di saat masyarakat minta dilindungi, kenapa hari ini pemerintah tidak mau transparan?" katanya.

Permohonan lainnya diajukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang terhadap Kementerian LHK, Kementerian ESDM dan PLN Pusertif mengenai hasil pemantauan lingkungan PLTU Ombilin dan pelaksanaan sanksi administratif PLTU Ombilin terkait dengan pencemaran udara dan kontaminasi abu batu bara.

PLTU Ombilin di Sumatera Barat, mendapatkan sanksi administratif dan dituntut untuk melakukan upaya pemulihan fungsi lingkungan hidup dari kontaminasi abu batu bara. Meski sanksi itu telah dibebankan sejak Agustus 2018, tapi tidak ada informasi mendetail tentang penegakan sanksi ini.

LBH Padang telah mengajukan permohonan informasi dan audiensi terkait ketaatan PLTU Ombilin dan kontaminasi limbah FABA sejak April 2023. Permintaan ini tidak kunjung ditanggapi, dan saat ini LBH Padang tengah mengajukan keberatan kepada Sekjen KLHK dan mengajukan dugaan pencemaran lingkungan terhadap PLTU Ombilin.

"Sepanjang bekerja sebagai lembaga bantuan hukum, kami melihat bagaimana dampak PLTU Ombilin pada masyarakat lokal. Namun untuk menanggapi ini sangat sulit," kata Indira Suryani, Direktur LBH Padang.

Soal permohonan sengketa yang diajukan Margaretha ke KIP, Indira mengatakan, informasi yang disengketakan tersebut seharusnya tersedia secara berkala, sebab informasi itu berkaitan dengan kesehatan publik. "Tidak harus menunggu diminta oleh publik, apalagi melalui sengketa berlarut-larut. Kami berharap pada Komisi Informasi Pusat untuk mengeluarkan keputusan yang benar, yang memihak pada kepentingan masyarakat," ujar Indira.

Permohonan informasi selanjutnya diajukan Greenpeace kepada Kementerian LHK dan PLN mengenai peta jalan implementasi Permen LHK 15/2019 tentang baku mutu emisi (“BME 2019”) dan status perbaikan perizinan agar sesuai dengan baku mutu emisi terbaru.

Greenpeace mengajukan permohonan informasi mengenai implementasi baku mutu emisi 2019 kepada KLHK dan PLN. Khususnya tentang peta jalan implementasi BME (update dari peta jalan yang pernah PLN berikan kepada Greenpeace pada Oktober 2020), dan laporan pemantauan emisi (manual atau terus menerus) untuk semua PLTU, periode 2014-2019.

Kemudian rekapitulasi perubahan izin lingkungan dan pertek emisi yang sudah mengakomodir BME 2019, dan rekapitulasi kemajuan perubahan perizinan lingkungan atau pertimbangan teknis emisi untuk pembangkit yang izinnya belum menyesuaikan dengan BME 2019.

Greenpeace menganggap, informasi ini dibutuhkan untuk mengkaji biaya dan manfaat kesehatan publik dan lingkungan hidup yang telah berhasil dicapai dengan implementasi Permen LHK No. 15 Tahun 2019 sejauh ini, yang digunakan untuk perumusan masukan publik yang bermakna terkait peta jalan penutupan PLTU batu bara.

PLN menanggapi permohonan itu pada 28 Juli 2023, tapi pihak PLN tidak memberikan peta jalan sesuai yang diminta Greenpeace. PLN juga menolak memberikan rincian kewajiban pengelolaan emis dan laporan pemantauan emisi PLTU, dengan alasan bahwa informasi tersebut merupakan rahasia dagang. Pihak Greenpeace telah mengajukan keberatan, namun belum ditanggapi oleh PLN.

Sementara itu, pihak KLHK menanggapi dengan janji mengolah permohonan informasi, namun hingga kini belum memberi kabar lanjutan. Jika pihak PLN dan KLHK belum memberikan respon hingga 13 Oktober 2023, Greenpeace berencana mendaftarkan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat.

Pengampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyano mengatakan, transparansi Informasi data emisi PLTU menjadi kunci utama pengendalian pencemaran udara dan dasar agar masyarakat bisa melakukan monitoring berdasarkan atas emisi yang dikeluarkan dari PLTU batu bara sebagai salah satu sumber pencemar udara yang dominan.

"Lebih jauh lagi data emisi bisa kita jadikan sebagai landasan agar segera melakukan transisi energi yang sepenuh hati mengingat dampak emisinya kepada lingkungan dan kesehatan," kata Bondan.

Novita Indri, pengampanye Energy dan Fossil Fuel Trend Asia, menuturkan berbagai kasus ini menandakan buruknya keterbukaan informasi publik tentang praktik PLTU di Indonesia. Potensi buruk dari emisi pembakaran batu bara sudah lama diketahui dan dikaji berkali-kali di berbagai negara.

Hak masyarakat atas kebutuhan informasi dan hak hidup yang sehat telah dijamin dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri LHK Nomor P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018. Mengingat kaitan eratnya dengan kesehatan publik, Novita mentakan, tidak seharusnya data emisi dianggap rahasia dagang.

Novita Indri menambahkan, saat ramai isu polusi beberapa waktu lalu, pemerintah gencar membela PLTU. Pemerintah menganggap kontribusi polusinya kecil dan warga yang disalahkan atas kontribusi dari transportasi. Yang mengherankan, Novita melanjutkan, ketika ditantang untuk membuka informasi soal emisi PLTU, pemerintah justru malah menolak dengan alasan rahasia dagang dan kekhawatiran penolakan PLTU.

"Terlalu sering warga dikerdilkan dan dirahasiakan dari informasi penting ketika mereka yang paling merasakan dampak," ujarnya. Pemerintah, imbuh Novita, seharusnya belajar bahwa demokrasi yang sehat tidak mungkin terjadi tanpa transparansi dan partisipasi masyarakat.

SHARE